Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Selasa, 16 April 2013

Please Don't Be a Muslim

Bom Boston, Amerika Serikat
Dina Y. Sulaeman

Menyusul tragedi pengeboman di Boston, situs Washington Post memuat artikel berjudul “Please Don’t Be a Muslim” (semoga jangan orang Islam). Ya, saat mendengar berita pengeboman di Boston, agaknya, hampir semua orang, termasuk kaum muslim, secara refleks teringat pada Al Qaida atau sejenisnya. Menurut artikel tersebut, meski tragedi Boston masih belum diselidiki, di twitter sudah bertebaran pesan singkat, Please don’t be a ‘Muslim.’ Semoga jangan muslim pelakunya. Ungkapan belasungkawa juga segera dilakukan kaum muslim berbagai negara melalui media sosial. Seolah mereka semua sedang diposisikan sebagai tertuduh dan cepat-cepat berusaha menunjukkan bahwa mereka tidak setuju dengan aksi pengeboman itu. Menyedihkan, sejak tragedi  9 September 2001 (penghancuran gedung WTC), terorisme menjadi identik dengan muslim.

Segera setelah  9/11, Bush menggandeng DK PBB, NATO, dan EU dan berhasil menggalang 33 negara untuk bergabung dalam pasukan koalisi War on Terrorism (WoT)  yang langsung dipimpin AS sendiri. Pada Oktober 2001, WoT mulai dilancarkan di Afghanistan dengan misi menumbangkan Taliban dan menangkap pimpinan Al Qaida, Osama bin Laden, tertuduh utama pelaku 9/11. Selanjutnya, pada 2002, pasukan khusus AS bekerjasama dengan militer Philipina dengan misi mengusir kelompok Abu Sayyaf dan Jamaah Islamiyah dari Pulau Basilan. Tahun yang sama, perang juga dilancarkan ke beberapa kawasan muslim Afrika yang juga dituduh menjadi basis teroris. Tahun 2003, perang kembali diluncurkan ke Irak dengan misi menggulingkan Saddam Husein atas tuduhan menyimpan senjata pembunuh massal yang mengancam keamanan dunia. Selain perang fisik, AS juga menggalang dukungan internasional untuk bersama-sama melancarkan WoT di wilayah masing-masing, termasuk di Indonesia.

Sebelum dilanjutkan, mari kita lihat dulu, apa definisi terorisme. Kaplan (1981) mengatakan bahwa terorisme dimaksudkan untuk menciptakan situasi pikiran yang sangat menakutkan (fearful state of mind). Lebih jauh lagi, situasi ketakutan ini tidaklah ditujukan kepada para korban teroris melainkan kepada audiens (khalayak) yang bisa jadi tidak ada hubungan dengan para korban. Hal senada juga diungkapkan Oots (1990, p.145) yang menulis bahwa terrorisme dimaksudkan untuk menciptakan “ketakutan yang ekstrim di tengah khalayak yang lebih besar daripada korban langsung.”

Masyarakat Barat yang terbiasa hidup dalam situasi yang stabil tidak terbiasa dengan situasi ketakutan seperti ini. Persepsi ketakutan ini juga dilipatgandakan oleh media, terutama TV. Selain itu, tindakan AS yang mendeklarasikan WoT lalu menyerang Afghanistan, Irak, dan negara-negara lain telah memicu munculnya persepsi global bahwa terorisme adalah sumber bahaya dan ketidakamanan yang mengancam setiap saat.

Inilah poin yang penulis garis bawahi: persepsi global ketakutan. Melalui media, AS telah berhasil menyebarluaskan persepsi global bahwa ada ancaman terorisme Al Qaida yang bergentanyangan di berbagai sudut bumi.  Ketakutan dimunculkan di seluruh dunia. Jaringan Al Qaida, konon tersebar dari Kennya, Tanzania, Maroko, Tunisia, Arab, Mesir, Yaman,  Jordan, Irak, Afghan, Turki, Spanyol Inggris, Pakistan,Indonesia, dan Philipina, dan mereka sedang merencanakan teror di berbagai negara.

Bila dikalkulasi, WoT membunuh secara langsung 62.006 orang dan membuat 4,5 juta orang menjadi pengungsi, dan membuat AS mengeluarkan uang hingga mencapai 3 Trilyun Dollar (data hingga 2006). Sebaliknya, menurut data tahun 2004-2008, jumlah korban akibat serangan teroris di seluruh dunia adalah 3014 orang, yang mayoritasnya bukan orang Barat (Helfstein, 2009). Bila angka ini ditambahkan dengan jumlah korban 9/11, jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban akibat WoT. Dengan demikian, bila digabungkan seluruhnya, jumlah korban akibat WoT maupun akibat terorisme yang dinisbahkan kepada Al Qaida, mayoritasnya justru muslim. Angka ini akan melonjak lagi bila data terbaru korban teror  Al Qaida di Libya dan Syria ditambahkan.

Di sini,  dapat disimpulkan, terorisme tidak sekedar ancaman global, tetapi secara spesifik: ancaman global bagi umat muslim. Umat muslim di berbagai penjuru dunia kini terancam. Sewaktu-waktu ada aksi teror yang dilakukan oleh orang-orang muslim, efeknya akan dirasakan oleh muslim di berbagai kawasan. Misalnya, teror di Bali, efeknya dirasakan oleh muslim di Australia padahal korban teror di Bali juga banyak yang muslim. Teror di London, Moskow, Madrid, efeknya dirasakan oleh muslim di Eropa, orang-orang bergamis dan berjilbab dihina, diteriaki, bahkan ada yang dirampas jilbabnya  karena dicurigai sebagai teroris. Ketakutan yang sama bahkan muncul di negeri muslim seperti Indonesia. Menyusul bom Marriot, muncul ketakutan kepada orang yang bergamis, berjenggot, dan bercadar. Media beberapa kali memberitakan pengusiran terhadap orang-orang berpenampilan “Timur Tengah” itu di beberapa wilayah.

Ada dua hal yang perlu dicermati di sini. Pertama, terorisme digunakan untuk politik menakut-nakuti (politics of fear). Herman and O’Sullivan (1984) menulis, terorisme telah memberikan  kesempatan bagi para pemimpin di Barat untuk menciptakan ketakutan dan irasionalitas di tengah masyarakat sehingga mereka memberikan kebebasan kepada para pemimpin itu untuk melakukan apa saja. Ketakutan terhadap terorisme efektif untuk memobilisasi massa agar mendukung aksi-aksi militer, dan ini memberikan keuntungan besar bagi industrialis perang. Selanjutnya, ketika suatu negara hancur lebur akibat perang, proyek-proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak pun akan mengisi pundi-pundi para kapitalis Barat itu.

Kedua, catatan untuk kaum muslimin sendiri. Tak bisa lagi dipungkiri, bahwa Al Qaida memang ada dan melakukan teror. Memang bila ditelusuri lagi, backing di belakang Al Qaida (bahkan, yang pertama kali membentuknya dan melatihnya) adalah CIA; kasus Libya dan Syria juga semakin membuka tabir siapa sebenarnya ‘sutradara’ di balik Al Qaida. Namun, siapa yang benar-benar terjun ke lapangan? Siapa yang angkat senjata atau melakukan berbagai aksi bom bunuh diri dan pengeboman jarak jauh? Tentu saja, jelas bukan bule-bule CIA, melainkan muslim yang merasa sedang berjihad. Dan sedihnya, cukup banyak juga simpatisan Al Qaida ini di Indonesia. Bahkan seorang petinggi sebuah partai Islam pernah menulis puisi yang menyanjung Osama bin Laden. Artinya, kita pun kaum muslimin perlu waspada; perhatikan lagi, berapa banyak yang tewas, dan siapa yang lebih banyak tewas gara-gara ada sekelompok muslim yang mau-maunya bergabung dengan Al Qaida (dan afiliasinya)? Ironis sekali, merasa sedang berjihad dan menegakkan kebenaran, namun ternyata mereka hanya pion yang sedang diperalat Barat.

Siapa pelaku pengeboman di Boston masih belum dipastikan. Tapi semoga, memang bukan muslim pelakunya.  []

Catatan: ini adalah ringkasan dari paper saya soal terorisme dan politics of fear; versi lengkapnya bisa diunduh di sini:Makalah Dina_global security_OK

Tulisan ini dimuat di IRIB Indonesia dan The Global Review

Tidak ada komentar:

Posting Komentar