Rahbarku |
Ketika
Imam Khomeini ra, Pendiri Revolusi Islam Iran, dikabarkan meninggal
dunia, hari itu dapat dikatakan sebagai hari yang terpahit bagi bangsa
Iran. Masyarakat Iran saat itu sulit membayangkan lanjutnya Revolusi
Islam Iran tanpa Imam Khomeini ra. Ini menunjukkan kecintaan mendalam
masyarakat Iran kepada Imam Khomeini ra. Hari itu benar-benar merupakan
hari berkabung bagi rakyat Iran.
Akan
tetapi setelah dikabarkan Imam Khomeini ra meninggal dunia, Dewan Ahli
Kepemimpinan langsung menggelar sidang yang sekaligus menentukan
pengganti Imam Khomeini ra selaku Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam
Iran. Ayatollah Al Udzma Sayid Ali Khamenei ditunjuk mayoritas anggota
Dewan Ahli Kepemimpinan untuk melanjutkan tugas Imam Khomeini ra selaku
Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran.
Kini,
kinerja Ayatollah Al Udzma Sayid Ali Khamenei yang akrab dipanggil
Rahbar atau Sang Pemimpin, telah memasuki tahun ke-22. Menurut
masyarakat Iran, Rahbar mampu menunjukkan rapor kerja yang spektakuler,
bahkan beliau mampu menjaga dan melanjutkan prinsip-prinsip dasar
Revolusi Islam yang menjadi landasan utama Imam Khomeini.
Biografi
Ayatullah
Sayyid Ali Khamenei, putra almarhum Hujjatul Islam wal Muslimin Haj
Sayyid Javad Husaini Khamenei, dilahirkan pada tanggal 24 Tir 1318
Hijriah Syamsiah (16 Juli 1939) atau bertepatan dengan tanggal 28 Shafar
1357 Hijriah di kota suci Mashad. Beliau adalah putra kedua. Kehidupan
Sayyid Javad Khamenei sangat sederhana sama seperti kebanyakan ulama dan
pengajar agama lainnya. Istri dan anak-anaknya memahami secara mendalam
makna zuhud dan kesederhanaan dengan baik berkat bimbingannya. Ketika
menjelaskan kondisi kehidupan keluarganya, Rahbar mengatakan, "Ayah saya
adalah ulama yang terkemuka, namun sangat zuhud dan pendiam. Kehidupan
kami cukup sulit. Saya teringat, sering di malam hari kami tidak
memiliki apa-apa untuk dimakan! Ibu saya dengan susah payah menyiapkan
makan malam... hidangan makan malam itu adalah roti dan kismis".
"Rumah
ayah tempat saya dilahirkan -hingga saya berusia empat sampai lima
tahun- berukuran 60 - 70 meter persegi di kawasan miskin Mashad. Rumah
ini hanya memiliki satu kamar dan sebuah ruang bawah tanah yang gelap
dan sempit. Ketika ayah saya kedatangan tamu (karena ayah saya adalah
seorang ulama dan menjadi rujukan masyarakat, beliau sering kedatangan
tamu) kami pergi ke ruang bawah tanah sampai tamu itu pergi. Kemudian
beberapa orang yang menyukai ayah saya membeli tanah di samping rumah
dan menggabungkannya dengan rumah kami sehingga rumah kami memiliki tiga
kamar".
Seperti
inilah beliau dibimbing dan sejak usia empat tahun Rahbar bersama kakak
beliau yang bernama Sayyid Mohammad diserahkan ke maktab untuk mengenal
alpabet dan belajar membaca AlQuran. Setelah itu, kedua bersaudara ini
melalui jenjang pendidikan dasar mereka di sekolah Islam yang saat itu
baru dibangun "Daar At-Ta'lim Diyanati".
Setelah
mempelajari Jamiul Maqaddimat, ilmu sharf dan nahwu, beliau masuk ke
hauzah ilmiah serta belajar ilmu-ilmu dasar dan sastra dari ayah beliau
dan para guru lainnya. Rahbar mengatakan, "Faktor dan alasan utama saya
memilih jalan bercahaya keruhanian ini adalah ayah saya dan ibu saya
yang selalu mendukung saya."
Beliau
belajar ilmu tata bahasa Arab Jamiul Muqaddimat, Suyuthi dan Mughni
dari para guru di madrasah Sulaiman Khan dan Navvab. Sang ayah mengawasi
terus dan memantau perkembangan pendidikan anaknya. Pada masa itu,
Sayyid Ali Khamenei juga mempelajari buku Ma'alim. Kemudian beliau
belajar kitab Syarai' Al Islam dan Syarh Lum'ah dari sang ayah dan
sebagiannya dari almarhum Agha Mirza Modarris Yazdi. Untuk kitab Rasail
dan Makasib, beliau menimba ilmu dari almarhum Haj Syeikh Hashim
Qazveini, dan pelajaran lainnya di jenjang fiqih dan ushul, beliau
dibimbing langsung oleh sang ayah. Beliau melalui tingkat dasar itu
sangat cepat hanya dalam kurun waktu lima setengah tahun. Ayah beliau
pada masa itu berperan sangat besar dalam perkembangan anaknya. Sayid
Ali Khamenei berguru pada almarhum Ayatullah Mirza Javad Agha Tehrani di
bidang ilmu logika, filsafat, kitab Mandzumah Sabzavari, dan kemudian
beliau juga belajar dari almarhum Syeikh Reza Eisi.
Sejak
usia 18 tahun Ayatullah Khamenei mulai belajar tingkat darsul kharij
(tingkat tinggi) ilmu fiqih dan ushul di kota Mashad dari seorang marji'
almarhum Ayatullah Al Udzma Milani. Pada tahun 1336 hijriah syamsiah
(1957) beliau pergi menuju kota Najaf di Irak untuk berziarah. Setelah
menyaksikan dan ikut dalam kelas darsul kharij dari para mujtahid di
hauzah Najaf termasuk almarhum Sayyid Muhsin Hakim, Sayyid Mahmoud
Shahroudi, Mirza Bagher Zanjani, Sayyid Yahya Yazdi, dan Mirza
Bojnourdi, Sayid Ali Khamenei sangat menyukai kondisi belajar, mengajar,
dan penelaahan di hauzah ilmiah Najaf. Beliau pun lantas memberitahukan
niatnya untuk belajar di Najaf kepada sang ayah, namun ayah beliau
tidak menyetujui hal ini. Setelah beberapa waktu, beliau kembali ke
Mashad.
Pada
tahun 1337 hingga 1343 Hijriah Syamsiah (1958-1964), Ayatullah Khamenei
belajar ilmu tingkat tinggi di bidang fiqih, ushul, dan filsafat, di
hauzah ilmiah Qom dari para guru besar termasuk di antaranya almarhum
Ayatullah Al-Udzma Boroujerdi, Imam Khomeini, Syeikh Murtadha Hairi
Yazdi, dan Allamah Taba'tabai. Pada tahun 1343 Hijriah Syamsiah (1964),
Sayid Ali Khamenei sangat sedih karena dalam surat menyurat dengan
ayahnya, beliau mengetahui bahwa satu mata ayahnya tidak dapat melihat
lagi akibat terserang penyakit katarak. Saat itu beliau bimbang antara
tinggal di Qom untuk melanjutkan studi atau pulang ke Mashad. Akhirnya
demi keridhoan Allah swt, beliau memutuskan pulang ke Mashad dan merawat
sang ayah.
Terkait
hal ini, Ayatullah Khamenei mengatakan, "Saya pulang ke Mashad dan
Allah swt telah melimpahkan petunjuk-Nya kepada kami. Yang terpenting
adalah saya telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab saya. Jika saya
mendapatkan anugerah, itu dikarenakan kepercayaan saya untuk selalu
berbuat baik kepada ayah dan ibu saya".
Dihadapkan
pada dua pilihan sulit tersebut, Ayatullah Khamenei memutuskan pilihan
yang tepat. Sejumlah guru dan rekan beliau sangat menyayangkan mengapa
beliau sedemikian cepat meninggalkan hauzah ilmiah Qom, karena mereka
berpendapat jika beliau tinggal sedikit lebih lama lagi maka beliau akan
menjadi demikan dan demikian... Namun fakta di masa depan membuktikan
bahwa Ayatullah Khamenei memilih pilihan yang tepat dan perjalanan hidup
yang ditetapkan oleh Allah swt untuk beliau lebih tinggi dan mulia dari
apa yang mereka perkirakan. Adakah orang yang menduga bahwa ulama muda
berusia 25 tahun yang cerdas dan berbakat ini, yang pergi meninggalkan
Qom untuk merawat kedua orang tuanya, kelak 25 tahun kemudian diangkat
menjadi pemimpin umat?
Di
Mashad, Ayatullah Khamenei tidak meninggalkan pelajarannya. Selain hari
libur, dan pada waktu berjuang, dipenjara, atau bepergian, beliau tetap
melanjutkan pelajaran tingkat tinggi fiqih dan ushul hingga tahun 1347
Hijriah Syamsiah (1968) dari para guru besar hauzah Mashad khususnya
Ayatullah Milani. Tidak hanya itu, sejak tinggal di Mashad tahun 1343
Hijriah Syamsiah (1964) untuk merawat kedua orang tuanya, Ayatullah
Khamenei juga memberikan pelajaran ilmu fiqih, ushul, dan maarif Islami
kepada para pelajar agama muda dan mahasiswa.
Kekaguman Politisi Dunia
Ayatollah
Al Udzma Sayid Ali Khamenei mempunyai keutamaan yang luar biasa.
Tidaklah salah, bila beliau kemudian menjadi orang yang paling layak
untuk menyandang Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran. Dalam pasal
kelima Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran tercantum bahwa Rahbar
atau Pemimpin Revolusi Islam Iran harus mempunyai syarat takwa,
keadilan, bijaksana, keberanian, kesadaran dan wawasan luas atas
berbagai masalah dunia. Semua syarat itu ada pada diri Ayatollah Al
Udzma Sayid Ali Khamenei dan semua itu dibuktikan dalam menyikapi
berbagai fase pasang-surut dalam perjalanan Revolusi Islam Iran,
khususnya pasca wafat Imam Khomeini ra. Kepiawaian dan kebijaksanaan
Rahbar dalan mengatasi berbagai masalah negara dan dunia membuat semua
pihak mengakuinya sebagai pemimpin.
Kofi
Annan yang saat itu menjabat sebagai Sekjen PBB, melakukan pertemuan
dengan Rahbar pada tahun 2000. Setelah bertemu dengan beliau, Kofi Annan
mengatakan, "... dalam pertemuan dengan Ayatollah Sayid Ali Khamenei,
saya merasa belum pernah menemukan orang seperti dia. Kepribadian
spiritualnya membuatku terkagum-kagum. Saya pun bertanya pada diriku
sendiri; Mengapa orang seperti saya harus menjadi Sekjen PBB yang tak
mempunyai spiritualitas seperti ini? Dengan melihat figur Ayatollah
Al-Udzma Sayid Ali Khamenei, saya lupa dengan semua orang yang saya
kagumi selama ini. Saya benar-benar kagum dengan kekuatan spiritual
Ayatollah Ali Khamenei. Saya banyak melihat tokoh-tokoh spiritual di
dunia ini, tapi mereka tak banyak mengetahui masalah politik. Dalam
pertemuan dengan Ayatollah Ali Khamenei, saya menyaksikan kepribadian
politik di puncak kesuciannya. Ini membuat seluruh tokoh politik di
dunia terhapus di benakku."
Mantan
Sekjen PBB lainnya, Javier Perez de Cueller juga melakukan pertemuan
dengan Ayatollah Al-Udzma Ali Khamenei yang saat itu menjabat Presiden
Republik Islam Iran. Pertemuan itu terjadi di akhir masa perang
Irak-Iran. Setelah bertemu dengan Ayatollah Ali Khamenei, Javier Perez
de Cueller mengatakan,"Saya mempunyai gelar doktor di bidang politik,
melakukan aktivitas politik selama 30 tahun dan menjadi Sekjen PBB dalam
beberapa tahun terakhir. Selama ini, saya menemui banyak presiden, tapi
tidak pernah mendapatkan presiden secerdas dan sepintar Ayatollah Ali
Khamenei."
Kesederhanaan Rahbar dan Keluarganya
Ayatollah
Al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam kehidupan sehari-harinya menunjukkan
kesederhanaan yang luar biasa. Dalam menjabat berbagai jabatan selama 33
tahun, Ayatollah Khamenei tak pernah mengumpulkan harta. Rahbar di masa
kecil dan remajanya hidup di tengah keluarga biasa dan religius.
Setelah Revolusi Islam Iran, Ayatollah Ali Khamenei mempunyai peluang
untuk menjabat berbagai jabatan penting dan strategis, tapi hal itu tak
mengubah gaya hidupnya. Bahkan Ayatollah Ali Khamenei setelah menjabat
sebagai Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran tetap hidup sederhana dan
bersahaja. Lebih dari itu, menu makannya tidak pernah lebih dari satu.
Hadiah-hadiah yang didapatkannya selama menjabat Presiden Iran
diserahkan kepada Museum Makam Imam Ali Ar-Ridha as di kota Mashad.
Rahbar
juga mengantisipasi fitnah dengan melarang anak-anaknya untuk
beraktivitas di dunia politik dan ekonomi. Hujjatul Islam Marvi yang
menjabat sebagai Pimpinan Humas di Kantor Rahbar, mendapat kesempatan
untuk melihat kehidupan Ayatollah Al Udzma Sayid Ali Khamenei dari
dekat. Terkait kehidupan Rahbar, Hujjatul Islam Marvi mengatakan,
"Rahbar mempunyai empat anak laki-laki yang semuanya adalah pelajar
agama yang berpakaian rohani. Mereka juga sangat serius belajar.... Saya
seringkali duduk dan berbincang-bincang bersama dengan putra-putra
Rahbar. Namun tidak pernah keluar sedikitpun yang mengeluhkan uang dan
fasilitas dari mulut mereka. Putra-putra Rahbar sama seperti orang
biasa, dan ayah mereka juga demikian. Mereka lebih cenderung membahas
berbagai masalah ilmiah. Ini adalah hal yang menarik bahwa ada fasilitas
dan kesempatan tapi tidak dihiraukan. Untuk Rahbar, banyak fasilitas
yang disediakan, tapi beliau dan keluarganya tak pernah menghiraukan
semua itu."
Kehidupan
sederhana Rahbar sama seperti kehidupan Imam Khomeini ra. Ini diakui
oleh orang-orang yang melihat langsung kehidupan Rahbar. Kekompakan
kedua pemimpin besar abad ini mengingatkan pada figur sempurna Nabi
Besar Muhammad Saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as. Mengikuti jejak
tauladan Rasulullah Saw dan Imam Ali as, Imam Khomeini dan Rahbar hanya
mencari kerelaan ilahi. Harta dan jabatan menurut mereka adalah
sementara, sedangkan hal yang abadi adalah kerelaan ilahi.
sumber : irib
Farazdaq Khaza'i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar