Di tengah persoalan ketidakcakapan hakim, korupsi dan pemalsuan putusan
(vonis) Mahkamah Agung (MA) memutus perkara Tajul Muluk. Putusan MA
Nomor 1787 K/ Pid/2012 itu diberitahukan ke Tajul alias Ali Murtadha ke
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sidoarjo, Jawa Timur, kemarin sore (17/1).
Dalam
petikan putusan yang dikirim MA ke Pengadilan Negeri (PN) Sampang
tertanggal 9 Januari 2013, vonis itu sudah diputuskan hakim pada 3
Januari 2013, Permohonan kasasi Tajul Muluk ditolak. Itu artinya
keputusan yang berlaku saat ini adalah putusan Pengadilan Tinggi Jawa
Timur.
Tajul Muluk divonis di Pengadilan Negeri Sampang dengan
hukuman 2 tahun penjara, pada 12 Juli 2012 dengan tuduhan Tajul
mengajarkan dan memiliki Qur’an yang berbeda dengan Qur’an yang ada saat
ini, walaupun banyak saksi menyatakan tidak ada ajaran itu. Namun,
hakim mengabaikan para saksi dengan alasan para saksi itu sedang
taqiyah—menghindari kebenaran untuk mencegah fitnah. Lalu di Pengadilan
Tinggi Jawa Timur hukuman Tajul dinaikkan menjadi 4 tahun pada 20
September 2012 dengan tambaan alasan, bahwa ajaran Tajul menyebabkan
kerusuhan dan seorang mati. Padahal saat kerusuhan terjadi 26 Agustus
2012 Tajul sedang menjalani hukuman di penjara di LP Sampang.
Kasus
Tajul Muluk memang berjalan tak normal sejak awal. Dia, keluarga dan
pengikutnya menjadi korban kekerasan. Tajul Muluk diusir dari
kampungnya, lalu rumah, madrasah dan musala di kampungnya dibakar.
Pengikutnya dilukai dan bahkan ada yang mati dibunuh. Dua kali
pengikutnya terusir dan menjadi pengungsi di daerahnya sendiri di
Sampang. Sampai kini ratusan orang masih mengungsi di Gedung Olah Raga
(GOR) Sampang, dan mulai tak diurusi pemerintah.
Lalu Tajul
ditahan dengan sangkaan menodai ajaran agama Islam, dengan tuduhan pasal
156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Saat masih dalam tahanan,
dan mengajukan kasasi, dia sempat ditahan secara tidak sah selama 14
hari. Masa tahanannya yang habis 9 Oktober 2012, surat perpanjangan baru
ditandatangani 22 Oktober 2012.
Kepala LP saat itu tak mau
melepaskan Tajul, padahal menurut Peraturan Menteri (Permen) Hukum dan
HAM No. M.HH-24.PK.01.01.01 tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi
Hukum yang intinya memerintahkan Kepala Lapas untuk mengeluarkan tahanan
demi hukum bila telah habis masa penahanannya atau habis masa
perpanjangan penahanannya.
Sayangnya, upaya ini ditolak mentah
oleh Lapas Sidoarjo. Pelaksana harian LP Sidoarjo, Syukron Hamdani,
menolak upaya kuasa hukum Tajul Muluk.
Dua pekan lalu, saya
sempat menelusuri sudah sampai mana berkas Tajul Muluk di Mahkamah
Agung. Karena terdengar informasi perkara Tajul Muluk sudah diputus.
Saya mendatangi kantor MA Gedung di Jalan Merdeka Utara, Jakarta itu.
Setelah mengikuti prosedur dengan bantuan staf MA, mencari nomor
perkara. Tak ada baik dengan kata kunci nama Tajul Muluk atau Sampang.
Di
sistem informasi itu ketika menggunakan kata kunci Sampang, hanya ada
berkas terakhir masuk pada Agustus 2012. Padahal berkas Tajul menurut
surat pelimpahan dari PN Sampang masuk tanggal 31 Oktober 2012. Jadi
sampai awal Januari saat saya ke Gedung MA, nomor perkara, maupun nama
tim hakim belum terdaftar dalam sistem informasi di MA. Lalu kenapa
tiba-tiba ada putusan tertanggal 3 Januari 2013? Kenapa putusan Tajul
seperti dirahasiakan? Siapa bermain dalam perkara ini?
Tak heran
jika timbul kecurigaan, jangan-jangan putusan yang disampaikan ke Tajul
muluk kemarin adalah palsu. Bukankah hakim atau bahkan pegawai di MA
bisa memalsukan putusan dan bisa mengubah putusan, seperti yang
dilakukan hakim Achmad Yamani baru-baru ini? Jika Mahkamah Agung bisa
berbuat zalim seperti itu, kemana lagi rakyat Indonesia akan berharap
untuk mendapat keadilan di negeri ini. Apalagi jika institusi tertinggi
peradilan ini bisa dipengaruhi kekuasaan dan uang. Ini adalah azab bagi
negeri ini.
Mantan Ketua Muda Peradilan Agama Mahkamah Agung,
Profesor Bustanul Arifin, 84 tahun, mengkritik putusan yang dijatuhkan
kepada Tajul Muluk. “Putusan yang dihasilkan itu ngaco semua dan ini
menghancurkan keadilan yang ingin dibangun lewat pengadilan,”katanya.
Menurut
Bustanul, seorang hakim itu harus punya rasa keadilan dan pengetahuan.
“Jika tidak punya keduanya akan berbahaya. “Ingat, ilmu hakim berbeda
dengan ilmu hukum. Jika ilmu hukum hanya mengandalkan nalar, maka ilmu
hakim harus menyeimbangkan ilmu nalar dan ilmu naluri,”ujar hakim yang
30 tahun mengabdi Mahkamah Agung.
Karena persoalan Tajul Muluk,
menurut Bustanul hanyalah persoalan perbedaan pendapat. “Perbedaan
pendapat itu tidak bisa dihukum,”kata mantan Rektor Universitas Islam
Sultan Agung, Semarang.
Soal tuduhan Qur’an palsu yang dipegang
syiah dan kritik terhadap sahabat itu, menurut Bustanul, adalah
persoalan lama yag sudah berabad-abad. “Tujuannya untuk memecah belah
umat Islam. La, kok, disini pengikut syiah malah diadili,”kata Hakim
perancang kodifikasi hukum Islam di Indonesia, Bustanul Arifin.
Sekarang
Tajul Muluk korbannya, siapa berikutnya? Akankah kita diam ada pihak
yang memecahbelah bangsa Indonesia ini, dengan alasan perbedaan mazhab?
Innalillah.
Sumber:
Islam Times