Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Minggu, 22 Januari 2012

Artikel Haidar Bagir di Republika, Artikel bantahan Fahmi Salim di Era Muslim dan Artikel bantahan M. Anis tentang Syiah

Syiah dan Kerukunan Umat

(Artikel ini ditulis sebagai klarifikasi atas artikel dan pandangan Adian Husaini dan Bahtiar Nasir di Islamia-Insist di Republika)

 *Haidar Bagir*

Meski sebelumnya pun keadaannya sudah seperti api dalam sekam,  peristiwa Sampang telah menyalakan lagi wacana tentang sah-sesatnya  mazhab Syi’ah. Seperti sebelum-sebelumnya, umumnya wacana yang  berkembang didominasi oleh perdebatan dan saling tuduh yang  simpang-siur. Tak sedikit di antaranya mengambil bentuk debat-kusir.  Yang lainnya dipenuhi upaya-upaya mengajukan bukti-bukti yang selektif  dan bias – kutipan-kutipan yang dilepaskan dari konteks,  pilihan-pilihan pendapat yang ganjil (/syadz/) atau minoritas dari  kalangan Syi’ah, malah tak jarang cerita-cerita tanpa dasar yang cuma  dikarang-karang belaka.

Tapi, dalam keadaan-keadaan seperti ini, selalu saja ada suara-suara  yang proporsional dan tetap rekonsiliatori, bahkan di antara para  pengkritik keras Syi’ah. Yakni, betapa pun intinya mengecam apa yang  dianggap sebagai kekeliruan keagamaan dan sosial kaum Syi’ah, isinya  bersifat nasihat dan tujuannya adalah memelihara kedamaian di antara  para pengikut mazhab Ahlus-Sunnah dan Syi’ah.



Di antara pandangan-pandangan seperti ini adalah pendapat yang  dikeluarkan oleh Ustadz Bachtiar Nasir dan para tokoh muda dari  INSIST, yang secara rutin menerbitkan jurnal Islamia, kedua-duanya di  harian Republika. Lepas dari kemungkinan perbedaan pandangan dan  pendapat yang mungkin timbul terhadap tulisan-tulisan yang disebutkan  di atas, harus diakui bahwa inti nasihat mereka kepada orang-orang  yang mengaku pengikut mazhab Syi’ah di Indonesia mengandung  kebenaran-kebenaran dan patut dijadikan renungan. Intinya adalah agar,  setelah memahami bahwa di antara kedua mazhab ada perbedaan-perbedaan  pandangan yang sulit atau bahkan tak bisa dipertemukan, para pengikut  Syi’ah di Indonesia tidak sekali-kali berupaya untuk melakukan dakwah  Syi’ah di Indonesia.

 Ustadz Bachtiar, setelah menunjukkan perbedaan di antara kedua mazhab  dan mengingatkan kesalahan upaya dakwah Syi’ah, menyatakan : ”* …  bekerja-samalah pada hal-hal yang kita sepakati saja dalam hal  keduniaan tanpa harus mencederai dasar-dasar akidah yang kita yakini.  Juga menghormati wilayah dan etika sosial masing-masing, misalnya  tidak saling berhadap-hadapan dalam memengaruhi keyakinan, mencela,  dan menyesatkan. Apalagi, melakukan tindak kekerasan fisik atau terror  mental karena akan berujung pada perkelahian yang merugikan kedua  belah pihak.” (Republika, 5 Januari 2010).

 Sementara itu, Sdr. Adian Husaini menutup artikelnya di Jurnal Islamia  (Republika, Kamis, 19 Januari, hal. 23) dengan menyatakan : ”Jika kaum  Syi’ah mengakui bahwa kaum Sunni sebagai mazhab dalam Islam,  seyogyanya mereka mnghormati Indonesia sebagai negeri Islam Sunni.  Hasrat men-Syi’ahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan  negeri ini. ... Itulah jalan damai untuk Muslim Sunni dan kelompok  Syi’ah.”

 Penulis artikel ini sepenuhnya setuju dengan pandangan-pandangan ini.  Sesungguhnya inilah jalan yang paling bijaksana. Penulis ingat, dalam  suatu pertemuan pribadi penulis dengan Syaikh Ali Taskhiri, seorang  ulama terkemuka Iran, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih  Ayatullah Ali Khamenei, serta wakil Dar al-Taqrib bayn al-Madzahib  (Perkumpulan Pendekatan antar-Madzhab), ia dengan tegas menyatakan  agar hendaknya kaum Syi’ah di Indonesia meninggalkan sama sekali  pikiran untuk men-Syi’ahkan kaum Muslim di Indonesia.


Lepas dari persoalan di atas, penulis memiliki beberapa catatan yang  perlu ditambahkan. Meski dalam banyak hal kecaman terhadap pandangan  Syi’ah itu memiliki dasar-dasar, biasanya ada sedikitnya 3 kelemahan  mendasar dalam banyak argumentasi para pengecam Syi’ah.Pertama,  generalisasi. Sebagian besar argumentasi para pengecam Syi’ah  menggunakan metode memilih bahan-bahan tertentu atau  pandangan-pandangan khas anasir penulis dan ulama dari kalangan Syi’ah  dan kemudian menggeneralisasikannya atas pendapat kaum Syi’ah  seluruhnya. Contoh yang jelas adalah tuduhan yang diulang-ulang bahwa  Syi’ah memiliki al-Qur’an yang berbeda dengan kaum Sunni. Tak dapat  dipungkiri bahwa ada anasir ulama Syi’ah di berbagai zaman yang  mempercayai dan berargumentasi tentang hal ini. Tetapi, dengan mudah  dapat dibuktikan bahwa ini adalah pandangan yang tidak diterima secara  luas di kalangan Syi’ah. Jumhur ulama Syi’ah – dengan mengecualikan  pandangan yang ganjil (/syadz/) di antara mereka – sepakat bulat bahwa  al-Qur’an mushaf ’Utsmani yang ada sekarang ini lengkap dan sempurna.  Pun, semua orang yang mengenal para pemeluk Syi’ah dan pernah  bepergian ke berbagai negeri Syi’ah tahu bahwa al-Qur’an yang mereka  baca 100 persen sama kandungannya dengan yang kita baca.

 Kedua, tidak terpeliharanya keseimbangan pandangan. Masih mengambil  contoh al-Qur’an, di dalam khazanah Sunnni bukannya tak ada bahan yang  mengandung pernyataan bahwa al-Qur’an yang kita baca ini sesungguhnya  tidak lengkap. Ambil saja beberapa hadis dalam beberapa kitab shahih  yang menyatakan hilangnya satu ayat yang hanya ada di simpanan Siti  A’isyah karena di makan kambing. Atau pernyataan Sayidina ’Umar  mengenai ayat tentang /rajam/ yang hilang dalam al-Qur’an yang kita  baca sekarang. Dan beberapa hadis lain. Juga bukan tak ada ulama besar  Sunni, termasuk ibn Hajar al-Asqallani, Ibn Hajar al-Haytami, Imam  Syafi’i, dan beberapa yang lainnya, yang menukil pandangan adanya  perubahan/ketidaklengkapan (/tahrif/) dalam al-Qur’an. Sudah tentu,  betapa pun hadis-hadis itu terdapat dalam shahih dan bahwa yang  menukil adalah para ulama besar, tak satupun orang di kalangan kaum  Sunni yang menerima pandangan ini. Cara berfikir yang sama tentunya  perlu juga dipertimbangkan jika kita membaca bahan-bahan sedemikian di  kalangan Syi’ah.

Sedang dalam tindakan mengecam sahabat, para /mu’arrikh/ Sunni pun  mencatat bahwa selama 80 tahun kekuasaan Bani Umayah sampai masa  Khalifah Umar bin ’Abdul-’Aziz, Sayidina ’Ali bin Abi Thalib dikutuk  di mimbar-mimbar Jum’at. Ini baru berakhir ketika Khalifah Umar  menghentikan praktik ini dan memerintahkan agar para khatib membaca  al-Qur’an surah 16 ayat 90 sebagai gantinya (dicatat antara lain oleh  Ibn Atsir dari ulama lampau, dan Abul-’A’la al-Maududi dari ulama  modern). Tentu kenyataan ini sama sekali tak dapat digeneralisasikan  sedemikian untuk kemudian menyatakan bahwa para pengikut mazhab ahlus-  Sunnah adalah pengecam Sayidina ’Ali.


Ketiga, kurangnya perhatian pada perkembangan pandangan yang terjadi  dalam mazhab apa pun, dalam hal ini mazhab Syi’ah. Contohnya, adalah  benar pernyataan adanya kecenderungan dikalangan Syi’ah tertentu untuk  mengecam sahabat-sahabat Nabi saw., termasuk Sayidina Abubakar,  Sayidina ’Umar, dan Sayidina ’Utsman, serta sebagian isteri Nabi.  Namun, sebelumnya perlu ditegaskan bahwa Syi’ah Zaydiyah, meski  menganggap Sayidina ’Ali lebih utama (/afdhal/), menerima kekhalifahan  serta menghormati ketiga sahabat besar itu. Sementara itu, banyak  ulama Syi’ah Imamiyah atau Itsna ’Asyariyah yang telah merevisi  pandangannya tentang ini. Hasil konferensi Majma’ Ahl al-Bayt di
 London tahun 1995, misalnya, dengan tegas menyatakan menerima  keabsahan kekhalifahan 3 khalifah terdahulu sebelum Khalifah Ali.

Bahkan, terkait dengan skandal pengutukan sahabat besar dan sebagian  isteri Nabi yang dilakukan oleh oknum Syi’ah yang tinggal di Inggris,  bernama Yasir al-Habib, Ayatullah Sayid ’Ali Khamene’i sendiri  mengeluarkan fatwa yang dengan tegas melarang penghinaan terhadap  orang-orang yang dihormati oleh para pemeluk Ahlus-Sunnah (fatwa ini  tersebar dan dapat dengan mudah diakses dari berbagai sumber). Di  antara isinya adalah : ”Diharamkan menghina figur-figur/tokoh-tokoh  (yang diagungkan) saudara-saudara seagama kita, ahlus-Sunnah, termasuk  tuduhan terhadap istri nabi saw. dengan hal-hal yang mencederai  kehormatan mereka, ...”


Akhirnya, hendaknya para pemimpin umat dari berbagai kelompok dapat  meneladani sikap-sikap bijak para tokoh dan pemimpin yang  mempromosikan cara pandang yang proporsional terkait konflik-konflik antarmazhab Islam. Di satu sisi, hendaknya kecaman terhadap  sikap-sikap berlebihan dan menyimpang dari suatu mazhab tidak  menjadikan kita menggeneralisasi keseluruhan mazhab atau kesemua  pengikutnya. Kalau pun harus menyatakan kesesatan, hendaknya hal itu  dibatasi pada aspek-aspek tertentu yang memang terbukti menyimpang  sambil tetap memelihara obyektivitas, wawasan yang luas dan  kontekstual, serta mengikuti perkembangan mutaakhir pemikiran dalam  mazhab yang kita soroti. Khusus untuk orang-orang yang pandangannya  didengar oleh para pengikut Syi’ah di negeri ini, hendaknya mereka  meyakinkan para pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan  sebaik-baiknya serta mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap  saudara-saudaranya yang merupakan mayoritas di negeri ini.

Distorsi Itikad Baik Merukunkan Umat, Bantahan Artikel Haidar Bagir
(Dimuat di Era Muslim Sabtu, 21/01/2012 15:11 WIB)

Oleh Fahmi Salim

Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Anggota Komisi Pengkajian MUI Pusat.
Di tengah kondisi umat dan bangsa yang sarat dengan problem sosial dan membutuhkan solusi konkrit, saya menyambut baik tulisan Sdr. Haidar Bagir yang berjudul "Syiah dan Kerukunan Umat" yang dimuat harian Republika (20/1/2012). Apalagi Bung Haidar, yang tentu saja telah mencermati sikap dan reaksi para pengkritik Syiah sejak meletus kasus Sampang akhir tahun lalu, dengan bijak menulis, "…harus diakui bahwa inti nasihat mereka kepada para pengikut syiah di Indonesia mengandung kebenaran-kebenaran dan patut jadi renungan. Intinya agar setelah memahami bahwa antara kedua mazhab ada perbedaan-perbedaan pandangan yang sulit atau bahkan tak bisa dipertemukan, para pengikut syiah di Indonesia tidak sekali-kali berupaya untuk melakukan dakwah syiah di Indonesia."

Selanjutnya ia mengutarakan persetujuannya seraya mengutip pesan Ayatullah Ali Taskheri, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih Iran yang juga Ketua Majma' Al-`Alami li At-Taqrib, yang tegas menyatakan bahwa, "hendaknya kaum syiah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum muslim di Indonesia."

Alangkah leganya saya, dan juga mungkin kawan-kawan lain pengkritik Syiah, mendengar pernyataan penting dari salah satu tokoh intelektual Syiah Indonesia yang luwes bergaul dengan tokoh-tokoh muslim sunni lain dan cukup berpengaruh. Apalagi sinyal pesan itu semakin kuat menggema di akhir artikel itu berupa himbauan serius agar, "..orang-orang yang pandangannya didengar oleh para pengikut syiah di negeri ini, hendaknya mereka meyakinkan para pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan sebaik-baiknya serta mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap saudara-saudaranya yang merupakan mayoritas di negeri ini."


Paradoks
Tampak kesan itikad baik yang muncul untuk menciptakan kerukunan umat di tengah konflik yang menganga antara muslim sunni dan syiah di negeri ini. Namun harapan saya dan juga mungkin ribuan pembaca lain buyar seketika ketika Bung Haidar membahas tiga kelemahan mendasar argumentasi para pengecam syiah. Suasana dialog yang sudah baik itu justru diperkeruh dan dikotori sendiri oleh penulisnya dengan cara mendistorsi riwayat-riwayat ahlussunnah. Oleh sebab itu izinkan saya untuk menjawab tuduhan itu satu persatu.

Pertama, generalisasi tuduhan bahwa Syiah meyakini Al-Qur'an saat ini tidak lengkap dan ada distorsi (tahrif). Bung Haidar memang tidak memungkiri bahwa ada anasir ulama syiah di berbagai zaman yang mempercayai dan berargumentasi soal ini. Namun ia berpandangan bahwa keyakinan tahrif itu tidak diterima luas dan justru jumhur ulama syiah meyakini sebaliknya, bahwa Al-Qur'an mushaf Usmani ini sudah lengkap dan sempurna.

Jika memang benar demikian adanya, mengapa Adnan Al-Bahrani, seorang tokoh syiah kontemporer, masih menyatakan pendapat bahwa Al-Quran telah mengalami distorsi dan perubahan yang dilakukan oleh orang-orang Islam (Ahlusunnah) adalah konsensus dalam sekte syiah, dan pengetahuan yang pasti dalam mazhab mereka. (lihat buku Mungkinkah Sunah-Syiah dalam Ukhuwah?!hlm.302)

Karena sudah jadi hal yang aksiomatis, maka upaya untuk menutup-nutupi keyakinan tersebut dengan cara taqiyah yang sering dilakukan syiah kontemporer adalah sia-sia. Seorang ulama syiah terkemuka, An-Nuri At-Thabarsi bahkan telah membahasnya tuntas soal tahrif itu dalam buku yang tebal berjudul, Fashl Al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb Al-Arbab. Di dalam buku itu, terhimpun lebih dari 200 riwayat yang membenarkan distorsi dalam Al-Qur'an. Bahkan di bukunya itu Nuri at-Thabarsi mengutip 40 nama ulama imamiyah yang meyakini doktrin tahrif Al-Qur'an itu. Jadi mana yang bisa kita percaya, Haidar Bagir atau Nuri at-Thabarsi?

Selain Nuri Thabarsi, ada sederet nama-nama pemuka syiah dari berbagai periode sejarah yang juga tegas menyatakan terjadinya tahrif. Setidaknya itulah hasil penelitian yang dilakukan Prof. Ahmad Sa'ad Al-Ghamidi (Maktabah Syamilah ed.2) . Ia menjelaskan bahwa pernyataan adanya tahrif itu diungkapkan oleh lebih dari 30 ulama imamiyah seperti: Fadhl ibn Syadzan an-Naisaburi (w.260 H) di kitab Al-Idhah hlm.112-114, Furat ibn Ibrahim Al-Kufi (ulama abad ke-3 H) di kitab Tafsirnya vol.1/18, Al-`Ayasyi dalam Tafsirnya vol.1/12-13 dan 47-48, Abu Al-Qasim Ali ibn Ahmad Al-Kufi (w. 352 H) dalam kitab Al-Istighotsah min Bida' Al-Tsalatsah vol.1/51-53, Muhammad ibn Ibrahim An-Nu'mani di kitab Al-Ghaibah, Abu Abdillah Muhammad ibn an-Nu'man Al-Mufid (w. 413) di kitab Awa'il Al-Maqalat, Abu Manshur Ahmad ibn Ali At-Thabrisi dalam kitab Al-Ihtijaj vol.1/240, 245, 249, Abu Al-Hasan Ali ibn Isa Al-Irbili (w. 692) dalam Kasyfu Al-Ghummah fi Ma'rifat Al-Aimmah vol.1/319, Al-Faidh Al-Kasyani (w. 1091) dalam Tafsir As-Shofi vol.1/24-25 dan 32-33, Muhammad ibn Hasan Al-Hur Al-Amili (w. 1104) di kitab Wasa'il As- vol.18/145, Hasyim ibn Sulaiman Al-Bahrani (w. 1107) dalam Tafsir Al-Burhan vol.4/151-152, Muhammad Baqir Al-Majlisi (w. 1111) dalam Bihar Al-Anwar dan Mir'atu Al-Uqul vol.12/525, Ni'matullah Al-Musawi Al-Jazairi (w. 1112) di kitab Al-Anwar An-Nu'maniyah vol.2/360-364, Yusuf ibn Ahmad Al-Bahrani (w. 1186) di kitab Al-Durar An-Najfiyyah hlm.294-296.

Lebih dari fakta itu semua, jika merujuk kitab Al-Kafi (ditulis oleh Abu Ja'far Al-Kulaini w. 329) yang diakui sebagai kitab hadits induk yang paling sahih dengan riwayat mutawatir dan disusun pada masa Ghaybah Shugro dari Imam yang ke-12 yaitu Al-Mahdi, dapat kita jumpai keyakinan adanya tahrif dengan nada bahwa tak ada yang mengumpulkan dan menghafal Qur'an persis seperti yang diwahyukan oleh Allah kecuali Ali bin Abi Thalib dan imam-imam setelahnya (vol.1/228), atau para imam yang mendapat wasiat, dan jumlah ayatnya adalah 17.000 ayat (vol.2/634) yang turut hilang dibawa Imam ke-12 Al-Mahdi dan baru akan hadir lagi saat beliau kembali dari ghaybah-nya.

Patut disayangkan, saat Bung Haidar mengatakan jumhur ulama syiah sepakat bulat bahwa Al-Qur'an mushaf usmani yang ada sekarang ini lengkap dan sempurna, ia tidak menyebutkan sumber-sumber primer dalam dakwaannya itu. Itulah agaknya tren perspektif baru tentang syiah yang ingin mengesankan bahwa sunni – syiah sepakat tidak adanya ajaran tahrif terhadap Al-Qur'an yang ada sekarang. Namun data-data yang kami kemukakan agaknya bertolak belakang dengan pernyataan beliau.

Kedua, baru saja Bung Haidar ingin mengesankan bahwa sunni-syiah sepakat tidak ada tahrif dalam Al-Qur'an, justru di poin kedua kelemahan mendasar argumentasi pengecam syiah yaitu tidak terpeliharanya keseimbangan pandangan, ia memperkeruh suasana dengan mendistorsi riwayat-riwayat ahlusunnah, yang mengesankan adanya tahrif. Ia menyindir bahwa hal itu juga terdapat di kitab sahih dan hadis sahih yang diakui ahlusunnah.

Memang tertera dalam Sunan Ibnu Majah, dari Muhammad ibn Ishaq dari Abdullah ibn Abi Bakr dari `Amrah dari `Aisyah, dan dari Abdurrahman ibn Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah berkata, telah turun ayat tentang rajam dan radha'ah (menyusui) orang dewasa dengan 10 kali susuan, sungguh dahulu tertulis di dalam lembaran di bawah tempat tidurku, dan saat Rasulullah saw wafat kami sibuk mengurusi jenazahnya sehingga masuk Dajin (hewan peliharaan seperti kambing atau ayam) dan memakan lembaran ayat itu. Hadits itu munkar dan tidak sahih, meski diriwayatkan oleh Ibnu Majah, seperti diterangkan oleh para pakar hadis. Ada illat yang merusak sanadnya yaitu pada salah satu rawinya Muhammad ibn Ishaq, ia dinilai mudhtharib (kacau hadisnya) karena menyelisihi dan menyalahi riwayat para rawi lain yang lebih tsiqoh (terpercaya). Ibnu Majah sendiri ketika meriwayatkan hadis ini dari Muhammad ibn Ishaq menukil dua sanad yang berbeda dari dia. Sedangkan perawi lain yang lebih tsiqoh seperti Imam Malik dalam Al-Muwattha' (vol.2/608) dari Abdullah ibn Abi Bakr dari `Amrah dari Aisyah, dan Imam Muslim (no.1452) dari Yahya ibn Sa'id dari `Amrah dari `Aisyah, keduanya dengan redaksi "Al-Qur'an telah turun dengan ayat susuan 10 kali agar jadi mahram lalu dinasakh kemudian turun lagi ayat susuan 5 kali susuan yang sudah pasti hukumnya dan ayat-ayat itu kami baca dahulu kala sebagai Qur'an", dan tak ada kata-kata `pelecehan' bahwa lembaran ayat itu dimakan Dajin (kambing atau ayam). Oleh sebab itulah Imam Az-Zaila'I menilai dalam takhrij hadis dan atsar bahwa, penambahan redaksi ayat rajam dan radha'ah yang ada di bawah kasur aisyah lalu dimakan kambing itu adalah rekayasa dan manipulasi perbuatan kaum mulhid (ateis) dan rafidhah (syiah).

Hal lain yang disinggung adalah bahwa kutukan dan kecaman atas sahabat Nabi bukan khas syiah, namun sunni juga diindikasi melakukan hal yang sama pada era Bani Umayyah berkuasa. Perlu diketahui bahwa asal muasal berita yang mengatakan bahwa kebijakan Bani Umayyah mencela Imam Ali ibn Abi Thalib di mimbar-mimbar jumat dan baru dihilangkan itu oleh `Umar ibn Abdul Aziz, bersumber dari Ibnu Sa'ad dalam kitab Thabaqat, yang ia riwayatkan dari Ali ibn Muhammad al-Madaini dari gurunya Luth ibn Yahya. Berita semacam ini tidak benar dan sudah diteliti oleh Dr. Ali Muhammad Shallabi dalam bukunya Al-Khalifah Al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz. Sebab hampir semua pakar dan imam hadis ahlisunnah menilai Ali Al-Madaini dan Luth ibn Yahya sebagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa meriwayatkan dari orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal (majhul). Selain tinjauan ilmu riwayat hadis, Shallabi juga menganalisis bahwa tidak benar pula fakta puluhan tahun Imam `Ali dikutuk Bani Umayyah, sementara kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan daulah Umayyah tidak pernah menceritakan adanya fakta sejarah itu. Kisah itu baru ditulis oleh para ahli sejarah mutakhir dalam kitab-kitab yang disusun pada era Bani Abbasiyah. Dengan motif politis untuk menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat. Shallabi juga yakin bahwa kisah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab karya Al-Mas'udi (Syi'i) dan penulis syiah lainnya hingga kisah fiktif itu ikut tersusupi ke dalam kitab tarikh ahlisunnah yang ditulis belakangan seperti Ibnul Atsir dalamAl-Kamil fi Tarikh yang disebut Sdr. Haidar, namun tidak ada sandaran satupun riwayat yang sahih. (Shallabi: 107)


Ketiga, soal perkembangan pandangan yang terjadi dalam mazhab syiah. Jika benar Konferensi Majma' Ahl Al-Baytdi London 1995 tegas menyatakan menerima keabsahan kekhalifahan tiga khalifah terdahulu sebelum Imam Ali, demikian pula fatwa Rahbar Iran Sy. Ali Khamenei yang melarang penghinaan terhadap orang-orang yang dihormati oleh para pemeluk ahlus sunnah seperti ditulis Bung Haidar. Maka kami menunggu dengan sangat kapan otoritas marja' taklid Syiah di Iran dan juga Indonesia untuk membenahi, membantah dan meluruskan semua buku-buku referensi syiah klasik dan kontemporer yang terbit dalam berbagai bahasa dunia, terutama yang diajarkan di hauzah-hauzah ilmiah Iran, yang lalu diajarkan kepada pengikutnya dan dipropagandakan di tengah komunitas muslim sunni Indonesia.

Buku-buku dan tulisan itu, yang sebagian isinya telah dibeberkan oleh Sdr. Adian Husaini di Jurnal Islamia, harus ditarik, direvisi, lalu dicetak ulang sehingga bersih dari kecaman dan hinaan kepada para sahabat nabi dan istri-istri beliau yang mulia. Jika hal itu bisa dan benar-benar terwujud, maka persaudaraan dan toleransi hakiki yang diharapkan Bung Haidar muncul dari para pengikut syiah di Indonesia pasti terwujud dan itu artinya tidak perlu lagi pengikut syiah menampilkan status kesyiahannya, sebab mereka sudah sama seratus persen dengan ahlusunnah wal jamaah di negeri ini.
Wallahu a'lam.

Distorsi dalam Artikel Fahmi Salim

(Artikel ini ditulis sebagai bantahan atas artikel Fahmi Salim di Era Muslim).

Oleh :  Muhammad Anis (bukan anggota MUI)

Setelah membaca tanggapan Bung Fahmi Salim di Eramuslim, saya melihat meskipun ia mengkritik tulisan Bung Haidar Bagir di Republika, namun ia menyampaikannya dengan cukup santun. Tetapi, saat berbicara tentang Syiah, tampak sekali bahwa ia terlalu “pede” dengan hanya bermodalkan kutipan-kutipan dari satu atau dua buku bacaan.


Tulisannya tersebut menggambarkan betapa tidak mengertinya ia tentang mazhab Syiah. Pun menunjukkan betapa sempit dan terkungkungnya pengetahuannya hanya pada pandangan kelompoknya sendiri, dan kurangnya kemauannya untuk belajar tentang pandangan mazhab lain secara proporsional. Sebagaimana kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi,

Untuk berbicara, orang harus lebih dahulu mendengar. Maka, belajarlah berbicara dengan mendengar.”
Karenanya, sebelum berkomentar dan menilai mazhab Syiah, semestinyalah ia belajar atau minimal mendengar terlebih dahulu dengan baik tentang mazhab ini dari sumbernya secara adil. Karena, sebagaimana kata Ibn Hajar al-Haitsami, “Mazhab kami benar, tetapi mengandung kekeliruan. Mazhab selain kami keliru, tetapi mengandung kebenaran.”

Tahrif Al-Qur’an
Isu tahrif (distorsi) Al-Qur’an selalu dituduhkan kepada Syiah, meskipun masalah tahrif ini telah dibantah oleh para ulama Syiah di setiap masa dan generasi sejak ratusan tahun yang lalu.

Mengenai pernyataan Adnan al-Bahrani yang dikutip Bung Fahmi, semakin memperlihatkan kepedeannya dengan hanya membaca buku kutipan. Padahal, kalau ia mau, buku ini dengan mudah bisa diperoleh di internet. Buku Adnan tersebut berjudul asli “Masyariq asy-Syamus ad-Duriyah fi Ahaqiyah Madzhab al-Akhbariyah”. Di dalamnya, Adnan mengatakan bahwa persoalan tahrif tersebut merupakan “konsensus firqah al-muhiqah dan sesuatu yang asasi dalam mazhab mereka” (hal. 126). Sayangnya, kata “firqah al-muhiqah” kemudian diartikan sebagai Syiah secara umum. Padahal, jelas maksud Adnan hanya sebagian, yaitu merujuk kepada kaum Syiah Akhbariyah, sebagaimana yang tertera gamblang dalam judul bukunya. Selain itu, pada halaman berikutnya, Adnan mengatakan bahwa ulama-ulama Syiah seperti al-Murtadha, ash-Shaduq, dan sebagainya menentang isu tahrif tersebut. Ini menunjukkan bahwa Adnan tidak memaksudkan pernyataannya itu untuk Syiah secara umum.

Mengenai an-Nuri dalam kitabnya “Fashlul Khitab” itu, lagi-lagi Bung Fahmi kepedean dengan hanya mengutip tulisan Ahmad Sa’ad Al-Ghamidi. Berikut saya kutipkan pernyataan murid an-Nuri, Syaikh Agha Buzurg Tahrani, yang menuturkan bahwa an-Nuri berkata, “Saya telah keliru memberi judul buku tersebut. Semestinya saya beri judul: Fashlul Khitab fi Adami Tahrif al-Kitab. Karena, dalam buku ini saya telah membuktikan bahwa Al-Quran adalah wahyu Ilahi yang tidak mengandung tahrif, baik penambahan maupun pengurangan, sejak dia dikumpulkan hingga sekarang. Sedangkan kumpulan pertama Al-Quran sampai kepada kita dengan tingkat kemutawatiran yang meyakinkan. Saya telah lalai untuk menjelaskan dengan tegas di banyak tempat dalam kitab tersebut, sehingga banyak kritik dan celaan yang ditujukan kepada saya. Bahkan, karena kelalaian tersebut, penegasannya menjadi sebaliknya. Saya hanya memberi isyarat tentang tujuan saya yang sebenarnya pada halaman 22. Sebab, yang penting adalah keyakinan bahwa tidak ada ayat lain selain yang terdapat dalam Al-Quran di tangan kita….” [Syaikh Rasul Ja’fariyan, “Ukdzubah Tahrif al-Qur’an Baina asy-Syiah wa as-Sunnah”, hal. 137]

Mengenai riwayat-riwayat lainnya, sebagian mesti dipahami sebagai tahrif maknawi (distorsi kontekstual), bukan tahrif lughawi (distorsi tekstual). Hal ini tampak pada riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir, “Di antara ulah mereka yang suka membuang Al-Qur’an adalah membiarkan huruf-hurufnya, tetapi mengubah hukum-hukumnya…” [Al-Kulaini, “Al-Kafi”, jil. 8, hal. 53]

Namun demikian, bila ada riwayat yang mengindikasikan tahrif lughawi, maka hal ini telah dibantah oleh jumhur ulama Syiah. Sayid Muhsin al-Amin mengatakan tentang tahrif yang dinisbatkan pada Syiah, “Itu adalah bohong dan dusta. Para ulama Syiah dan para muhadis mereka menyatakan yang sebaliknya.” [Sayid Muhsin al-Amin, “A’yan asy-Syi’ah”, jil. 1, hal. 46 dan 51]
Bahkan hal ini ditegaskan pula oleh seorang ulama besar Ahlusunah, Rahmatullah al-Hindi, “Sesungguhnya Al-Qur’an al-Majid, di kalangan jumhur Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, adalah terjaga dari perubahan dan pergantian. Apabila ada di antara mereka yang mengatakan adanya tahrif pada Al-Qur’an, maka yang demikian itu telah mereka tolak dan tidak mereka terima.” [Rahmatullah al-Hindi, “Izh-harul Haq”, jil. 2, hal. 128]
Saya senang mendengar bahwa isu tahrif di kalangan Ahlusunah, seperti riwayat Ibnu Majah tersebut, telah dibantah oleh Bung Fahmi. Untuk itu, saya juga menunggu argumen bantahan lanjutan untuk riwayat-riwayat Ahlusunah berikut:
1.  Khudzaifah berkata, “Pada masa Nabi, Saya pernah membaca Surat Al-Ahzab. Tujuh puluh ayat darinya saya sudah agak lupa bunyinya, namun saya tidak mendapatinya di dalam Al-Qur’an yang ada saat ini.” [Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jil. 5, hal. 180]
2. Ibn Mas’ud telah membuang surat Mu’awidzatain (an-Nas dan al-Falaq) dari mushafnya dan mengatakan bahwa keduanya tidak termasuk ayat Al-Qur’an. [Al-Haitsami, “Majma’ az-Zawa’id”, jil. 7, hal 149; Suyuthi, “Al-Itqan”, jil. 1, hal. 79]
3. Umar bin Khattab berkata, “Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah ayat ke dalam Kitabullah, maka akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.” [Shahih Bukhari, bab Syahadah ‘Indal Hakim Fi Wilayatil Qadha; Suyuthi, “Al-Itqan”, jil. 2, hal. 25 dan 26;  Asy-Syaukani, “Nailul Authar”, jil. 5, hal. 105; “Tafsir Ibnu Katsir”, jil. 3, hal. 260]

Laknat Bani Umayah Terhadap Ali bin Abi Thalib Sekali lagi, Bung Fahmi terlalu pede dengan hanya mengutip tulisan Shallabi. Mengenai Al-Madaini yang kata Shallabi dinilai tak bisa dipercaya oleh hampir semua pakar dan imam hadis Ahlusunah, adz-Dzahabi dalam kitabnya “Siyar A’lami Nubala” justru berkata sebaliknya, “Ia memiliki pengetahuan yang menakjubkan tentang sejarah, peperangan, nasab, dan peristiwa-peristiwa di tanah Arab. Ia jujur (shadiq) dalam menyampaikannya. Ia seorang alim dalam isu seputar penaklukan (futuh), peperangan (maghazi), dan syair. Ia seorang yang jujur (shadiq) dalam hal itu.” Saya rasa Bung Fahmi tentu tahu bahwa Adz-Dzahabi adalah salah seorang imam rijal hadis Ahlusunah kenamaan. Namun demikian, saya juga ingin menambahkan riwayat tentang pelaknatan Ali tersebut dari sumber-sumber yang lain, di antaranya:

1. Suyuthi berkata, “Pada zaman Bani Umayyah terdapat lebih dari tujuh puluh ribu mimbar untuk melaknat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang telah ditetapkan Muawiyah.” [Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, “Syarh Nahjul Balaghah”, jil. 1, hal. 356].
2. Ibn Abdu Rabbih berkata, “Ketika Muawiyah melaknat Ali dalam khutbahnya di Masjid Madinah, Ummu Salamah segera menyurati Muawiyah, ‘Sungguh engkau telah melaknat Ali bin Abi Thalib. Padahal, aku bersaksi, Allah dan Rasul-Nya mencintainya.’ Namun, Muawiyah tidak peduli dengan kata-kata Ummu Salamah itu.” [Ibn Abdu Rabbih, “Al-‘Iqdu al-Farid”, jil. 2, hal. 301 dan jil. 3, hal. 127].
3. Yaqut al-Hamawi berkata, “Atas perintah Muawiyah, Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Timur hingga Barat, di mimbar-mimbar masjid.” [Yaqut al-Hamawi, “Mu’jam al-Buldan”, jil. 1, hal. 191]

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan kepada Bung Fahmi bahwa persatuan itu bukan dibentuk dengan cara memaksa untuk sama. Ini namanya hegemoni dan sewenang-wenang. Persatuan dan persaudaraan hanya bisa terwujud melalui sikap toleran terhadap perbedaan. Selain itu, negeri ini juga bukan negara agama, sehingga tidak semestinya diklaim sebagai milik mazhab tertentu. Wallahu a’lam.

6 komentar:

  1. kerukunan macammana yang anda maksud, kalau anda menginginkan kerukunan antar mazhab tentuya anda harus menghargai mazhab lain dengan tidak menyebarkan faham anda kepada para awam dari mazhab lain.. itu satu, atau kerukunan yang anda maksud seperti yang terjadi di irak (mengundang pihak amerika agar membombardir sunni, membunuh pria, wanita dan anak-anak supaya dapat kekuasaan?) di afghanistan (membentuk pakatan dengan india, iran, amerika, nato, aliansi utara untuk membunuh sunni taliban wanita dan anak-anak mereka?) atau seperti yang sekarang terjadi di suriah (kerjasama penuh hizbullah. shafiah, rezim asad, iran, rusia).. dan bangsatnya lagi kekuasaan keluarga asad rupanya diberikan oleh penjajah inggris ujadi anda harus berpikir syiah nousiriah itu antek siapa, atau seperti libanon yang menembaki ulama sunni..atau yang sekarang terjadi di yaman dimana kelompok anda mengepung para santri disana? jangan lupa ada 100 an santri indonesia disana beberapa diantaranya telah syahid, anda cuma menjual konsep kerukunan sebagai pisau untuk menusuk muslimin dari belakang, anda cuma menjual konsep kerukunan agar anda dapat menyebarkan paham anda, anda menjual kerukunan untuk mengumpulkan jumlah pengikut yang ketika telah banyak akan mengintimidasi para muslimin pengikut sunnah nabi, ahlul bait dan sahabatnta seperti yang erjadi di jember baru-baru ini.. pihak anda melakukan taqiah, itu sama saja dengan menganggap sunni adalah musuh anda

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. para pengikut Ahlulbayt tak pernah memaksakan ajarannya kepada orang lain. terserah mereka, hendak menerima atau tidak. kita tak akan memaksa. jika memang mereka merasa kami benar, silahkan ikuti. jika tidak, silahkan tinggalkan.
      2. di irak, warga syiah juga dibantai. di pakistan, afghanistan dan di Bahrain, ratusan pengikut syiah juga dibantai ? oleh siapa ?? orang syiah sendiri ??
      3. warga syiah di Sampang Madura, diusir dari kampung mereka sendiri, ponpes mereka dibakar, siapa yg mesti kita salahkan ??
      4. Taqiyah hanya boleh dilakukan jika nyawa, harta, martabat org2 syiah terancam. taqiyah tak bisa sembarangan..

      Anda berhak menilai kami sesuka anda..
      terima kasih sudah berkomentar. :)

      Hapus
  2. penanganan demo di bahrain msh dlm prosedur standar, sehingga korban minim jgn samakan dg pembantaian suriah. serangan dipakistan thd agama syiah disebabkan setiap asyura amal utama mrk adalah menghujat dan mencaci maki shabat2 rasul, gak beda dg sampang bung, sitajul dlm pengajiannya sering menyindir dan mencela sahabat Rasul. dan takiya kpn saja boleh dilakukan (hanya untuk menipu umat islam, bkn yahudi/nasrani) baca lagi buku agama ente.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda berbicara seolah-olah Anda sudah membaca tuntas seluruh karya ulama syiah.
      Apakah Anda pernah membaca buku Antologi Islam ?
      Apakah Anda pernah membaca buku Mazhab Syiah Ayatullah Muhammad Musawi ?
      Jika Anda sudah membaca dua kitab ini saja, Anda bisa membuktikan bahwa klaim Anda ttg Syiah suka mencela sahabat, dan suka bertaqiyah itu salah.
      mengenai Bahrain, apakah pembakaran Masjid itu masih dlm prosedur standar ?

      Hapus
    2. Al-Kissy di kalangan syiah adalah orang yang paling berilmu dan paling terpercaya dalam masalah perawi hadits dan selainnya, meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq radhiallahu anhu bahwa beliau berkata (padahal tidak mungkin beliau mengatakan hal ini):

      لَمّا ماتَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم, اِرْتَدَّ الصَّحابَةُ كُلُّهُمْ إلاَّ أَرْبَعَةَ: اَلْمِقْدادُ, وَحُذَيْفَةَ, وَسَلْمانُ, وَأبُوْ ذَرٍّ رضي الله عنهم. فَقِيْلَ لَهُ: كَيْفَ حالُ عَمّارِ بْنِ ياسِرٍ؟ قالَ: حاصَ حَيْصَةً ثُمَّ رَجَعَ

      “Tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, semua sahabat murtad kecuali empat orang: Al-Miqdad, Hudzaifah, Salman, dan Abu Dzar radhiallahu anhum. Maka ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana dengan keadaan Ammar bin Yasir?” Beliau menjawab, “Awalnya dia berada dalam kebingungan, kemudian dia rujuk.”

      bgm ke ilmuan ayatol musawi dibanding keilmuan alkissy menurut syiah ? ( pastinya kedua duanya tolol krn percaya imam khayal yg lahir dak jelas lalu dikabarkan lenyap ??? )

      Rasul saw pernah menghancurkan dan membakar mesjid kaum munafik di madinah, munafik yg tdk mau sholat bersama beliau di mesjid yg Beliau Rasul Saw memerintahkan Abubakar menjadi imam saat Beliau sakit dan stelah wafat nya (tidak boleh orang lain bahkan Ali pun tdk boleh)...apalagi mesjid tempat mencela para sahabat hukumnya wajib dihancurkan.

      Hapus
    3. Haditsnya meragukan, semua orang syiah kalo bershalawat mengucapkan shallallahu alaihi wa alih wasallam, bukan shallallahu alaihi wasallam. copas dari mana nie ?
      menurut Sayyid Ali Khamenei, wali faqih syiah, mencela sahabat hukumnya haram !
      ops..

      Hapus