Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Kamis, 19 April 2012

“Jika Tidak Ada Al-Farazdaq, Sepertiga Bahasa Arab Akan Hilang”

Siapakah al-Farazdaq?

Nama asli al-Farazdaq adalah Abu Firas Hammam bin Ghalib bin Sha’sha’ah at-Tamimi ad-Darimi. Ia lahir di Kadhima (sekarang Kuwait) pada tahun 641 namun tinggal di Basrah. Pada usia 15 tahun, Farazdaq dikenal sebagai penyair. Suatu ketika Ghalib datang kepada Imam Ali bersama putranya. Imam bertanya, “Bagaimana tentang jumlah untamu yang banyak?” Ia menjawab, “Mereka telah tersapu habis (dalam melaksanakan kewajiban), wahai Amirul Mukminin.” Imam menjawab, “Itu cara paling terpuji.”
Lalu Imam bertanya kepada Ghalib siapa anak muda ini. Dengan bahagia Ghalib menjawab, “Dia adalah putraku dan dia seorang penyair.” Ketika Imam mendengarnya, beliau berkata, “Ajari ia Alquran. Itu lebih baik baginya dari sekedar membaca syair.” Kata-kata Imam mempengaruhi al-Farazdaq sehingga ia berjanji tidak akan bebas sebelum menghafal Quran. (Lihat: Syarh Ibnu Abil Hadid). Kemudian al-Farazdaq kembali kembali membuat puisi.

Ketika ia tinggal di Bashrah, ia menyusun satir untuk Bani Nisyal dan Bani Fuqaim dan ketika Ziad bin Abihi (anggota Bani Fuqaim) menjadi gubernur di Irak pada tahun 669. Al-Farazdaq dipaksa tinggal beberapa tahun di Madinah dan kembali ke Bashrah setelah kematian Ziad. Di Bashrah ia berusaha mendapatkan dukungan putra Ziad, Ubaidillah.
Al-Farazdaq terkadang bersikap “gila” dan berani, seperti syair dan perseteruannya dengan Jarir (penyair dekat seorang tirani, al-Hajjaj) yang telah menjadi perbincangan selama berabad-abad. Kekayaan kosakata al-Farazdaq membuat kritikus Arab terdahulu berkata, “Jika syair-syair al-Farazdaq tidak ada, sepertiga bahasa Arab akan hilang.” Dîwan-nya mengandung ribuan sajak, termasuk pujian, sindiran dan rintihan.

Pertemuan dengan Imam Husain

Sebelum Imam Husain berangkat ke Karbala, beliau bertemu dengan al-Farazdaq dan menanyakan kondisi di Irak. Al-Farazdaq mengatakan bahwa hati orang-orang di sana bersama Imam tapi pedang mereka bersama Ummayah dan mengarah ke Imam. Imam Husain menjawab, “Bila segalanya berjalan sebagaimana yang kami kehendaki, kami bersyukur kepada Allah… Tetapi bila terjadi yang tidak menguntungkan, kami tidak rugi karena maksud kami baik… Aku bersyukur kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan atau sebaliknya.”
Kepada al-Farazdaq, Imam Husain as juga berkata, “Wahai Farazdaq! Mereka adalah orang-orang yang telah melalaikan ketaatan kepada Allah dan mengikuti ajakan setan. Mereka berbuat kerusakan di muka bumi, mencampakkan hukum Allah dan melakukan kemunkaran serta merampas harta orang-orang fakir. Aku lebih berhak untuk bangkit membela agama Allah. Demi kemuliaan agama, aku jihad di jalan Allah sehingga kalimah Allah tegak.”

