Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Selasa, 12 Februari 2013

Musibah dan Kesulitan, Bukti Cinta Allah swt

Zainab, Ummul Masaib
 Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam sebuah ceramahnya berkata, “salah seorang di antara wanita islam yang menjadi kebanggaan dunia adalah Zainab al-Kubra as. Sejarah memperlihatkan bahwa berbagai kejadian berdarah dan musibah yang tidak ada bandingannya yang terjadi pada peristiwa Karbala, telah menjadikan Zainab tak ubahnya menjadi sepotong baja yang telah ditempa. Zainab yang keluar dari Madinah tidak sama dengan Zainab yang kembali dari Syam ke Madinah. Zainab yang kembali dari Syam adalah Zainab yang lebih berkembang dan telah kokoh.[i]
                Dalam pembicaraan di atas, Syahid Murtadha Muthahhari ingin menjelaskan bahwa musibah dan kesulitan merupakan pendongkrak kekuatan tersembunyi kita, serta penyuci jiwa dan akhlak kita. Imam Ali as berkata, “sesungguhnya manakala Allah mencintai seorang hamba, niscaya Allah akan menenggelamkan hamba tersebut ke dalam berbagai musibah dan kesulitan.”[ii]
                Pertanyaannya, mengapa Allah membuktikan cinta-Nya dengan cara menenggelamkan seorang hamba ke dalam lautan musibah dan kesulitan? Dengan kata lain, apa efek dan pengaruh dari musibah dan kesulitan? Pertanyaan ini akan terjawab ketika kita mengetahui filsafat musibah dan kesulitan.

Filsafat Musibah dan Kesulitan
                Pengaruh dari musibah dan kesulitan bukan hanya menjelaskan substansi jiwa manusia. Artinya, musibah tidak hanya menampakkan dan menjelaskan hakikat jiwa kita yang sebenarnya. Kesulitan bukanlah ‘timbangan’ yang hanya memberi tahu seberapa berat dan berisi jiwa kita. Lebih dari itu, musibah dan kesulitan mempunyai pengaruh menyempurnakan, mengganti, dan mengubah. Musibah dan kesulitan mampu membuat jiwa kita lebih peka, menciptakan kedewasaan, serta menghilangkan kelemahan. Musibah dan kesulitan mampu menghilangkan karat dalam hati kita. Keduanya dapat membuat sesuatu yang lemah menjadi kuat, yang rendah menjadi tinggi, dan yang mentah menjadi matang.
                Ketika menggambarkan filsafat musibah dan kesulitan yang bersifat konstruktif ini, Mawlawi Rumi memberi contoh berikut:
“Ada seekor binatang yang bernama musang, yang justru dengan luka pukulan kayu dia menjadi lebih gemuk
Hingga Anda memukulnya dengan kayu, maka dia menjadi lebih gemuk dari luka pukulan kayu itu
Jiwa seorang mukmin pun tidak ubahnya seperti musang dalam keyakinan, yang mana dengan berbagai kesulitan justru menjadi lebih gemuk dan kuat.
Oleh karena itu, kesulitan yang menimpa para nabi jauh lebih banyak daripada kesulitan yang menimpa seluruh makhluk yang ada di alam ini
Supaya dengan begitu jiwa mereka lebih besar dan kuat dibandingkan jiwa-jiwa yang lain.”
                Alhasil, filsafat dari musibah dan kesulitan bukan hanya mengukur berat dan derajat sesuatu, namun juga menambah berat dan meninggikan derajat sesuatu. Oleh karena itu, ketika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menenggelamkan hamba tersebut dalam lautan musibah dan kesulitan.
                Inilah yang menyebabkan mengapa sayyidah Zainab binti Ali as yang keluar dari Madinah berbeda dengan sayyidah Zainab yang kembali dari Syam menuju Madinah. Sayyidah Zainab ketika keluar dari Madinah belum ditempa dengan kesulitan dan musibah seperti yang dirasakannya di Karbala. Setelah sayyidah Zainab melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan kejam umat islam terhadap keluarganya, hati dan jiwa mulai ditempa. Puncaknya, beliau diarak dalam keadaan dirantai dan kehausan menuju Syam. Setelah fisik dan jiwa sayyidah Zainab ditenggelamkan oleh Allah dalam musibah dan kesulitan, beliau telah berubah menjadi wanita yang lebih kuat, lebih tegar, dan lebih mulia. Sejarah membuktikan bahwa ceramah-ceramah sayyidah Zainab mampu membuat kalang kabut Yazid yang terkenal masa bodoh itu, mampu membungkan lidah-lidah tajam ulama bayaran bani Umayyah, serta mampu menyadarkan umat islam atas apa yang sebenarnya terjadi di Karbala.
Farazdaq Khaza’i



[i] Ceramah Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, hal. 210, Murtadha Muthahhari, penerbit Lentera.)
[ii] Nahjul Balaghah, hikmah ke-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar