Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Kamis, 24 Maret 2011

Syiah Indonesia Antara Janji dan Harapan

Mungkin disini kita perlu mengkaji sejauh mungkin perjalanan syiar Ahlulbait as di Indonesia ini pada tahapan metodelogis, gerak dan siasat syiar bukan hanya pada tatanan teori yang bersumber pada tatanan yang benar tanpa melupakan unsur budaya lokal, sejarah, kondisi dan situasi masyarakat Indonesia secara umum baik yang berupa keyakinan, pemikiran, kehidupan serta mitos yang ada padanya.
Mohammad Habri Zen S.Si
"Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar,untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." [1]

“Dan urusan mereka dimusyawarahkan antara sesamanya.” [2]

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” [3]

Pembahasan lika-liku syiah dan kesyiahan di Indonesia merupakan suatu fenomena yang tak bisa kita pungkiri kenyataannya, perjalanan para pecinta ahlulbait dan penungguan Imam Zaman as seperti bola yang digulirkan ke bawah yang tak mungkin berhenti dan dihentikan lagi, sehingga hal tersebut mengkristal dalam jiwa-jiwa para pengharap kebenaran akan kepastian dan janji yang akan terjadi di masa depan. Janji tersebut bukanlah sebuah khayalan tetapi merupakan suatu kepastian tak pasti maksudnya masa depan yang merupakan masa kejayaan untuk orang-orang yang benar dan beriman pasti akan terjadi tetapi tak pasti kapan akan terjadi. Seperti yang kita telah ketahui bahwa masyarakat syiah di manapun dia berada tidak memiliki keyakinan yang buta dan kosong sebab mereka terbiasa dengan sebuah kajian ilmiah yang penuh dengan ketajaman pemikiran. Akalnya selalu bekerja terus menemukan jalan kebenaran diatas kebenaran, sehingga keyakinan masyarakat syiah bukanlah keyakinan khayal yang muncul hanya dari doktrin tekstual ataupun doktrin lainnya tetapi merupakan keyakinan yang teruji. Tak kalah pula hal tersebut terjadi pada masyarakat syiah Indonesia. Indonesia merupakan bagian dari dunia yang diyakini sebagai bagian dari yang dijanjikan oleh Allah SWT untuk diserahkan dan dimiliki oleh orang-orang yang beriman.

Namun yang sangat disayangkan sekarang ini adalah kondisi perjalanan syiar ahlulbait as mengalami bentuk yang belum menentu, sehingga apakah keyakinan terhadap janji yang telah disebutkan diatas akan pula terjadi di tanah air Indonesia? Atau mungkin tanah air Indonesia akan hilang ditelan bencana dan tak akan diinjak sedikitpun oleh Imam Zaman as kecuali tanah yang tenggelam? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan merefleksikan benak setiap masyarakat syiah di Indonesia terhadap aplikasi yang berbed-beda, serta akan memberikan reaksi positif bagi orang yang mengambil sikap penuh harapan, dilain hal tak sedikit pula yang menyerah pada keadaan.

Mungkin disini kita perlu mengkaji sejauh mungkin perjalanan syiar Ahlulbait as di Indonesia ini pada tahapan metodelogis, gerak dan siasat syiar bukan hanya pada tatanan teori yang bersumber pada tatanan yang benar tanpa melupakan unsur budaya lokal, sejarah, kondisi dan situasi masyarakat Indonesia secara umum baik yang berupa keyakinan, pemikiran, kehidupan serta mitos yang ada padanya.

Masyarakat Syiah dan Gerakan Islam Di Indonesia

Kalau kita melihat sejarah jauh-jauh sebelum masa kemerdekaan di zaman kerajaan dan ataupun di zaman berdatangannya para muballigh ke tanah air Indonesia, kita akan dapat melihat bahwa Islam secara cepat tersebar ke seluruh pelosok tanah air baik melalui kebijakan kerajaan ataupun secara individu-individu yang terorganisir dengan media pondok-pondok pesantren yang tersebar di seluruh indonesia. Pada masa kemerdekaan banyak bermunculan pemikiran-pemikiran Islam yang mengendap pada berbagai macam organisasi. Dan organisasi inilah sebagai alat bagi mereka untuk menyebarkan pemahaman ajaran keyakinannya. Pada hakikatnya model pada masa kerajaan dan masa kemerdekaan memiliki esensi yang sama, yaitu mereka menggunakan konsep bekerja bersama dalam sebuah institusi organisasi tradisional ataupun modern, yang dimana telah diketahui dan sudah menjadi i’tibar yang rasional bahwa bekerja bersama dalam sebuah kinerja yang terprogram dan terorganisasi akan memberikan percepatan hasil dari visi dan misinya.

Gerakan Islam yang ada sekarang menggunakan metode dari konklusi yang mana hipotesanya telah dibuktikan di masa yang lalu. Tumbuh berkembangnya sebuah organisasi dan gerakan Islam Indonesia bukan hanya dilatarbelakangi oleh keyakinan akan doktrin mereka, tetapi sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap sikap dan ajaran yang dibawa oleh mereka. Misalnya kita dapat melihat fenomena gerakan NII, PKS, HT dan organisasi yang sudah lama berdiri seperti NU, Persis, dan muhammadiah. NII dengan doktrin negara Islam Indonesia nya memiliki pola kerja yang menganut sistem komando dan kerahasiaan, yang memiliki kader yang konsisten dengan doktrin yang dibawanya dengan mengharapkan “mau’ud” proklamasi negara Islam Indonesia kembali disuarakan lagi. Kalau kita lihat dari sejarah mereka tidak sedikit para pembesar mereka berasal dari ulama daerah masyarakat Indonesia, sehingga mereka memiliki akar yang kuat di wilayah tersebut, walaupun sekarang-sekarang ini sudah banyak masyarakat meninggalkan mereka. Dikarenakan konsep yang ditawarkan oleh mereka tak bisa diterima oleh masyarakat dan juga kondisi yang bersitegang dengan penguasa, serta propaganda yang anti terhadapnya sehingga semakin jauh masyarakat bahkan banyak pula yang melawan mereka. Hal tersebut terjadi selain dari masalah luar organisasi NII, masalah internalnya pun mejadi ukuran kemundurannya misalnya dengan banyaknya konsep yang tidak dipahami oleh masyarakat, dan juga tak luput dari tidak adanya transparansi akan jati diri mereka di depan masyarakat.

Fenomena PKS yang sekarang ini marak di kalangan mahasiswa dan partai politik, tentunya tidak lepas perkembangan organisasi mereka dan pertambahan jumlah kader mereka dikarenakan sistem yang mereka buat. Mungkin jikalau kita bandingkan dilihat dari jumlah pemilu yang ada dan jumlah kader di mahasiswa, mereka lebih bisa diterima oleh kalangan muda bahkan sekarang kalangan tua pun ikut berpartisipasi di dalamnya. Sistem PKS yang lebih transparan dan moderat dibanding dengan NII memberikan harga jual yang lebih bagi masyarakat Indonesia. Sistem kader yang terpola berhalaqah-halaqah dan bertahap, kegiatan ruhani yang terprogram, dan penanaman basis ormas di wilayah-wilayah dan daerah-daerah serta memberikan pelayanan kepada masyarakat merupakan poin penting dalam membantu kemajuan organisasi mereka. Kecenderungan para tim asatid dan pembesar ataupun boleh dikatakan ulama pada tubuh PKS yang merupakan buah dari jamiah At-Tarbiah yang memiliki persatuan dan tali silaturahmi yang kuat dalam tubuh mereka, sehingga mereka dapat menjalin kerja yang baik di dalam organisasi tersebut, walaupun kelemahan mereka tidak memiliki basis yang kuat dalam keilmuan kepesantrenan yang menjamur di Indonesia, sehingga masyarakat akan dibawa menggantung hanya pada “coblos partai” saja. Adapun organisasi seperti NU, Muhammadiah dan Persis sedikit demi sedikit sudah mulai dijauhi oleh oleh kalangan muda dan sudah mulai meninggalkan dan hijrah ke organisasi seperti HT ataupun PKS. Walaupun kita pernah melihat keberhasilan yang gemilang selama periode pra dan pasca kemerdekaan dimiliki oleh organisasi NU. Sebab NU memiliki basis ulama yang kuat di masyarakat serta basis yang kuat di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Dengan pola pesantren pengkaderan dengan ilmu-ilmu kitab kuning kepada murid-muridnya memberikan kepercayaan akan sakralnya ilmu yang dimiliki oleh para guru-guru mereka di daerah-daerah, sehingga penghormatan yang penuh kepada para guru-guru mereka menjadi pola tersendiri bagi garis ketaatan dan komando pada tubuh organisasi tersebut, berbeda dengan PKS ataupun HT. Guru-guru mereka di daerah dan pesantren dihormati dan dikultuskan sebagai tokoh daerah dan masyarakat sekitar yang pada akhirnya menjadi wakil bagi mereka di tingkat nasional. Berbeda dengan PKS yang dimana kekiayiannya hanya diakui di dalam wilayah internal kader organisasi tidak di masyarakat. Begitu bagusnya bergulir pola keorganisasian NU dengan pola guru atau ustad atau kiayi yang sebenarnya polal tersebut dilakukan jauh-jauh pada masa kerajaan islam di Indonesia, sehingga pola tersebut telah menjadi kebiasaan umum yang membudaya sampai tersebar di wilayah nusantara yang kebanyakan dari mereka memiliki pemahaman akan ke NU annya. Walaupun sangat disayangkan akhir-akhir ini prestasi mereka menurun dikarenakan terjadi perpecahan di dalam tubuh NU yaitu di dalam tubuh ulama NU dan bergabungnya sebagian kubu NU tersebut ke dalam wilayah partai praktis.

Memang politik praktis seperti racun bagi para ulama ataupun yang dianggap ustad agama atau organisasi yang berbasis agama. Kita dapat melihat dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang jemu dan muak melihat banyaknya prilaku para “pemeran agama” yang berprilaku dan berpandangan tak sesuai dengan ajaran agamanya sendiri sehingga dalam pandangan masyarakat indonesia yang sudah ternodai dengan pandangan materi dan dunia pada umumnya menganggap bahwa politik praktis adalah suatu barang dagangan dunia untuk mendapatkan kedudukan saja, dan agama hanya mengurusi masalah mesjid dan akhirat saja sehingga dalam pandangan umum mereka agama dijual untuk kepentingan pribadi atau golongan saja. Selain daripada itu juga memang sangat sensitif dalam wilayah politik praktis dengan sistem yang memaksakan para partai politik menggunakan sistem dagang , atau ”marketing”, jual beli suara rakyat.

Adapun para pengikut ahlulbait yang sekarang masih kehilangan jati dirinya akan hubungan sejarah yang mengakar dalam sejarah masyarakat Indonesia. Bolehlah dikatakan bahwa kebanyakan ajaran ini datang dari Iran ataupun timur tengah yang dianggap baru oleh masyarakat kita Indonesia. Mengapa demikian terjadi? Mungkin sebabnya para muballigh Syiah lebih menonjolkan pengenalan ketimur tengahan daripada keindonesiaan. Yang walaupun kalau kita kaji lebih jauh lagi dilihat dari tanda-tanda simbol dan bukti sejarah yang ada, banyak menunjukkan bahwa para penyebar Islam di Indonesia pada zaman itu atau awal-awal penyebaran Islam mereka bermazhab Syi’ah, versi lain mengatakan syiah Imamiah, ada juga yang mengatakan zaidiah, ada juga yang mengatakan malikiah, dan Syafeiyyah. Tetapi minimal kita bisa mengatakan bahwa mereka tidak lepas dari budaya ahlulbait nabi as, misalnya di Cirebon terkenal dengan bendera syiah singa Ali, dan 5 orang maksum, di banten terkenal dengan meriam yang bertuliskan “La fath ila Ali, la saifa illa Dzulfikar” [4] ataupun di Aceh dengan Syah Kualanya, dan lain-lain [5]. Sebenarnya jikalau kita teliti lebih lanjut gerakan , syiar, dan organisasi serta budaya para pecinta ahlulbait as sudah jauh lebih dulu daripada organisasi-organisai yang ada sekarang. Masalahnya disini masyarakat syiah di Indonesia umumnya belum bisa meneruskan konsep yang dimana pihak lain sudah lebih dulu maju dengan mengendarai organisasinya.

Memang syiah disini memiliki perbedaan dengan masyarakat organisasi lainnya. Dimana di dalam ajaran syiah telah terbiasa dan membiasakan diri dengan dimensi “Pengkajian” bukan hanya “Pengajian”, konsep mengkritik bukan hanya mengutip dan menggali filsafat bukan hanya teori filsafat. Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kondisi kehati-hatian yang lebih dalam memberikan kepercayaan ataupun dalam memberikan ketaatan kepada pihak lainnya. Animo Masyarakat terhadap ajaran syiah masih dihalangi dengan banyaknya isu yang tersebar dari kalangan pembenci ahlulbait as yang didalangi oleh kaum wahabi yang menyusup ke segala elemen baik itu pemerintahan, ulama, organisasi, ataupun masyarakat itu sendiri. Dan hal ini sudah menjadi isu internasional yang berakar dari perulangan sejarah. Ala kuli hal sebagian muballigh syiah telah memberikan pelayanan yang sesuai dengan budaya masyarakat sekitar yang walaupun sebagian lain masih terjebak dengan eksklusifisme dan ta’asub kelompok, internasionalisme, Perfeksionisme yang akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

Leadership Bukanlah ditunggu tapi di Jemput

Berbagai masalah yang dimiliki oleh masyarakat pecinta ahlulbait as di indonesia yang paling penting adalah masalah kepemimpinan lokal (Indonesia), sebagai kunci dari permasalahan permasalahan lainnya yang menjalar dalam tubuh masyarakat syiah, baik itu masalah program syiar, ekonomi, pemikiran, golongan-golongan dll.

Penghambat dari pemahaman kepemimpinan lokal tersebut dipengaruhi oleh:

1. Eksklusivisme dan ta’asub kelompok

Eksklusif disini maksudnya adalah setiap kelompok meinginginkan bahwa kelompoknya lebih berperan dalam catur pergolakan syiar di Indonesia, ciri khas mereka diyakini sebagai bentuk terbaik baik perjalanan syiar. Dan kelompok-kelompok tersebut banyak dimunculkan atas dasar senioritas, keustadan, kesukuan, kedekatan. Dengan memposisikan kelompok lain sebagai penghalang bagi terwujudnya cita-cita kelompok mereka, hal ini terjadi disebabkan pemikiran pemetaan dan pemetakan dakwah seperti pembagian “kueh bollu”. Dan yang terjadi adalah pemusatan perhatian terhadap kuantitas objek yang didakwahinya sebagai bagian dari wasilah untuk mendapatkan cita-cita golongannya yang diyakini sebagai cita-cita yang hakiki dari syiar ahlulbait as. Yang pada akhirnya terjadilah sikap ta’asub kelompok. Mungkin untuk mengobati hal tersebut diatas perlu disosialisasikan konsep Dakwah adalah sebuah tugas bersama, dan kelompok lain yang telah melakukannya (dalam jalur syiah) adalah termasuk upaya untuk meringankan tugas kita, bukan merebut “bagian kueh kita”.

2. Internasionalisme

Konsep Wilayatul Faqih yang menginternasional yang dimiliki sebagian besar oleh masyarakat Syiah memiliki posisi seperti mata uang. Yakni di satu sisi mendorong berjalannya gerakan dakwah disisi lain justru menghambatnya. Rahbar yang kita yakini sebagai Naib ‘am Imam Zaman as[6] menurut pendapat saya memiliki dua bentuk wilayah yang dikuasainya, pertama wilayah “The Facto and The yure(saya maksudkan de yure di sini dengan ajaran Islam) “ yakni kekuasaan dengan hukum-hukumnya dapat dilaksanakan secara bebas di iran, dan selain Iran hanya the yure saja artinya menurut ketentuan ajaran Islam yang dimana seluruh alam di bawah kekuasaannya, akan tetapi tak sampai pada penguasaan hukum dan undang-undang dan pengaturan lainnya yang bersifat detail. Dengan melihat kenyataan (the facto) yang ada bahwa Indonesia tidak di bawah kepemimpinan wali faqih yang ada di Iran secara langsung, dan tak mungkin bahwa beliau (wali faqih) ikut campur langsung dalam wilayah kenegaraan Indonesia bahkan kondisi kesyiahan di Indonesia, misalnya dengan menunjuk langsung wakilnya tanpa adanya kesiapan dari masyarakat syiah itu sendiri, ataupun mengatur langsung ke hal-hal yang lebih detail, sebab hal tersebut akan menyebabkan usaha kontraproduktif misalnya dalam masalah kepemimpinan. Dilain hal masalah kepemimpinan memiliki banyak syarat-syarat yang harus dimilikinya diantaranya adalah ketaqwaan, akhlaq, tingkat keilmuan dan penerimaan atau legitimasi dari masyarakat syiah Indonesia juga. Dalam masalah inipun Imam Ali menggambarkan mengenai pertimbangan keputusan berdasarkan keinginan masyarakat juga, misalnya beliau bersabda : "Hal paling agung yang diwajibkan Allah dari hak-hak tersebut adalah hak pemimpin atas rakyatnya. Rakyat tidak akan melakukan perdamaian bila pemimpinnya tidak melakukannya. Dan pemimpin tidak akan melakukan perjanjian perdamaian tanpa rakyatnya memiliki ketahanan"[7], atau Imam Khumaeni juga dalam hal ini mengisyaratkannya, walaupun pembahasan tersebut diperuntukkan untuk pemilihan wali faqih[8], akan tetapi hakikat mengenai penerimaan dan legitimasi dari pihak masyarakat merupakan salah satu poin yang penting yang harus diperhatikan dalam sebuah kepemimpinan. Dilain hal kepemimpinan secara praktis dalam jalur langsung merupakan kebutuhan yang sangat urgen bagi masyarakat syiah di Indonesia walaupun hanya dalam wilayah syiar dakwah, bukan dalam wilayah kenegaraan. Oleh sebab itu mau tidak mau kita harus memiliki pemimpin dalam scoupe nasional yang dapat mengelola syiar dakwah di Indonesia, sebagai model pengendali jalannya syiar dan sebagai perwujudan model kerjasama dalam dakwah bukanlah sebagai wakil dari wali faqih secara langsung, melainkan sebagai bentuk untuk memfasilitasi, mengkaderisasi, meregenerasi orang-orang yang suatu saat akan mampu mencapai maqam wakil dari wali faqih secaa langsung. Secara tidak langsung kepemimpinan tersebut dapat mensyiarkan dan membumikan konsep wilayatul faqih dan perannya di tingkat nasional. Kalau tidak maka pemahaman wilayatul faqih akan selalu menggantung hanya pada kepemimpinan yang ideal di Iran tanpa adanya metode praktis yang dapat dilakukan secara lokal dan juga akan menyebabkan munculnya penafsiran atau pengklaiman wujud wilayatul faqih di setiap golongan, walaupun mereka semua bersama-sama mengagungkan wali faqih Internasional sebagai pemimpin mereka.

3. Perfeksionisme

Tidak ada manusia yang sempurna selain dari orang Maksum as, dimana sampai saat ini orang maksum yang masih hidup adalah Imam Zaman as, adapun orang-orang selainnya dapat dikatakan sebagai orang yang mendekati kemaksuman seperti para ulama dan para syuhada. Memang diakui bahwa yang paling sempurna pada tingkat non maksum sekarang ini adalah wali faqih itu sendiri dan dibawahnya misalnya para ulama shaleh atau minimalnya orang-orang yang paham akan hukum agama dan pengetahuan akan hakikat kehidupan sebagai pembina dan pemimpin kita. Dikarenakan kita sering mengidolakan para ulama kita masing-masing yang shalih dan arif sebagai pemimpin, kita jadi buta terhadap orang-orang lain yang jauh tak setara dengan mereka tetapi memiliki kemampuan dalam membina umat dan memiliki potensi membina pengorganisasian syiar Islam. Disatu sisi pengidolaan tersebut merupakan jalan kebaikan untuk meniru ketauladanan mereka, akan tetapi apa boleh buat dan kenyataannya di negara kita tidak atau belum ada yang sampai seperti mereka. Apakah hal ini menjadi alasan ketiadaan tersebut adalah ketidakperluan adanya kepemimpinan umat di negara kita, minimal di lingkungan mazhab syiah?. Kita sering mendengar dalam pemilihan pemilu “memilih dari yang terburuk” lalu apakah diantara saudara kita sesama pengikut ahlulbait as tak ada yang “lebih baik dari yang baik” atau yang “baik dari yang kurang baik”. Perfeksionisme inilah yang akan menjadi penghalang akan dzuhurnya imam Zaman as di nusantara yang tercinta ini.

Masalah kepemimpinan memang bukan hanya terjadi dalam tubuh syiah tetapi dalam tubuh kelompok lainpun terjadi akan tetapi seperti yang telah kita ketahui dalam kelompok atau organisasi atau partai lainnya masih tetap dapat berjalan dengan mempertahankan “konsep kepemimpinan yang tak ideal” yang dimiliki oleh mereka. Menurut pendapat pribadi saya kepemimpinan dalam berbagai hal adalah suatu kemestian baik kepemimpinan yang maksum ataupun yang tak maksum. Kepemimpinan muncul dapat terjadi secara alamiah artinya orang yang unggul di tengah masyarakat dan diakui secara umum bahwa dia memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang di lingkunganya serta memiliki banyak pendapat solusi serta solusi pembinaan yang kuat yang menyebabkan masyarakat merasa butuh menjadikan dia sebagai pemimpin, ada juga kepemimpinan tersebut muncul karena proses pemilihan yang disepakati berdasarkan pola terorganisir yang memuat kesepakatan dan aturan-aturan dan syarat-syarat yang ada. Kedua hal tersebut dapat berjalan bersama-sama, maksudnya tidak mungkin hanya dengan menunggu kepemimpinan yang alami muncul di tengah masyarakat tanpa mengusahakan sesuatu apapun ke arah kepemimpinan tersebut, tetapi bukan pula berarti tidak menerima kepemimpinan alamiah yang lebih baik setelah terpilihnya kepemimpinan yang terpilih melalui ketentuan organisasi.

Lalu bagaimana untuk memilih pemimpin tersebut? Mengenai kepemimpinan non maksum Imam Khumaeni secara gamblang menjelaskan bahwa penerimaan dari masyarakat (public allegiance) pun diperlukan.[9] Oleh sebab itu Masyarakat syiah di indonesia harus melihat sejauh mungkin orang-orang yang pantas untuk menduduki kepemimpinan syiah di Nasional sebagai bentuk dari upaya membumikan konsep wilayatul faqih, tanpa melupakan syarat-syarat umum mengenai hal ikhwal pribadi pemimpin yang pantas untuk disandangnya.

Demokratisasi dan Moderatisasi sebagai Kunci Kesuksesan

Mazhab Syiah tidak memiliki pemahaman jabariah, artinya menyerah pada takdir tetapi harus berusaha bukan menunggu tapi menjemput. Termasuk dalam wilayah siasat dan strategi kepemimpinan mazhab di Indonesia tidak lah pantas kita menganut pemahaman jabariah, menunggu sang wali faqih menunjuk seseorang sebagai naib-nya atau menunggu ulama yang muncul suatu saat yang akan menjadi pemimpin mazhab di Indonesia. Dalam mengusahakan hal tersebut diperlukan suatu kajian metodelogis yang terpadu dan tersusun mengenai pentingnya terbentuknya suatu badan atau organisasi yang dapat memfasilitasinya. Pengkajian metodelogis tersebut sebaiknya menjadi bab yang selalu dibahas di setiap pengajian dan huseiniah, sehingga dari hal tersebut akan menumbuhkan kesiapan masyarakat akan pembentukan suatu badan organisasi atau wadah masyarakat se-nasional.

Ada beberapa penghalang dalam mewujudkan hal tersebut diantaranya :

1. Kebiasaan masyarakat syiah umumnya yang terjebak dalam pengkajian teoretis bukan metodelogis, sering kita lihat dalam diskusi milis bahwa secara teoretis dalil-dalil para pengikut ahlulbait sangatlah kuat dibandingkan dengan saudara kita dari mazhab lain, tetapi jikalau disodorkan kedalam wilayah metodelogis, disini terjadi kebuntuan di pihak kita.

2. Pola kerja “Up down” artinya pola kerja yang hanya menitik beratkan pada garis atas ke bawah pada kelompok tertentu sehingga pembiasaan untuk berbeda pendapat dalam wilayah metodelogis menjadi terhambat.

3. Trauma yang tak berasalan. Misalnya masyarakat syiah di Indonesia pernah digemparkan dengan pembentukan ormas akan tetapi menurut sebagian pihak pembentukan tersebut merupakan suatu kegagalan, dan untuk pembentukan selanjutnya sama saja akan mengulang peristiwa yang lalu. Justru dengan pengalaman tersebut kita akan mengambil pelajaran dan mencari langkah yang lebih baik kedepannya.

4. Kurangnya memberikan kepercayaan kepada orang yang mampu atau ahli yang lebih darinya dalam bidangnya masing masing, misalnya ada orang yang mampu dalam bidang hukum fiqih, organisasi, managemen, kemasyarakatan, sosial, politik, sejarah, kepemimpinan dll, sehingga menyebabkan susahnya hubungan saling memberikan kepercayaan akan tugas-tugasnya.

Dari hal-hal tersebut diatas, kita dapat merasakan betapa pentingnya pola organisasi yang baik untuk memfasilitasi kepemimpinan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa model keorganisasian yang baik untuk kondisi tersebut diatas adalah model keorganisasian yang demokratis dan moderat, yang lebih disesuaikan dengan kondisi budaya syiah yang ada di Indonesia. Berbeda hal nya dengan PKS atau NII yang lebih menitik beratkan pada konsep komando satu garis atau seperti organisasi NU dengan pemfiguran atau pengkultusan penuh terhadap satu orang. Organisasi syiah harus memfasilitasi ruang perbedaan, wilayah kritik, dimensi penyeimbang tanpa melupakan garis ideologi yang sama.
1. Ruang Perbedaan

Perbedaan yang dimaksud bukanlah perselisihan, akan tetapi perbedaan dalam masalah pendapat yang berlainan dalam teori, pengambilan dalil, metode praktis. Dan perbedaan ini bisa diselesaikan dengan pencarian dalil yang terkuat menuju yang sama atau paling tidak dengan kesepakan terhadap perkara-perkara yang beririsan, tanpa adanya perselisihan. Perbedaan tersebut bisa terjadi di dalam organisasi dan diluar organisai. Ruang perbedaan dibutuhkan dikarenakan budaya berbeda baik dalam masalah yang paling sensitif misalnya kemarjaan sampai yang tidak sensitif merupakan hal yang sudah mendarah daging dalam masyarakat syiah umumnya. Oleh sebab itu sebagai salah satu usaha untuk memfasilitasi perbedaan tersebut diperlukan suatu pemilihan bersama terhadap orang yang akan menduduki jabatan pemimpin organisasi, tak lupa pula masalah periodisasi kepemimpinan diperlukan untuk memberi kesempatan kepada pihak lain yang mungkin lebih mampu dalam masalah kepemimpinan tersebut.

2.Wilayah Kritik

Keyakinan akan kebenaran yang sempurna tidak dimiliki oleh kita yang tidak maksum. Tingkatan yang paling sempurna pada tingkatan kita adalah kebenaran dengan konsep “lebih benar” atau “lebih baik” , kalau dalam istilah lainnya “dalilnya lebih kuat”. Sehingga dengan posisi kita seperti ini berarti kesiapan kita untuk menerima kritik adalah suatu hal yang pasti harus dimiliki. Kritik sebagai penyempurna bukan penghinaan.

3. Dimensi Penyeimbang

Kepemimpinan dengan bentuk kerajaan-kerajaan yayasan atau organisasi yang dikuasai penuh satu orang dalam masyarakat syiah harus segera ditinggalkan sebab hal tersebut akan menutup kemajuan dan kerjasama antar masyarakat syiah. Oleh sebab itu organisasi yang akan diwujudkan harus memiliki dimensi penyeimbang dalam setiap tingkatan dan ruang gerak. Maksudnya seperti halnya pemerintahan Iran yang masyhur dikenal sebagai negara Islam dengan kepemimpinan Wali faqih selalu menggunakan dimensi ini sebagai bentuk dari pengawasan dan penselektifan pelaku organisasi. Wali fakih diawasi oleh majelis Khubregon, Presiden dan mentri oleh MPRnya, Yudikasinya oleh Wali faqih secara langsung dan lain sebagainya, sehingga konsep pemisahan kekuasaan “demokrasi” dalam hal ini sangatlah dibutuhkan maksudnya pemeran yudikasi, legislasi dan eksekusi ataupun komponen lain sebagai penyeimbang sangatlah dibutuhkan bagi organisasi Syiah. Dan ini model yang paling sempurna bagi orang-orang non maksum seperti kita. Sehingga tidak ada lagi pola penguasaan satu pihak baik itu dari ketua ataupun dewan-dewan tertentu.

4. Ideologi yang sama

Organisasi untuk masyarakat syiah harus memiliki ideologi yanng sama baik itu ideologi umum mazhab (dzuhurnya imam zaman as) ataupun ideologi khusus organisasi dalam wilayah keindonesiaan. Ideologi ini tersusun tidak bertolak belakang dengan ideologi umum dan ditetapkan oleh badan yang ahli dalam penjagaan aturan organisasi dengan memperhatikan apresiasi dan keyakinan masyarakat syiah yang ada. Dengan Ideologi tersebut maka ruang perbedaan, wilayah kritik, dan dimensi penyeimbang akan dapat dikendalikan secara umum.

Penulis : THALABAH S1 “Jamiah Ali Al-Bait (as) Al-Alamiah” Qum, Republik Islam Iran.



Referensi :

[1] Qs : At-Taubah :33

[2] Qs : Asy-Syura: 38

[3] Qs : Ashaf : 4

[4] http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=79456

[5] Bisa dirujuk di buku Kafilah Budaya karya Dr. Muhammad Iqbal penerbit citra.

[6] Imam Khomeini menyatakan: “Hanya para Imam maksum dan orang-orang yang ditunjuk mereka,dan mereka berhak menangani pada permasalahan politik. Ketika mereka tidak hadir maka wakil mereka, yaitu Faqih yang memenuhi syarat, yang bertanggungjawab menangani permasalahan politik tersebut.” Imam Khomeini, “Tahrir al-Wasilah”, hal. 443

[7] (Nahjul Balaghah, khotbah 216).

[8] “Wali Faqih adalah individu dengan memiliki akhlak, patriotisme, keilmuan, dan prestasi yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur terhadap orang yang memenuhi kriteria tersebut.” Yamani, “Filsafat Politik Islam”, hal. 136, penerbit Mizan.

[9] Kazem Ghazi Zadeh, “General Principles of Imam Khumayni’s Political Thought”, bab “Absolute Guardianship of A Jurisconsult”, Jurnal Message of Thaqalayn, no. 2 dan 3.
http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&id=224904

Tidak ada komentar:

Posting Komentar