Syair Monumental Itu…

Meskipun Hisyam bin Abdul Malik adalah khalifah Bani Umayyah, dia tidak berhasil menyentuh dan mencium Hajarul Aswad, karena banyaknya jumlah jemaah haji. Kaki tangan dan para pengawal yang datang bersama Hisyam dari negeri Syam juga gagal menjaga “keagungannya” di hadapan kebesaran dan keagungan amal ibadah haji. Berulang kali Hisyam berusaha untuk sampai ke Hajarul Aswad, namun selalu saja gagal.
Akhirnya dia mengalah dan mundur, Hisyam duduk di sebuah kursi yang telah tersedia di tempat yang agak tinggi sembari memandang jemaah haji yang sedang mengintarinya. Tiba-tiba muncul seseorang yang berwajah saleh. Mula-mula beliau bertawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali, lalu dengan wajah tenang dan langkah yang mantap, beliau beranjak menuju ke arah Hajarul Aswad. Jemaah yang berdesakan itu segera memberikan jalan ketika melihatnya datang.
Melihat hal itu, orang-orang Syam merasa terkejut. Mereka heran karena seorang khalifah seperti Hisyam yang mempunyai status sosial yang tinggi gagal mencapai Hajarul Aswad, tapi orang yang sederhana itu justru dengan mudah bisa mencapainya. “Siapa gerangan orang itu wahai Amirul Mukminin?” tanya orang kepada Hisyam. “Entahlah,” jawab Hisyam tak acuh.
Hisyam sebenarnya mengenal siapa orang itu tapi berpura-pura tidak mengenalnya. Ia adalah Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husain. Lagi pula siapakah yang berani mengenalkan orang ini kepada Hisyam, yang pedangnya selalu berlumuran darah pada saat itu? Dalam keadaan seperti itu, al-Farazdaq, berkata, “Aku kenal dia. Bahkan tidak puas dengan mengenalkannya begitu saja.” Dia berdiri di sebuah tempat yang agak tinggi dan mengucapkan syair (yang saya ringkas):
Dialah yang dikenal jejak langkahnya,
oleh butiran pasir yang dilaluinya.
Rumah Allah Kakbah pun mengenalnya,
dan dataran tanah suci sekelilingnya.

Dialah putra insan termulia,
dari hamba Allah seluruhnya.
Dialah manusia hidup berhias takwa,
kesuciannya ditentukan oleh fitrahnya.

Di saat ia menunju Kakbah,
bertawaf mencium Hajar jejak kakeknya.
Ruknul Hatim enggan melepaskan tangannya,
karena mengenal betapa ia tinggi nilainya.

Itulah Ali cucu Rasulullah,
cucu pemimpin segenap umat manusia.
Dengan agamanya manusia berbahagia,
dengan bimbingannya mencapai keridaan-Nya.

Jika Anda belum mengenal dia,
dia itulah putra Fatimah.
Putri Nabi utusan Allah,
penutup para Rasul dan anbiya.

Pertanyaan Anda “Siapa dia?”
tidak merugikan keharuman namanya.
Arab dan ajam mengenal dia,
walau Anda hendak mengingkarinya.

Tidak pernah ia berucap “tidak”,
kecuali dalam ucapan syahadatnya.
Kalau bukan karena syahadatnya,
“Tidak”nya berubah menjadi “ya”.

Berasal dari keluarga mulia
Mencintainya fardhu dalam agama
Membencinya kufur dalam agama
Dekat padanya selamat dari marabahaya.

Yang mengenal Allah pasti mengenal dia
Yang mengenal dia mengenal keutamaannya
Yang bersumber pada lingkungan keluarganya
Tempat manusia bermandikan cahaya.
Mendengar syair, manthiq dan bayan al-Farazdaq ini, Hisyam naik darah. Diperintahkannya agar jatah al-Farazdaq dari Baitul Mal diputus, dan dia dijebloskan ke dalam penjara Asfan, suatu daerah antara Mekah dan Madinah. Namun semua itu tidak mengendurkan semangatnya yang dalam untuk mengungkapkan akidah dan prinsipnya. Bahkan di penjara pun, dia terus mengucapkan syair-syairnya yang bernada protes dan kritik berapi-api.
Suatu hari, Imam Ali Zainal Abidin mengirim sejumlah uang untuk al-Farazdaq sebagai ganti atas pemotongan haknya dari Baitul Mal. Tapi al-Farazdaq menolaknya dan berkata, “Kuucapkan syair itu demi akidah dan imanku karena Allah semata-mata. Aku tidak berhasrat menerima uang ini sebagai upah.” Untuk kedua kalinya Imam Ali Zainal Abidin mengirimkan sejumlah uang kepada al-Farazdaq. Dia berpesan, “Allah Swt. Maha Mengetahui tujuanmu. Andaikan engkau terima bantuanku, tidaklah berarti bahwa ganjaranmu dan pahalamu akan terusik.” Dan Imam Ali Zainal Abidin bersumpah kepada al-Farazdaq agar menerima bantuannya hingga akhirnya menerima.
Sumber : Ejaannya Eja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar