Budaya Kejawen sebagai Metamorfosis Ajaran Islam Syiah di Pulau Jawa
Kaum
muslim Syiah telah mempersiapkan sebuah kemasan baru untuk menghindari
konflik dengan kaum muslim Sunni. Mereka atampaknya akan menerapkan
kembali suatu strategi yang sering mereka praktekkan di timur tengah.
Strategi itu disebut dengan taqiyah. Setelah di timur tengah, mereka
tidak mempraktekkannya lagi ketika di Perlak. Tetapi di pulau Jawa ini
tampaknya mereka harus menerapkannya lagi. Hal tersebut perlu karena
persatuan diantara syiah dan sunni harus segera dilaksanakan secepatnya
sebelum orang-orang barat datang ke Nusantara untuk melakukan
penjajahan. Tetapi taqiyah yang mereka terapkan di pulau Jawa akan jauh
lebih ekstrim daripada yang pernah mereka terapkan di timur tengah.
Karena berdasarkan pada pengalaman sebelumnya bahwa adanya segitiga
kepentingan, yaitu; syiah, sunni, dan non-muslim, kaum muslim sunni
sukar menerima suatu koalisi dengan kaum syiah untuk menghadapi
non-muslim seperti Sriwijaya atau Majapahit, tanpa menimbulkan kerugian
pada kaum muslim syiah. Padahal lawan non-muslim yang akan dihadapi kaum
muslimin di masa depan adalah orang-orang Eropa yang lebih kuat.
Oleh
karena itu kaum Islam Syiah keturunan para musafir Perlak harus
mengakselerasi persatuan kaum muslimin secepatnya di pulau Jawa. Mereka
akan mengeliminir simbol-simbol ajaran syiah, dan memakai symbol-simbol
Islam mazhab sunni, akan tetapi inti ajaran tauhid dari ajaran syiah
tetap dipertahankan. Kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak
akan menampakkan diri mereka di depan kaum muslim sunni seolah-olah
telah keluar dari Islam mazhab syiah dan menganut peradaban yang berbeda
dengan peradaban syiah yang sebelumnya mereka anut. Mereka akan
menampilkan kepada saudaranya kaum muslim sunni, bahwa peradaban yang
mereka anut tersebut telah ada dan diyakini oleh pribumi pulau Jawa
sebelum kedatangan mereka di pulau tersebut. Kaum muslim syiah keturunan
musafir Perlak di pulau Jawa memahami bahwa saudaranya kaum muslim
sunni tidak akan terlalu mengusik jika mereka terlihat seperti telah
keluar dari mazhab syiah yang dianut sebelumnya.
Pertanyaannya
adalah apakah peradaban baru yang dibuat oleh orang-orang keturunan
para musafir Perlak pesisir ke Jawa tersebut? jawabannya adalah: Budaya
Kejawen. Budaya Kejawen mengandung nilai KeTuhanan dan kemanusiaan yang
amat tinggi dan adiluhung, jadi tidak mungkin budaya tersebut secara
mandiri dibentuk oleh suatu kearifan yang baru berumur beberapa ratus
tahun saja. Budaya tersebut pastilah mempunyai kesinambungan dengan
suatu peradaban manusia yang telah maju dari masa yang telah lama.
Budaya manusia yang masih muda akan membentuk peradaban yang sederhana,
seperti budaya-budaya penduduk primitifyang tinggal di pedalaman Guinea
dan Australia. Pada tesis di uraian sebelumnya ditarik sebuah hipotesa
bahwa budaya monotheisme yang bernilai keTuhanan tinggi dan membentuk
budaya Kejawen adalah budaya Islam Syiah.
Lalu
mungkin akan timbul suatu pertanyaan, yaitu; kapankah kaum syiah
keturunan kaum musafir Perlak mengubah keyakinannya menjadi peradaban
kejawen? Secara historiologi, waktu pembuatan budaya baru ini kurang
jelas. Akan tetapi kita bisa mendapatkan data melalui antropologi budaya
masyarakat Nusantara/Jawa. Yaitu intensitas budaya Kejawen yang dipeluk
masyarakat Jawa dan berita masa lalunya santer sampai sekarang. Berita
tertulisnya tampak secara tersirat pada serat-serat sastra jawa kuno
yang mengandung nilai-nilai keTuhanan yang tinggi. Berdasarkan berita
santer masa lalu ini mudah kita untuk membayangkan bahwa budaya kejawen
pernah secara masif mendominasi keyakinan masyarakat pulau Jawa. Yang
kita berusaha lacak adalah periodisasinya. Budaya Kejawen memiliki
persamaan yang menakjubkan pada ajaran sisi esoteris Islam mazhab Syiah.
Pada keduanya terdapat kandungan pengajaran hikmah, filsafat wujud,
tauhid dan akhlak yang benar-benar identik. Tidak pernah ditemukan
persamaan antara dua peradaban yang begitu identik di dunia ini
sebagaimana identiknya budaya Kejawen dan ajaran esoteris Islam mazhab
Syiah.
Dilihat
dari kuatnya pengaruh budaya kejawen yang masih terasa sampai sekarang,
maka kemungkinan sekali periodisasi budaya kejawen ini sudah cukup
lama. Periodisasinya juga jauh lebih tua dari ?Islamnya masyarakat Jawa
menurut ?versi Dr Snouck? yang dimulai pada abad 15.? Islam menurut Dr
Snouck masuk ke Jawa melalui Gujarat di Aceh dan masuk dari Hadramauth
ke Jawa oleh para walisanga.
Jika
periodisasi peninggalan tertulis budaya kejawen berasal dari abad ke 15
sampai dengan abad ke 19, maka budaya lisannya kemungkinan sekali
berasal dari waktu yang jauh lebih awal dari abad ke 15. Bisa berasal
dari abad ke 10 sampai abad ke 14. Dalam ilmu antropologi masyarakat,
sering suatu pola budaya dalam masyarakat bermula dari nilai-nilai
sosial yang bersifat non-formal. Kemudian semakin maju masyarakat
tersebut maka menjadi budaya formal. Pada awalnya monotheisme Jawa
berjalan atas penyebaran yang berbasis budaya lisan. Demikian pula
ajaran monotheisme Kejawen. Makin lama monotheisme lisan kejawen
tersebut mengambil bentuk budaya kompleks dan tertulis, seperti tertulis
pada serat-serat sastra kuno jawa yang mengandung nilai-nilai esoteris
monotheisme. Pada awalnya monotheisme esoteris adalah budaya keyakinan
rakyat yang bersifat lisan. Kemudian dimasa Syekh Siti Jenar ketika
peradaban manusia sudah semakin kompleks maka monotheisme esoteris masuk
ke periode tertulis seperti dalam serat-serat sastra kuno jawa.
Oleh
karena itu masa keemasan budaya Kejawen di pulau Jawa berlangsung jauh
lebih awal dari kedatangan para Walisanga dari Hadramauth ke pesisir
utara pulau Jawa. Karena dari anggapan sejarah awam bahwa sejak masa
Islam masuk ke Jawa oleh walisanga sampai dengan masa sekarang ini,
budaya kejawen belum pernah mengalami masa keemasan. Padahal secara
antropologi masyarakat sudah jelas bahwa pada suatu masa lampau, budaya
Kejawen pernah mengalami masa keemasan di pulau Jawa. Oleh karena itu
masa keemasan budaya kejawen pastilah terjadi sebelum masa para
walisanga berdakwah di Jawa.
Para
Walisanga justru pihak yang berusaha menghapus budaya Kejawen. Hal
diatas tampak pada konflik antara Walisanga dengan Syekh Siti Jenar.
Syekh Siti Jenar dengan paham Wahdatul Wujudnya memiliki kesamaan
paralel dengan paham Manunggaling Kawula Gustinya budaya Kejawen. Syekh
Siti Jenar lebih cenderung mengangkat sisi esoteris islam daripada para
walisanga yang lebih mementingkan sisi material atau mengangkat
simbol-simbol luarnya saja. Dan ternyata sisi esoteris islam Syekh Siti
Jenar ini memiliki kesamaan dengan keyakinan Kejawen.
Memang
Syekh Siti Jenar dalam ungkapan-ungkapannya seolah-olah seperti tidak
menekankan sisi syariat Islam. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut
sebenarnya maksud beliau bukanlah demikian. Maksud Syekh Siti Jenar
adalah bahwa pengamalan syariat apabila tidak disertai dengan kesadaran
dan niat yang sungguh-sungguh kepada Allah dan dengan tujuan kebaikan
dari orang-orang yang melaksanakannya, maka makna dari amalan-amalannya
akan sia-sia. Maksud dari Syekh Siti Jenar ini tentunya juga dipahami
oleh seluruh kaum muslimin pada saat itu dan tentunya juga dipahami pula
oleh para Walisanga. tapi kenyataannya para Walisanga tetap menjatuhkan
vonis kepada Syekh Siti Jenar. Berdasarkan hal tersebut di depan maka
hanya ada satu kemungkinan alas an bagi para Walisanga untuk bersikap
keras kepada Syekh Siti Jenar, alasan tersebut adalah alasan perebutan
pengaruh dan simpati dari masyarakat muslimin di pulau Jawa secara
keseluruhan, atau dengan kata lain alasan para Walisanga tersebut lebih
bermakna politis.
Kerajaan Mataram Islam Pewaris Inti Irfan dam Akhlak Mazhab Ahlulbayt
1.
Patut diingat bahwa masyarakat Jawa sebelum memeluk agama Islam besar
kemungkinan telah berperadaban tinggi dan banyak yang memahami filsafat
tingkat tinggi yang mereka peroleh dari peradaban sebelumnya, seperti
peradaban Zoroaster ataupun monotheisme rakyat lapisan bawah Elam. Oleh
karena itu ungkapan-ungkapan Syekh Siti Jenar berkenaan dengan paham
Manunggaling Kawula Gusti sebenarnya merupakan ungkapan filosofis yang
sangat mudah dicerna kaum muslimin di Nusantara pada saat itu, daripada
kaum muslimin di Nusantara pada saat sekarang ini.
Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah darimana asalnya perbedaan
kesepahaman ?ajaran? antara Syekh Siti Jenar dengan para walisanga? yang
kedua belah pihak dinyatakan dalam riwayat adalah sama-sama mubaligh
islam. Darimana Syekh Siti Jenar mendapatkan ajaran Wahdatul Wujud?
Apakah dari luar Nusantara ataukah memang sudah ada paham monotheisme di
Jawa sebelum beliau menjadi ulama yang mempunyai nilai-nilai yang sama
dengan sisi esoteris islam? Ada dua kemungkinan besar tentang asal-usul
Syekh Siti Jenar mendapatkan nilai-nilai esoteris Islam. Kemungkinan
pertama adalah bahwa Syekh Siti Jenar mendapatkannya dari budaya asli
masyarakat. Kemudian beliau menampilkannya dengan bentuk nilai-nilai
budaya Kejawen. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya asli
masyarakat tersebut, pada uraian selanjutnya nanti akan dibahas pendapat
Nancy Florida, seorang asing yang mencermati budaya kejawen pada suluk
dan wirid, dan dia berkata bahwa budaya Kejawen bukan berasal dari
Hindu. Apabila kemungkinan pertama ini benar, maka Syekh Siti Jenar
mendapatkan pemahaman hikmah manunggaling kawula Gusti itu dari orang
syiah keturunan kaum musafir Perlak Pesisir yang hijrah ke pulau Jawa.
Kemungkinan
kedua adalah bahwa Syekh Siti Jenar mendapatkan ilmunya secara utuh
dari peradaban Islam di timur tengah. Apabila hal ini merupakan
kebenaran maka pada masa itu mazhab dalam Islam yang sangat menonjolkan
sisi esoterisnya hanya Islam dari mazhab syiah. Mazhab syiah mengalami
perkembangan di daerah Persia dan saat ini menjadi mayoritas di
wilayah-wilayah Iran dan Irak. Jumlah yang signifikan dijumpai di
Pakistan dan Afghanistan. Beberapa pengamat budaya Kejawen berpendapat
bahwa Syekh Siti Jenar adalah orang yang berkebangsaan Persia.
berdasarkan pendapat para ahli sejarah budaya Kejawen tersebut maka
besar pula bahwa kemungkinan kedua adalah kebenaran sejarah budaya
Kejawen.
Apapun
kebenaran dari dua kemungkinan tersebut, hasilnya tetap sama saja,
yaitu memperkuat argumentasi bahwa pengaruh Islam syiah dari Persia
sangat kuat di Nusantara Jawa sebelum kaum muslim Sunni masuk wilayah
tersebut. Karena keturunan kaum musafir Perlak yang merantau ke pulau
Jawa sebenarnya juga merupakan keturunan Persia, dan kerajaan Perlak
merupakan kerajaan Islam Syiah.
Situasi
sosial-politik masyarakat dan penguasa Islam di pulau Jawa yang seperti
tergambar pada deskripsi diatas, sedikit banyak menunjukkan situasi
sebelumnya bahwa dakwah para Walisanga ke Nusantara lebih bermotifkan
politis. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena wilayah Nusantara pernah
menjadi basis kuat Islam mazhab Syiah di dunia. Keadaan di timur tengah
sendiri pada masa itu penuh dengan nuansa persaingan antara dua mazhab
Islam, Islam Sunni dan Islam Syiah, dimana penguasa Islam di timur
tengah pada masa itu adalah kaum muslimin yang bermazhab Islam Sunni.
Kekuasaan yang saat itu berada di tangan Bani Umayyah maupun Bani
Abbasyah berusaha untuk menghapus Islam mazhab Syiah. Maka juga
merupakan suatu kemungkinan bahwa dakwah para walisanga adalah skenario
yang didatangkan oleh penguasa Bani Abbas untuk men-Sunni-kan masyarakat
Syiah di Nusantara. Karena pada saat itu syiah yang di Persia sendiri
dianut secara sembunyi-sembunyi justru sangat kuat posisinya di
Nusantara. Dalam sejarah memang dakwah para wali lebih banyak
berafiliasi dengan penguasa, baik penguasa Majapahit yang pada awalnya
belum memeluk Islam maupun penguasa Demak (Majapahit Islam).
Apabila
teori diatas adalah situasi sebenarnya di Nusantara. Maka semakin
memperkuat argumentasi bahwa budaya kejawen sebenarnya adalah keyakinan
masyarakat Islam Syiah yang terdesak oleh dakwah Islam Sunni pimpinan
Walisanga. Mereka kemudian menyamarkan keyakinan mazhabnya itu. Apabila
tekanan ini berlangsung terus-menerus maka simbol-simbol fisik maupun
ritual mazhab ini pasti akan hilang. Yang masih bertahan adalah nilai
spiritualnya saja. Inti nilai spiritual Islam Syiah yang di masa
selanjutnya menjadi budaya kejawen. Sepertinya masyarakat spiritual
Kejawen terdesak ke pedalaman pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam
yang bernuansa Sufistik.
Kerajaan
Islam pedalaman tersebut adalah kesultanan Mataram. Secara spiritual
kebatinan sebenarnya kerajaan ini sangat menonjolkan sisi islam esoterik
yang identik dengan irfani pada Islam mazhab Syiah. Bisa dikatakan
kerajaan Mataram Islam pulau Jawa identik dengan kerajaan Islam dinasti
Safawi di Persia yang tahun berdirinya nyaris bersamaan dengan
berdirinya kerajaan Mataram yaitu pada abad ke 16. Kerajaan dinasti
Safawi di Iran bernuansa esoteris Islam. Bahkan di timur tengah bersama
kerajaan Fatimiyyin Mesir, pemerintahan dinasti Safawi Iran merupakan
satu-satunya kerajaan bernuansa sufi/irfani yang pernah berdiri.
Apabila
tidak ada kerajaan Mataram Islam di pulau Jawa, maka kesultanan dinasti
Safawi, kesultanan Perlak dan kesultanan dinasti Fatimiyyin Mesir
merupakan kesultanan Islam bernuansa sufi/irfani yang pernah berdiri
dalam sejarah Islam. Kesultanan Mataram juga kesultanan islam sufisme.
Maka pada abad ke 16 terdapat 4 kekhalifahan Islam yang berdiri nyaris
bersamaan, yaitu kesultanan Usmani di Turki yang lebih awal berdirinya,
Safawi Sufi di Persia, Mughal di India dan Mataram islam di pulau Jawa.
Dua kerajaan bernuansa sufi/irfani yaitu Safawi dan Mataram. Sedangkan
dua kerajaan lainnya yaitu kerajaan Usmani dan Mughal lebih menonjolkan
sisi eksoteris dengan merasa cukup berpegang pada simbol-simbol syariat.
Jika
Mataram benar merupakan kerajaan Islam Sunni dan bukannya sebuah
kerajaan berasal dari masyarakat Syiah yang kemudian berubah kulit
karena pada masa setelahnya kehilangan simbol-simbol kesyiahannya, maka
hanya kerajaan tersebut saja yang merupakan kerajaan Islam bermazhab
Sunni yang punya kecenderungan irfani/sufistik di dunia ini. Suatu pola
yang sangat tidak lazim dan amat sukar dipercaya. Tradisi sufi jarang
sekali dijumpai pada masyarakat Sunni bahkan di timur tengah. Di timur
tengah, para sufi yang memiliki nama besar pun kesulitan mempunyai
pengikut, apalagi sampai mampu mendirikan kerajaan. Usaha maksimal para
sufi di tengah masyarakat Sunni hanya mendirikan tarekat-tarekat
tradisional yang proporsinya masih jauh dibawah pesantren-pesantren
Sunni dan kurang mendapat apresiasi dari masyarakat Sunni sendiri, baik
di Nusantara maupun Timur tengah. Karena hal diatas maka suatu kewajaran
apabila pemerhati sejarah Islam di pulau Jawa kemudian menyimpulkan
bahwa terdapat kontribusi ajaran keyakinan Islam dari mazhab lain yang
membentuk kerajaan Islam Mataram, sehingga kerajaan tersebut bernuansa
sufistik. Suatu hal yang bahkan di pusat Islam Sunni di timur tengah
sendiri suatu hal yang belum pernah terjadi.
Hanya
ada satu atau dua orang sufi saja dari tengah-tengah masyarakat Sunni
timur tengah yang mampu menonjol ajarannya hingga sampai mempunyai murid
atau pengikut yang dapat dilacak sampai sekarang. Diantaranya adalah
Rumi dan Ibn Arabi. Tapi Rumi juga seorang sufi yang berasal dari
Persia, ia berada di Khurasan awal abad ke abad 13 yang kemudian setelah
banyak belajar kemudian melancong ke barat. Pada saat itu Persia sudah
bermazhab Syiah sehingga kajian esoteris Islam sudah diajarkan kepada
masyarakat. Akan tetapi di wilayah barat Daulah, kajian esoteris
merupakan sesuatu pencerahan luar-biasa yang belum pernah didapatkan
oleh orang-orangnya. Kemungkinan kuat sekali bahwa Rumi mendapatkan
kajian esoteris Islam dari para ulama Syiah di Khurasan. Tapi kehebatan
Rumi dan Arabi di dunia Sunni juga tidak mendapatkan apresiasi yang
besar. Ajaran mereka pada masyarakat Sunni ternyata terhenti di masa
depan. Jejak Peninggalan-peninggalan Irfanisme Kerajaan Mataram Islam.
Mataram
Islam mempunyai nilai-nilai ajaran irfan/sufisme yang maju dan tidak
hanya bersifat lisan akan tetapi juga telah tertuliskan. Nilai-nilai
sufisme Mataram tertulis dalam serat-serat sastra jawa kuno. Nilai-nilai
spiritual jawa kuno ini di Mataram adalah budaya tertulis Kejawen dan
sama sekali tidak bernuansa Hindu atau Budha. Seperti yang dikatakan
oleh Nancy Florida seorang ahli serat-serat sastra jawa kuno dalam
sebuah interview tanya jawab yang dimuat oleh Kompas, 22 Maret 2009.
Dalam buku Membaca Post-Kolonialitas Nancy menulis,
'Saya
ingin merenggangkan gambaran fiksi yang melukis tembok kraton Mataram
sebagai benteng kukuh (seolah-olah tanpa pintu) yang melestarikan
dibaliknya suatu kebudayaan asli Hindu-Budha yang bertentangan dengan
islam. Waktu tembok keraton itu didirikan (lengkap dengan pintunya)
dunia intelektual keraton dan intelektual pesantren tidak hidup dalam
pertentangan binaris.'
Kemudian
penanya: Jadi, sebenarnya dimana pengaruh Hindu pada suluk ataupun
wirid Selama ini selalu ada pandangan pengaruh Hindu sangat kuat pada
Jawa?
Nancy
menjawab: ajaran tasawuf yang berbentuk puisi itu disebut suluk,
sedangkan yang dalam bentuk prosa disebut wirid. Dalam budaya jawa lebih
banyak suluk. Banyaknya karya suluk ini menandakan bahwa pengajaran
sastra Jawa sangat kuat pada abad ke 16.
Ya
pengajaran tasawuf sangat kuat dan sophisticated di abad ke 18 dan 19.
Suluk itu lebih kuat karena pengaruh islam, bukan Hinduisme.
Kemudian penanya: Bagaimana dengan wayang? juga ritual-ritual Jawa yang dianggap Hindu
Nancy
menjawab: Kalau kita lihat wayang, wayang itu telah
disambung-sambungkan dengan dunia islam. Kita lihat juga Ajisaka.
Menarik sekali itu cerita legenda awal tanah jawa. Ajisaka kan belajar
ke Mekkah, itu yang mendirikan Hindu Jawa.. Yang dianggap oleh awam
sebagai Hindu itu sebenarnya adalah tasawuf Islam. Tidak seperti islam
dipraktekkan sekarang.
Kemudian penanya: jadi ada suatu politik kolonial yang mencoba mengkorting pengaruh islam, terutama setelah perang Diponegoro?
Nancy
menjawab: Menurut saya begitu. Dari 500 naskah di kraton Surakarta,
hanya 17 yang berbau Hinduisme. Selebihnya Islam. Ini kan menarik. Jadi,
kalau kraton di Jawa terutama diwakili oleh kraton Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta selama ini dicitrakan sebagai Hinduistik, itu sama
sekali salah. Kalangan berpengaruh di dalam kraton, termasuk para
penasehat spiritual dan pujangga bahkan umumnya mendapatkan pendidikan
agama di pondok pesantren. Di masa lalu, islam (di kraton) lebih
fleksibel karena lebih cenderung pada tarekat.
Pengajaran
tasawuf dikatakan oleh Nancy marak pada abad ke 18 sampai abad ke 19.
Tentunya pengajaran di masa itu sudah sistematis disertai dengan
diktat-diktat budaya tertulis yaitu suluk dan wirid. Lembaganya juga
sudah formal yaitu lembaga-lembaga pesantren. Akan tetapi pasti terdapat
masa-masa panjang sebelumnya yaitu masa pembentukan budaya tertulis
kejawen di pulau Jawa itu sendiri. Yaitu budaya lisannya. Periode ini
semestinya mengambil masa yang lebih panjang. Bisa 5 sampai 6 abad
sebelumnya.
Sedikit-banyak
wawancara dengan Nancy diatas telah menunjukkan bahwa spiritual Kejawen
bukanlah berasal dari Hindu akan tetapi berasal dari Islam. Wilayah
Jawa adalah titik kedua monotheisasi Nusantara oleh peradaban Islam
setelah wilayah Aceh yang merupakan wilayah dakwah Islam pertama. Islam
adalah simbol monotheisme yang sangat sukses dianut oleh masyarakat di
pulau Jawa. Akan tetapi anehnya peninggalan riwayat-riwayat pengislaman
masyarakat hampir tidak ditemukan. Kalau berdasar sejarah komunitas
Islam awal pertama di Nusantara, Perlak/Lamuri adalah wilayah islam
pertama. Maka ada kemungkinan masuknya orang-orang Islam Perlak ke Jawa
dan mengislamkan masyarakatnya adalah setelah tahun 988 Masehi. Karena
pada tahun tersebut terjadi perang saudara di Perlak yang memecah
kesultanan Perlak menjadi dua Negara yaitu Perlak pedalaman yang
beraliran Sunni dan Perlak pesisir yang beraliran Syiah.
Jejak
Peninggalan Antropologi Budaya Masyarakat dan Arkeologi yang
Mengindikasikan Adanya Pengaruh Islam Syiah dari Persia di pulau Jawa
pada masa awal penyebaran Islam di Nusantara
Dugaan
kuat pengaruh Islam syiah Persia di pulau Jawa sesuai dengan fakta yang
tertera pada batu nisan atas nama Fatimah Binti Maimun. Nama tersebut
untuk ukuran situasi pada jaman dahulu yang tertera pada angka tahun
yaitu tahun 1086 Masehi sangat kental bernuansa Syiah. Huruf dan pola
prasasti nisan tersebut juga memiliki pola Persia. hal tersebut semakin
memperkuat argumentasi bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara pada
masa awalnya dan mampu mengislamkan sebagian besar penduduk Nusantara
adalah agama Islam yang bermazhab syiah.
Tauhid
mazhab Islam syiah mempunyai kesamaan dengan Spiritual Kejawen, bahkan
identik. Paham pandangan dunia Ilahiah-nya mazhab Syiah identik dengan
manunggaling kawula Gusti-nya Spiritual Kejawen dan paham Wahdatul
Wujud-nya Syekh Siti Jenar.
Oleh
karena itu besar sekali kemungkinan bahwa Spiritual Kejawen berasal
muasal dari Tauhid mazhab Islam syiah. Karena kalau berdasarkan sejarah
masuknya Islam di Nusantara maka sejak kehadirannya oleh walisanga,
Islam tidak pernah mengalami dimana pengajaran nilai-nilai sisi esoteris
menonjol. Para walisanga adalah mubaligh Islam yang kental dengan
kultur Arab Islam Sunni. Dan kultur Islam Hadhramauth cenderung
menampilkan sisi eksoteris atau sisi luar yang simbolik dari Islam
seperti kajian fiqih dan syariat saja hingga sampai masa sekarang ini.
Apabila kita mengacu kedatangan Islam di Nusantara berasal dari dakwah
Walisanga sebagai sebuah kebenaran, maka sama saja dengan kita
menganggap bahwa sisi esoteris islam (spiritual kejawen) tidak pernah
mengalami masa keemasan di Nusantara Jawa ini.
Kemudian
apabila dilihat dari peninggalan-peninggalan simbol-simbol ritual
terdapat satu kesamaan antara spiritual Kejawen dengan Islam Syiah yang
luar biasa tepat. Yaitu suatu tradisi ritual Kejawen yang berlangsung
pada bulan Muharram. Bulan Muharram mempunyai nilai khusus bagi
masyarakat Kejawen. Sebenarnya bulan ini juga mendapatkan perlakuan
khusus dalam tradisi Islam, baik Islam Sunni maupun Islam Syiah. Akan
tetapi perlakuan khusus untuk bulan Muharram pada tradisi spiritual
kejawen lebih mirip dengan tradisi Islam Syiah daripada perlakuan khusus
terhadap bulan Muharram pada Islam Sunni. Muslim Sunni menganggap bulan
Muharram sebagai bulan kegembiraan dan penuh kemenangan karena
peristiwa hijrah. Oleh karena itu Islam Sunni menyambut bulan Muharram
dengan perayaan-perayaan yang mengekspresikan kegembiraan.
Sedangkan
spiritual Kejawen dan Islam Syiah sama-sama menetapkan bulan Muharram
sebagai bulan yang penuh dengan kesedihan dan keprihatinan. Islam Syiah
menjadikan bulan Muharram ini sebagai bulan kesedihan karena pada bulan
tersebut terjadi peristiwa tragedi yang mengenaskan. Yaitu tragedi
pembantaian Al-Husein cucunda nabi di padang Karbala. Peristiwa tersebut
juga disebut dengan peristiwa Asyura (baca: Asyuro). Orang-orang
spiritual Kejawen pada bulan ini juga masyarakatnya dilarang
bersenang-senang, dilarang menikahkan anak, dilarang mengadakan pesta.
Bulan Muharram harus diisi dengan penuh keprihatinan dan menempuh
asketisme yang serius.
Darimana
orang-orang spiritual Kejawen mendapatkan pengetahuan akan kekhususan
bulan Muharram yang penuh keprihatinan? Yang jelas bukan dari Hindu,
karena penanggalan kejawen adalah sama dengan penanggalan Islam dan
bukan penanggalan Hindu. Jadi apabila peringatan kesedihan Muharram itu
dilaksanakan setiap tahunnya atas dasar penanggalan Jawa maka hari
tragedinya akan bergeser menurut bulan pada tahun Saka yang merupakan
sistem penanggalan Hindu.
Kemudian
orang-orang spiritual Kejawen juga menamai nama bulan Muharram dengan
nama Kejawen yaitu dengan nama: Syuro. Pertanyaannya adalah: darimana
orang-orang spiritual Kejawen menamai bulan Muharram dengan nama Syuro?
Betapa miripnya nama bulan Kejawen ini dengan nama tragedi umat muslim
syiah yang terjadi di bulan Muharram yaitu tragedi Asyuro. Yang jelas
tidak ada peringatan tragedi Asyuro pada bulan Muharram pada umat muslim
Sunni. Bahkan nama Asyuro sama sekali tidak dikenal dalam khasanah
perbendaharaan kata pada umat muslim Sunni.
Babad Diponegoro: Fakta Takterbantahkan Akan Akar Kesyiahan Kraton Yogya di Masa Awal
Terdapat
sebuah babad (cerita sejarah) Mataram terbitan terakhir yang khusus.
Babad terbitan terakhir ini khusus karena isinya merupakan biografi si
penulis. Selain itu juga karena si penulis membuatnya di luar wilayah
Mataram. Si penulis ini adalah Pangeran Diponegoro. Beliau menulis buku
babad yang kemudian disebut dengan babad Diponegoro ini di pengasingan.
Buku babad ini masih asli, tidak sempat di’modifikasi’ oleh
tangan-tangan ‘ahli’ budaya asia tenggara pemerintah Hindia Belanda.
Penulis
babad tersebut, adalah Pangeran Diponegoro sendiri merupakan putra
Mataram, beliau putra sulung Sultan HB III. Walaupun secara umum pada
masa muda Pangeran Diponegoro. masyarakat mengenal beliau sebagai
pengikut tarekat Sattariyyah, akan tetapi menjelang awal perjuangannya
yang tertulis pada uraian beliau sendiri dalam babadnya, mengindikasikan
bahwa beliau adalah pengikut ahlul bayt. Terdapat sepenggal kisah dalam
babad tersebut yang mengisahkan suatu perintah oleh seseorang kepada
Pangeran Diponegoro. Dalam babad tersebut perintah yang turun kepada
beliau adalah perintah perang melawan Belanda. Perintah itu turun dari
seseorang yang kedudukannya lebih tinggi dari beliau, yaitu suatu
perintah dari Ratu Adil. Melihat penyampaian bahasa sastra puisi oleh
beliau dalam babad yang menggambarkan suatu sejarah (Puisi sekaligus
prosa), sepertinya wacana Ratu Adil adalah suatu hal umum di masyarakat
Mataram pada saat itu. Babad tersebut menampilkan bahwa seolah-olah
masyarakat Mataram pada awal abad ke 19 telah terbiasa dan familier
dengan terminologi konsep Ratu Adil, bukanlah sesuatu hal yang asing dan
khusus bagi mereka sehari-hari. Dalam babad tersebut diceritakan bahwa
Ratu Adil memanggil beliau (Pangeran Diponegoro). Kemudian terjadi juga
dialog antara Ratu Adil dengan Pangeran Diponegoro.
Konsep
tentang Ratu Adil terdapat dalam hampir semua budaya besar yang pernah
eksis di dunia ini. Konsep tersebut terdapat dalam Islam, Hindu,
Kristen, Yahudi, Zoroaster dan budaya-budaya lainnya. Akan tetapi
apabila kita membaca buku babad, konsep dan ciri dari Ratu Adil yang
digambarkan dalam babad Diponegoro tersebut hanya mempunyai persamaan
bahkan identik dengan terminologi Ratu Adil menurut Islam mazhab Syiah.
Pada babad digambarkan Ratu Adil memakai surban hijau. Dalam syiah
surban hijau merupakan identitas Sayyid (keturunan Rasulullah) yang
mempunyai kedudukan tinggi. Cerita pada babad melukiskan bahwa Ratu Adil
wajahnya mengeluarkan cahaya yang kemilau. Demikian pula dalam
riwayat-riwayat orang-orang syiah yang mengalami penyaksian berjumpa
dengan Imam Mahdi (Ratu Adil) di Persia, mereka mengatakan bahwa beliau
(Imam Mahdi) bercahaya wajahnya. Kemudian persamaan yang paling penting
bahwa dalam mazhab syiah Imam Mahdi diyakini telah hadir (telah
dilahirkan). Konsep Mahdiisme yang mana figur Al-Mahdi diyakini sudah
eksis di dunia ini hanya memiliki persamaan dengan cerita pada babad
Pangeran Diponegoro tersebut. yang mana dalam babad diceritakan bahwa
beliau berdialog dengan Imam Mahdi. Secara tidak langsung cerita dalam
babad itu mendeskripsikan bahwa Imam Mahdi sudah eksis (sudah lahir),
sama dengan konsep Mahdiismenya mazhab syiah. Pada budaya-budaya lain
termasuk dalam terminologi Islam sunni, figur juru selamat akhir zaman
ini (Al-Mahdi) diyakini belum lahir.
NB:
Patut
diketahui, perang Diponegoro yang merupakan perintah Imam Mahdi kepada
Pangeran Diponegoro ini bukanlah perang remeh. silahkan dilihat di
wikipedia, perang ini berskala internasional. Perang ini membawa korban
8000 orang asli kulit putih Belanda. Hal ini menjadikannya Perang
Diponegoro atau perang Jawa sebagai perang kolonial dengan korban dari
pihak penjajah kulit putih Eropa terbesar di dunia sepanjang sejarah
kolonialisme. Tidak sebuah perang koloniaolisme-pun baik di Amerika
Utara, Afrika, Amerika Tengah, Asia Tenggara, Amerika Selatan, Asia
Selatan yang membawa korban dari pihak penjajah Eropa yang berkulit
putih sebanyak perang Diponegoro. Penduduk negeri Belanda sendiri di
masa itu belum mencapai 1 juta jiwa.
kemudian
patut diketahui pula bahwa Belanda dengan bantuan keuangan yang
misterius pada abad ke 17 itu disponsori membentuk angkatan darat
terkuat di dunia untuk mensukseskan kolonialisme di pulau Jawa. Hal ini
diakui oleh kerajaan Inggris yang menyatakan bahwa Belanda pada abad ke
17 mempunyai angkatan darat terkuat di dunia.
Selain
itu berdasarkan sumber babad Diponegoro itu dapat disimpulkan bahwa
tujuan Perang Diponegoro tersebut bukanlah mengusir penjajah Belanda,
akan tetapi mempertahankan keislaman masyarakat Jawa, dan tujuan
tersebut berhasil. terbukti dengan setelah masa perang usai, Belanda
mempergiat aksi misionaris di pulau Jawa. Selain itu digalakkan pula
aksi indianisasi (berusaha menghapus sumber-sumber sejarah budaya
masyarakat Jawa dengan gubahan mereka, yang kemudian menampilkan kepada
masyarakat bahwa seolah2 masyarakat Jawa pada awalnya beragama Hindu).
Tapi praktik Indianisasi ini juga gagal, hanya berhasil di lingkungan
istana/keraton. Tapi perjuangan P. Diponegoro lebih ke pedesaan,
sehingga resistensi masyarakat pedesaan kuat menghadapi serangan
'budaya' atau indianisasi dari pihak Belanda.
Salah
satu 'karya' Indianisasi yang sekarang 'sukses' adalah kitab babad
tanah jawi, Buku Babad ini diciptakan setelah Perang Diponegoro usai.
dibalik digubahnya kitab ini sangat jelas bahwa isi kitab ini sangat
bernuansa Indianisasi Belanda berkenaan dengan silsilah keturunan
raja-raja Mataram Islam kepada raja-raja Majapahit. pada buku babad ini
ditampilkan cerita yang sangat 'maksa' bahwa Ki Bondan Kejawan
sebenarnya adalah keturunan Prabu Brawijaya V.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar