Pernikahan mut’ah tidak dimaksudkan sebagai sautu alternatif untuk pernikahan permanen, tapi sebaliknya merupakan suatu pilihan bagi orang-orang yang tidak mampu memenuhi syarat-syarat pernikahan permanen. Menyatakan bahwa pernikahan permanen pasti memenuhi semua kebutuhan adalah pendapat yang bodoh berdasarkan pengamatan yang cermat atas masyarakat. Imam Ali as, dikutip telah mengucapkan hal berikut tentang ini “Ia (pernikahan fleksibel) dibolehkan dan secara mutlak diizinkan bagi siapapun yang kepadanya Allah belum menyediakan sarana pernikahan permanen sehingga ia bisa disucikan dengan melakukan mut’ah” (Wasa’il, jld 14, hal 449-450)
Di masyarakat modern, pernikahan mut’ah (fleksibel) bisa memenuhi kebutuhan sesorang yang telah melakukan perjalanan untuk waktu yang lama dan membutuhkan persahabatan, atau seseorang yang tidak menemukan pasangan yang tetap. Demikian juga ia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang yang tidak mempunyai sarana-sarana finansial untuk melakukan suatu pernikahan dan kemudian membaiyai istrinya secara finansial. (syarat bahwa si lelaki menjaga pasangannya menurut sarana-sarana finansialnya dan menurut apa yang si perempuan terbiasa tidak punya, diterapkan dalam perkawinan fleksibel). Janda-janda yang lebih tua yang memiliki sedikit kesempatan menemukan pasangan tetap lain yang lebih realistis bisa lebih mudah mendapatkan pasangan temporer unutk memenuhi kebutuhan persahabatan. Demikian juga halnya kaum muda yang belia memikul tanggung jawab pernikahan permanen namun khawatir melakukan dosa, bisa bertemu dalam pernikahan mut’ah secara sah. Kasus terakhir tidak dengan sendirinya memberi kebebasan bagi kaum muda untuk secara bebas bercampur baur dengan jenis kelamin yang berbeda dan melakukan hubungan intim. Suatu syarat yang membenarkan terhadap penyalah gunaan ini adalah syarat dimana seorang perawan mendapatkan izin dari ayahnya untuk melangsungkan hubungan pernikahan, termasuk mut’ah, kecuali jika si ayah menemukan seseorang yang sulit dalam hal itu. Lebih jauh, biasanya diperlukan suatu syarat pernikahan sehingga hubungan seks (bebas) tidak terjadi.
Mut’ah adalah jalan untuk menghindari dosa ketika pernikahan permanen tidaklah mungkin. Sekarang ini sebagian kaum muslim melakukan dosa sebelum pernikahan mereka dilangsungkan dengan pasangan pernikahan mereka. Islam menjelaskan bahwa saling menyentuh, memandang bagian-bagian tubuh orang lain yang harus ditutup, dan mengunjungi yang belum berpasangan diantara pria dan wanita adalah dosa, kecuali jika mereka sudah menikah atau punya hubungan (nasab) yang erat.
Pertunangan bukanlah pernikahan. Akan tetapi, pasangan-pasangan tersebut melibatkan diri mereka lebih jauh dalam perilaku ini (hubungan intim) yang semestinya terjadi dalam pernikahan. Alternatif logis untuk menghindari dosa adalah hanya dengan melangsungkan pernikahan mut’ah sebelum pernikahan permanen sehingga pasangan tersebut bisa memastikan bahwa mereka saling serasi.
Mut’ah acap disebut sebagai pernikahan demi kenikmatan dan disetarakan dengan prostitusi (pelacuran). Si pria menyerahkan kepada wanita mahar dan mereka saling menikmati dan kemudian melanjutkannya. Tetapi, sesungguhnya, mut’ah mungkin lebih sering terjadi tanpa adanya hubungan seks ketimbang dilakukan demi kepuasan seksual semata. Mut’ah –tidak seperti halnya pernikahan permanen- bisa memiliki syarat-syarat yang diajukan, termasuk (misalnya) syarat yang paling umum, yang berisikan pasangan tidak berhubungan seks. Jadi, tujuan pernikahan mut’ah adalah persahabatan dan mengenal lebih dalam orang lain dan bukan sekedar kesenangan seksual. Mut’ah berbeda dengan prostitusi. Karena didalam mut’ah ada suatu ikatan dihadapan Tuhan dan setiap anak yang lahir dari hubungan tersebut sah!
Ini semua merupakan pengertian dari kata perkawinan. Sebagaimana halnya pernikahan permanen, wanita mempunyai masa penantian (idah) setelah berakhirnya pernikahan sebelumnya dimana ia bisa mengambil pasangan lain. Seorang wanita tidak mungkin mampu mencari uang dari mut’ah karena secara hukum dia pasti memiliki pasangan kurang dari setengah lusin dalam setahun (yakni dengan memasukkan waktu idah di dalamnya)
Dengan cara ini, jelaslah mut’ah tidak sama dengan pelacuran. Pembayaran suatu mas kawin terjadi di dalam mut’ah, tapi tidak sama dengan pelacuran sebab pembayaran itu bukanlah untuk hubungan seks, tapi alih-alih demikian ia serupa dengan tujuan maaskawin yang diserahkan dalam perkawinan permanen. Lebih jauh, ia pun tidak sama dengan pelacuran sebab seorang lelaki tidak diharapkan untuk menikah seorang perempuan dengan melepaskan nilai-nilai akhlak dan terlarang untuk menikahi perempuan non muslim manapun dalam pernikahan fleksibel jika ia (pria) telah dinikahkan dengan seorang muslimah.
Watak sementara dari mut’ah dapat dilihat dari perkataan imam Ali as : “Ia (pernikahan mut’ah) diizinkan dan secara mutlak dibolehkan bagi seseorang yang tidak diberi Allahsarana perkawinan permanen, supaya ia bisa suci dengan pernikahan mut’ah” (Wasail, jld 14, hal 449-450)
Diambil dari buku terjemahan seeking the straight path; reflections of a new muslim karya Diane (masooma) beaty.
Ali bin abi Thalib dan nikah mut'ah
BalasHapusApa kata Ali tentang nikah mut’ah? Barangkali ada yang telah membacanya dari kitab-kitab sunni, ini hal biasa, tetapi kali ini kami nukilkan dari kitab syi’ah. Sebenarnya bagaimana hukum nikah mut’ah menurut Ali?
Ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan sanadnya dari :
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda:
"Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah"
Bagaimana perawinya? Kita lihat bersama dari literatur syiah sendiri:
Muhammad bin Yahya : dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946] : guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya]
Abu Ja’far , Tsiqah [terpercaya] lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At Taimi , haditsnya Shahih lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Husein bin Alwan, Tsiqah [terpercaya], lihat Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al Mufid min Mu’jam Rijalul Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, jelas tsiqah.
sumber : Ali bin abi Thalib dan nikah mut'ah
Assalaamu'alaykum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,
HapusSaudaraku Abu 'Aisyah,
Sudah beberapa tahun, semenjak Saudara menanyakan hal ini. Semoga jawaban saya sedikit memberi penjelasan.
1. Hadis yang saudara cantumkan mengandung rawi Amr bin Khalid yang tsiqah namun bukan Imami. Dia ini Zaidi. Jika ada rawi yang tsiqah namun bukan Imami meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah Imami, hadis tersebut tertolak. Ini sesuai dengan standar At Thusi sendiri (Al 'Uddah, hlm. 149).
2. Allammah al-Majlisi memandang hadis ini sebagai salah satu hadis rekaan Zaidiyah (Milaadh Al-Akhyaar, vol. 12, hlm. 32). Hadis yang sama dapat ditemukan pada Musnad Zayd bin Ali hlm. 304. Amr bj Khalid (alias Abu Khalid al-Waasit) meriwayatkannya dari Zayd.
3. Kebanyakan ahli rijal dari kalangan saudara menolak rawi inu dan menganggapnya penipu, di antaranya Ibnu Hanbal, Abu Dawud, An Nasai, dll.
Yang jelas, Rasul SAWW tidak akan melangkahi Kitabullah. Tidak ada satu ayatpun yang membatalkan mut'ah setelah halalnya dalam al Quran, sehingga halal hingga hari Qiyamat. Hadis di kalangan Anda pun mengakui bahwa mut'ah dipraktekkan di zaman Abu Bakar sehingga Umar melarangnya. Apakah Anda hendak mengatakan bahwa Abu Bakar membiarkan apa yang sudah dilarang oleh Rasulullah SAWW, jika benar mut'ah sudah dilarang?
Bagi kami, cukuplah Kitabullah dan begitu banyak hadis sahih dari para Imam kami yang menghalalkan mut'ah aebagai hujjah, ketimbang caci maki para pencela yang membawa dalil lemah.
Wassalaamu'alaykum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,
Abu 'Ali