Siapakah al-Farazdaq?
Nama asli al-Farazdaq adalah Abu Firas
Hammam bin Ghalib bin Sha’sha’ah at-Tamimi ad-Darimi. Ia lahir di
Kadhima (sekarang Kuwait) pada tahun 641 namun tinggal di Basrah. Pada
usia 15 tahun, Farazdaq dikenal sebagai penyair. Suatu ketika Ghalib
datang kepada Imam Ali bersama putranya. Imam bertanya, “Bagaimana
tentang jumlah untamu yang banyak?” Ia menjawab, “Mereka telah tersapu
habis (dalam melaksanakan kewajiban), wahai Amirul Mukminin.” Imam
menjawab, “Itu cara paling terpuji.”
Lalu Imam bertanya kepada Ghalib siapa anak
muda ini. Dengan bahagia Ghalib menjawab, “Dia adalah putraku dan dia
seorang penyair.” Ketika Imam mendengarnya, beliau berkata, “Ajari ia
Alquran. Itu lebih baik baginya dari sekedar membaca syair.” Kata-kata
Imam mempengaruhi al-Farazdaq sehingga ia berjanji tidak akan bebas
sebelum menghafal Quran. (Lihat: Syarh Ibnu Abil Hadid). Kemudian al-Farazdaq kembali kembali membuat puisi.
Ketika ia tinggal di Bashrah, ia menyusun
satir untuk Bani Nisyal dan Bani Fuqaim dan ketika Ziad bin Abihi
(anggota Bani Fuqaim) menjadi gubernur di Irak pada tahun 669. Al-Farazdaq
dipaksa tinggal beberapa tahun di Madinah dan kembali ke Bashrah
setelah kematian Ziad. Di Bashrah ia berusaha mendapatkan dukungan putra
Ziad, Ubaidillah.
Al-Farazdaq terkadang bersikap “gila” dan
berani, seperti syair dan perseteruannya dengan Jarir (penyair dekat
seorang tirani, al-Hajjaj) yang telah menjadi perbincangan selama
berabad-abad. Kekayaan kosakata al-Farazdaq membuat kritikus Arab
terdahulu berkata, “Jika syair-syair al-Farazdaq tidak ada, sepertiga
bahasa Arab akan hilang.” Dîwan-nya mengandung ribuan sajak, termasuk pujian, sindiran dan rintihan.
Pertemuan dengan Imam Husain
Sebelum Imam Husain berangkat ke Karbala, beliau bertemu dengan
al-Farazdaq dan menanyakan kondisi di Irak. Al-Farazdaq mengatakan bahwa
hati orang-orang di sana bersama Imam tapi pedang mereka bersama
Ummayah dan mengarah ke Imam. Imam Husain menjawab, “Bila segalanya
berjalan sebagaimana yang kami kehendaki, kami bersyukur kepada Allah…
Tetapi bila terjadi yang tidak menguntungkan, kami tidak rugi karena
maksud kami baik… Aku bersyukur kepada-Nya dalam segala keadaan, yang
menyenangkan atau sebaliknya.”
Kepada al-Farazdaq, Imam Husain as juga berkata, “Wahai Farazdaq!
Mereka adalah orang-orang yang telah melalaikan ketaatan kepada Allah
dan mengikuti ajakan setan. Mereka berbuat kerusakan di muka bumi,
mencampakkan hukum Allah dan melakukan kemunkaran serta merampas harta
orang-orang fakir. Aku lebih berhak untuk bangkit membela agama Allah.
Demi kemuliaan agama, aku jihad di jalan Allah sehingga kalimah Allah tegak.”
Syair Monumental Itu…
Meskipun Hisyam bin Abdul Malik adalah khalifah Bani Umayyah, dia tidak berhasil menyentuh dan mencium Hajarul Aswad,
karena banyaknya jumlah jemaah haji. Kaki tangan dan para pengawal yang
datang bersama Hisyam dari negeri Syam juga gagal menjaga
“keagungannya” di hadapan kebesaran dan keagungan amal ibadah haji.
Berulang kali Hisyam berusaha untuk sampai ke Hajarul Aswad, namun
selalu saja gagal.
Akhirnya dia mengalah dan mundur, Hisyam
duduk di sebuah kursi yang telah tersedia di tempat yang agak tinggi
sembari memandang jemaah haji yang sedang mengintarinya. Tiba-tiba
muncul seseorang yang berwajah saleh. Mula-mula beliau bertawaf
mengelilingi Kakbah tujuh kali, lalu dengan wajah tenang dan langkah
yang mantap, beliau beranjak menuju ke arah Hajarul Aswad. Jemaah yang
berdesakan itu segera memberikan jalan ketika melihatnya datang.
Melihat hal itu, orang-orang Syam merasa
terkejut. Mereka heran karena seorang khalifah seperti Hisyam yang
mempunyai status sosial yang tinggi gagal mencapai Hajarul Aswad, tapi
orang yang sederhana itu justru dengan mudah bisa mencapainya. “Siapa
gerangan orang itu wahai Amirul Mukminin?” tanya orang kepada Hisyam.
“Entahlah,” jawab Hisyam tak acuh.
Hisyam sebenarnya mengenal siapa orang itu
tapi berpura-pura tidak mengenalnya. Ia adalah Imam Ali Zainal Abidin,
putra Imam Husain. Lagi pula siapakah yang berani mengenalkan orang ini
kepada Hisyam, yang pedangnya selalu berlumuran darah pada saat itu?
Dalam keadaan seperti itu, al-Farazdaq, berkata, “Aku kenal dia. Bahkan
tidak puas dengan mengenalkannya begitu saja.” Dia berdiri di sebuah
tempat yang agak tinggi dan mengucapkan syair (yang saya ringkas):
Dialah yang dikenal jejak langkahnya,
oleh butiran pasir yang dilaluinya.
Rumah Allah Kakbah pun mengenalnya,
dan dataran tanah suci sekelilingnya.
Dialah putra insan termulia,
dari hamba Allah seluruhnya.
Dialah manusia hidup berhias takwa,
kesuciannya ditentukan oleh fitrahnya.
Di saat ia menunju Kakbah,
bertawaf mencium Hajar jejak kakeknya.
Ruknul Hatim enggan melepaskan tangannya,
karena mengenal betapa ia tinggi nilainya.
Itulah Ali cucu Rasulullah,
cucu pemimpin segenap umat manusia.
Dengan agamanya manusia berbahagia,
dengan bimbingannya mencapai keridaan-Nya.
Jika Anda belum mengenal dia,
dia itulah putra Fatimah.
Putri Nabi utusan Allah,
penutup para Rasul dan anbiya.
Pertanyaan Anda “Siapa dia?”
tidak merugikan keharuman namanya.
Arab dan ajam mengenal dia,
walau Anda hendak mengingkarinya.
Tidak pernah ia berucap “tidak”,
kecuali dalam ucapan syahadatnya.
Kalau bukan karena syahadatnya,
“Tidak”nya berubah menjadi “ya”.
Berasal dari keluarga mulia
Mencintainya fardhu dalam agama
Membencinya kufur dalam agama
Dekat padanya selamat dari marabahaya.
Yang mengenal Allah pasti mengenal dia
Yang mengenal dia mengenal keutamaannya
Yang bersumber pada lingkungan keluarganya
Tempat manusia bermandikan cahaya.
Mendengar syair, manthiq dan bayan al-Farazdaq
ini, Hisyam naik darah. Diperintahkannya agar jatah al-Farazdaq dari
Baitul Mal diputus, dan dia dijebloskan ke dalam penjara Asfan, suatu
daerah antara Mekah dan Madinah. Namun semua itu tidak mengendurkan
semangatnya yang dalam untuk mengungkapkan akidah dan prinsipnya. Bahkan
di penjara pun, dia terus mengucapkan syair-syairnya yang bernada
protes dan kritik berapi-api.
Suatu hari, Imam Ali Zainal Abidin mengirim
sejumlah uang untuk al-Farazdaq sebagai ganti atas pemotongan haknya
dari Baitul Mal. Tapi al-Farazdaq menolaknya dan berkata, “Kuucapkan
syair itu demi akidah dan imanku karena Allah semata-mata. Aku tidak
berhasrat menerima uang ini sebagai upah.” Untuk kedua kalinya Imam Ali
Zainal Abidin mengirimkan sejumlah uang kepada al-Farazdaq. Dia
berpesan, “Allah Swt. Maha Mengetahui tujuanmu. Andaikan engkau terima
bantuanku, tidaklah berarti bahwa ganjaranmu dan pahalamu akan terusik.”
Dan Imam Ali Zainal Abidin bersumpah kepada al-Farazdaq agar menerima
bantuannya hingga akhirnya menerima.
Sumber : Ejaannya Eja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar