Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Minggu, 15 Juli 2012

Sampang dan Peradilan Sesat (2-habis)


Oleh: Hertasning Ichlas* 

Hukum yang tersesat
Ustadz Tajul Muluk (kiri) saat mengikuti sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Sampang, Madura, Kamis (12/7).
Tajul Muluk dan pengikutnya Muslim Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang sebenarnya adalah korban. Semula dirinya dan warga Syiah kerap diintimidasi dan diancam keselamatannya oleh sekelompok pihak yang tak suka dengan sepak terjang Tajul Muluk dan ajaran Syiah.

Sebagai solusinya, Tajul rela terusir ke luar Sampang. Dia menuruti kehendak itu demi kepentingan ratusan warga Syiah pengikutnya dan demi ketentraman kampungnya.


Namun tiba-tiba pada 29 Desember 2011, jauh dari tempat pengucilannya, Tajul mendengar pesantren, mushalla, koperasi, rumahnya, rumah ibunya dan saudara-saudaranya dibakar ratusan orang dari luar kampungnya seraya berteriak ingin membunuh di depan polisi yang kewalahan tak berdaya.

Pembakaran itu mengakibatkan pengungsian 350-an warga muslim Syiah lebih dua pekan lamanya ke Sampang. Dalam pengungsian, mereka kehilangan hak-hak dasar, kerap dilecehkan aparat pemerintah karena keyakinannya, dan yang paling menyakitkan, mengetahui harta benda di rumah mereka telah dijarah. Mungkin sebagai “hukuman” karena keyakinannya, sehingga polisi tak merasa perlu melakukan tindakan.

Di negara yang lebih beradab dan adil, kita tak akan gamang menyebut pengikut Syiah itu sebagai korban. Dan menyaksikan bagaimana hukum akan segera menangkap pelaku pembakaran, aktor penggerak dan penyuruh, termasuk menindak setiap pidato kebencian dari mereka yang ingin mengobarkan pengkafiran dan kekerasan atas nama agama.

Kita seharusnya melihat bagaimana negara dan kepemimpinan politik mengambil sikap tegas memisahkan urusan kesesatan dari keadilan hukum. Tetapi kita tahu, negara seperti itu mungkin telah terkubur bersama seluruh pembiaran negara dan kebiadaban manusia yang mengaku bertuhan terhadap golongan minoritas dan kelompok rentan yang selama ini kita saksikan. Di mana negara hanya bersedia menjadi penonton.

Alih-alih menangkap pelaku pembakaran dan aktor penggerak kekerasan, negara memilih menahan dan kemudian mengkriminalisasi Tajul Muluk bernama Tajul Muluk dengan dalil penodaan agama 156a KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan pasal 335 ayat 1 KUHP di PN Sampang.

Meskipun kita tahu, tak ada fatwa dan selembar pun surat penyesatan Syiah telah dikeluarkan oleh MUI dan bahkan oleh majelis ulama seluruh dunia tentang Syiah. Justru yang ada adalah sebaliknya.

Persidangan Tajul Muluk adalah contoh telanjang sesatnya negara dan hukum terhadap hak-hak warganya. Kasus ini kembali menjadi ujian bagi negara.
Apakah negara akan membiarkan sebuah kelompok yang ingin eksis sendirian dengan pahamnya melakukan apa saja untuk mencapai caranya termasuk memberangus dan memecah-belah Indonesia. Karena jika negara hanya ingin menjadi penonton, maka yang kemudian terjadi adalah penindasan, konflik yang konstan dan mungkin pembantaian.

*Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Sumber : Republika

4 komentar:

  1. Ilahi Ya Karim..... ana jadi ingat sebuah riwayat, seorang pecinta Amirul Mukminin datang menemui Sang Imam seraya berkata ," Ya Ali aku mencintaimu." Jawab Imam ," kalau begitu, bersiap-siaplah utuk dimusuhi, diusir, diintimidasi." Insya Allah Ya Amirul Mukminin..... kami siap

    BalasHapus
  2. sdh seharusnya di penjara saya orang sampang asli dan saya tidak suka dengan sepak terjang si tajul muluk ustad bangsat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika engkau hindarkan daripada tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang - orang yang bodoh (QS. Yusuf: 33)

      Hapus