Tetangga
Ada seorang ulama besar yang bersama Sayyid Jawad Amuli. Pada suatu saat, ketika beliau sedang bersantap malam, terdengar ketukan pintu. Telah datang seseorang yang membawa pesan dari guru beliau, Sayyid Mahdi Bahrul Ulum.
'Guru anda memanggil anda dengan segera. Dia menolak untuk makan malam hingga bertemu anda' kata si pembawa pesan. Sayyid Jawad Amuli langsung meninggalkan makan malamnya dan dengan tergesa-gesa menuju rumah gurunya. Ketika masuk ke dalam rumah, beliau melihat gurunya sangat marah. Begitu melihat Sayyid Jawad Amuli, sang guru berkata, '...tidakkah engkau malu pada dirimu sendiri... apakah engkau tidak menghormati Allah... ?' Sayyid Jawad bingung! Beliau tak mengetahui kesalahan apa yang telah beliau perbuat, sehingga beliau meminta kepada guru beliau untuk memberi tahu kesalahannya. Sayyid Mahdi berkata, 'sekarang ini, sudah seminggu penuh tetanggamu dan keluarganya tidak memiliki makanan. Tetanggamu meminta dari penjual beberapa butir kurma seraya mengatakan bahwa akan membayarnya ketika telah memiliki uang. Namun, penjual makanan itu menolaknya. Tetanggamu pulang ke rumahnya dengan tangan hampa, tanpa ada makanan bagi keluarganya.' Sayyid Jawad berkata bahwa dia tidak mengetahui hal ini. 'itulah mengapa kau marah kepadamu. Bagaimana bisa engkau tidak mengetahui (tidak peduli terhadap) tetanggamu ? Mereka selama tujuh hari berada dalam kesulitan sementara engkau tidak mengetahui hal itu ! Baiklah ! Jika telah tahu tetapi tetap tidak berbuat sesuatupun, maka engkau sama sekali bukan seorang muslim' kata Sayyid Mahdi. Kemudian Sayyid Mahdi berkata kepada Sayyid Jawad untuk mengambil semua makanan yang ada padanya dan membawanya kepada tetangganya. 'duduklah bersamanya ketika makan sehingga dia tidak merasa malu. Bawalah uang ini untuknya lalu letakkan dibawah bantal atau permadaninya sehingga dia tidak merasa dipermalukan. Saat engkau telah melaksanakan hal ini, beri tahu saya! Saya tidak akan makan hingga semuanya selesai dilaksanakan.'
Saya dapat berjalan di atas air
Sayyid Murtadha adalah seorang alim besar yang hidup beberapa tahun lalu. Beliau mempunyai banyak murid yang menghadiri kelasnya. Di salah satu kelas, beliau memperhatikan bahwa seorang muridnya selalu datang terlambat. Suatu hari beliau bertanya kepada si murid, 'mengapa engkau selalu terlambat ?' murid itu menjawab bahwa dia tinggal di seberang sungai dan selalu menggunakan kapal yang pertama untuk menyeberanginya tetapi jadwal pelayanan kapal tidaklah berjalan sesuai jadwal. Sayyid Murtadha menulis sesuatu diatas selembar kertas lalu melipat dan memberikannya kepada si murid. 'simpan ini bersamamu,' beliau berkata 'dan engkau dapat berjalan diatas air menyeberangi sungai mulai besok tapi jangan buka kertasnya.' esok harinya si murid tiba di sungai dan meletakkan kakinya dengan hati-hati diatas air. Dia tidak dapat mempercayai bahwa dia benar-benar dapat berjalan di atas air. Dalam beberapa hari berikutnya, dia dapat tiba di kelas tapat waktunya. Suatu saat dia tidak bisa menahan lagi rasa ingin tahunya. Dia melihat ke dalam lipatan kertas itu. Tertulis di dalamnya 'Bismillahirrahmanirrahiim (Aku mulai dengan nama Allah, yang maha pengasih, maha penyayang)- jadi inilah yang menolongku dapat berjalan diatas air.' Dia merapikan kertas kembali seperti keadaan semula dan pergi ke sungai untuk berangkat sekolah. Namun kali ini dia tidak dapat berjalan diatas air dan harus menunggu kapal. Ini berarti bahwa dia terlambat masuk ke sekolah. Ketika pelajaran usai, Sayyid Murtadha memanggilnya agar datang dan berkata 'engkau telah melihat isi kertas itu padahal aku sudah melarangmu berbuat seperti itu.' dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahiim, anda dapat memindahkan gunung bila percaya penuh dan beriman pada Allah 'azza wa jalla.
Kaki yang menjulur
Dilaporkan bahwa seorang Alim besar, Muqaddis Ardebeli tidak pernah menjulurkan kakinya meskipun sedang tidur. Beliau tidak pernah menjelaskan perilaku yang khas ini. Pada akhir hayatnya, beliau tak mempunyai pilihan selain harus menjulurkan kakinya karena kaki orang yang akan meninggal mesti dijulurkan menghadap kiblat. Keluarga dan sahabat-sahabatnya mendengarkan doa Beliau "maafkan aku karena harus menjulurkan kedua kakiku saat ini. Aku tidak pernah melakukannya sebelum ini karena takut tidak menghormatiMu dan karena senantiasa merasakan kehadiranmu. Maafkanlah aku karena sekarang mesti melakukannya."
(Diambil dari buku : Cerita-cerita favorit, terbitan Al-huda 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar