Ada dua pendapat dalam tubuh umat islam dalam menyikapi pernikahan mut’ah ini, sebagian umat islam (ahlussunnah) percaya bahwa pernikahan semacam ini tidak sah. Alasannya, Nabi Muhammad saww memang pernah menghalalkan pernikahan semacam ini, tapi kemudian Nabi saww mengharamkannya untuk selama-lamanya. Sebagian umat islam yang lain (ahlulbayt) berpandangan sebaliknya, mereka percaya bahwa Nabi tidak pernah mengharamkan pernikahan ini, setelah beliau saww menghalalkan pernikahan mut’ah ini. Alasannya, selain ada ayat al-qur’an yang membolehkan pernikahan mut’ah ini, mereka (Ahlulbayt) juga berpendapat bahwa yang mengharamkan pernikahan mut’ah ini bukanlah Nabi Muhammad saww, akan tetapi khalifah kedua, Umar bin khatab. Mari kita lihat, sebenarnya apa yang terjadi ?!
Tentu, sebelum masuk ke dalam masalah nan pelik ini, kita terlebih dahulu menanggalkan pakaian fanatik buta dan saling menyalahkan, agar hasil yang kita dapatkan merupakan ilmu murni dari Rasul saww!
Dan pada pembahasan kali ini, tidak mungkin kebenaran berada pada kedua belah pihak yang berselisih pendapat. Hanya ada satu pihak yang benar. Karena kaidah akal mengatakan ‘tidak mungkin hitam bisa bersatu dengan putih’ begitu juga ‘tidak mungkin kebenaran bisa menyatu dengan kesalahan’, dalam artian ketika, taruh saja, Ahlulbayt yang salah, maka otomatis ahlulbayt yang salah dan ahlussunnah yang dianggap benar pendapatnya. Jadi kita akan buktikan apakah pendapat Ahlulbayt yang benar ataukah ahlussunnah.
Dalam Al-qur’an Allah swt berfirman “...maka istri-istri yang telah kau nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah mahar mereka sebagai pemberian yang telah ditetapkan. Dan tidak akan menjadi dosa bagimu dalam perubahan apapun yang telah kalian saling sepakati setalah pemberian yang telah ditetapkan.” (q.s An-nisa’: 24)
Kalimat ‘famastamta’tum bihî minhunna’ (maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka) merujuk pada pernikahan sementara (mut’ah). Lantas, pada suatu hari, tanpa alasan yang kuat dan tanpa otoritas untuk menghapus atau menetapkan hukum nabi Muhammad saww, Umar bin khatab menyatakan hal ini diatas mimbar ‘Dua mut’ah (mut’ah wanita dan mut’ah haji[menggabungkan haji dan umrah] ) yang dilakukan pada masa Rasulullah saww, kini aku nyatakan bahwa keduanya haram dan aku akan menghukum mereka yang melakukannya ’ (Fakhr razi dalam Tafsir Kabir; As-suyuthi dalam Dur mantsur; zamakhsyari dalam kasysyaf; an-naisaburi dalam mustadrak, dll)
Menurut Tirmidzi bahkan menurut anaknya sendiri, Abdullah bin umar, menolak menyepakati perbuatan ayahnya karena perkawinan tersebut dihalalkan oleh Allah dan NabiNya, yang ketetapanNya tidak pernah bisa dibatalkan oleh siapapun sepeninggalnya. Oleh karena itu Ahlulbayt berpendapat bahwa nikah mut’ah hukumnya halal hingga kiamat.
Tetapi, seperti yang disebutkan diatas, ahlussunnah juga memiliki dalil-dalil yang menerangkan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan oleh Nabi saww untuk selama-lamanya, namun jika dikaji secara teliti, dalil-dalil dari ahlussunnah tidak kuat dan tidak bisa kita jadikan hujjah (bukti). Tapi, marilah kita menelitinya. Dalam kitab shia encyclopedia disebutkan :
“Sabra al-juhanni meriwayatkan berdasarkan otoritas bapaknya bahwa ketika ia sedang bersama Rasulullah saww, beliau berkata ‘wahai manusia, aku telah mengizinkan kalian untuk melakukan perkawinan mut’ah dengan wanita-wanita, tetapi Allah telah melarang itu (sekarang) sampai hari kebangkitan. Maka ia yang menikahi (perempaun dengan jenis akad perkawinan ini), ia harus membebaskannya, dan tidak menarik kembali sesuatu yang kamu sudah berikan kepada mereka (sebagai mas kawin)” (shahih muslim, versi inggris, jld 2, bab 541, judul pernikahan mut’ah)
Perhatikan, hadits ini menggunakan kata istimta’a, ini menunjukkan bahwa benar adanya, ayat diatas merujuk pada nikah mut’ah. Akan tetapi, sayang, hadits berikut menunjukkan bahwa Nabi saww menghalalkan pernikahan mut’ah setelah perang hunain (setelah 10/8) yakni setelah penaklukkan mekkah. Adapun haditsnya sebagai berikut :
“diriwayatkan oleh Iyas bin salamah dari ayahnya bahwa Rasul saww memberikan izin bagi akad pernikahan temporer (mut’ah) selama tida tahun pada tahun Autas (setelah perang hunain pada 8 H), dan kemudian melarangnya ” catatan : kalimat dalam kurung adalah catatan kaki penerbit saudi dan bukan dari saya !.
refeensinya : shahih muslim, versi inggris, jld 2, bab 541, berjudul : pernikahan temporer, hadits 3251; shahih muslim, versi arab, edisi 1980 diterbitkan di Arab saudi, jld 2 hal 1023, hadits 18 ‘kitab nikah, bab nikah mut’ah.
SEKARANG, MARI KITA LIHAT APA YANG MENJADI MASALAHNYA
Sekiranya Nabi telah melarang pernikahan mut’ah SELAMANYA pada hari khaibar (1/7 H), mengapa nikah mut’ah dipraktekkan lagi setalah perang hunanin (setelah 10/8 H) dengan petunjuk langsung Nabi saww ? (lihat referensi diatas).
Dengan kata lain :
Bagaimana mungkin bahwa satu hal yang haram SELAMANYA dalam dua kurun waktu yang berbeda, pada hari khaibar (1/7 H) dan pada penaklukkan Mekkah (9/8 H), dipraktekkan orang-orang diantara dua peristiwa ini dan setelah dua waktu atas perintah Nabi ?
Dalam hadits yang disebutkan diatas menyangkut perang Hunain, dikatakan bahwa Rasul saww menghalalkan nikah mut’ah setelah perang Hunain. Jadi, kita tidak dapat mengatakan orang-orang melakukannya karena mereka tidak mengetahui bahwa hal itu diharamkan selamanya. Hadits-hadits diatas membenarkan bahwa mut’ah dilakukan atas perintah langsung Nabi saww. Maka, bagaimana bisa kita membenarkan hadits-hadits ini bahwa Nabi saww melarangnya selamanya setelah itu?
“Mut’ah itu rahmat Allah untuk hamba-hambaNya. Sekiranya Umar tidak melarang pernikahan ini, niscaya tak seorang pun yang akan melakukan (dosa) perzinaan kecuali orang-orang jahat (syaqi)...” (imam Ali bin abi thalib as)
Jelas sudah, dalil ahlussunnah dalam menentang mut’ah sangat rapuh dan tidak bisa dijadikan pedoman, karena perselisihan antar dalil-dalil mereka yang begitu mencolok, sebaliknya, dalil-dalil dari ahlulbayt sangat logis karena merujuk pada al-qur’an dan hujjah ahlulbayt pun dapat mematahkan hujjah ahlussunnah (hadits-hadits diatas) yang rapuh tersebut.
Lantas, apa sebenarnya tujuan mut’ah ? nantikan pembahasan selanjutnya!
Wallahu a’lam!!
Diambil dari buku terjemahan seeking the straight path; reflections of a new muslim karya Diane (masooma) beaty.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar