Syiah dan Kerukunan Umat
(Artikel
ini ditulis sebagai klarifikasi atas artikel dan pandangan Adian
Husaini dan Bahtiar Nasir di Islamia-Insist di Republika)
*Haidar Bagir*
Meski
sebelumnya pun keadaannya sudah seperti api dalam sekam, peristiwa
Sampang telah menyalakan lagi wacana tentang sah-sesatnya mazhab
Syi’ah. Seperti sebelum-sebelumnya, umumnya wacana yang berkembang
didominasi oleh perdebatan dan saling tuduh yang simpang-siur. Tak
sedikit di antaranya mengambil bentuk debat-kusir. Yang lainnya
dipenuhi upaya-upaya mengajukan bukti-bukti yang selektif dan bias –
kutipan-kutipan yang dilepaskan dari konteks, pilihan-pilihan pendapat
yang ganjil (/syadz/) atau minoritas dari kalangan Syi’ah, malah tak
jarang cerita-cerita tanpa dasar yang cuma dikarang-karang belaka.
Tapi,
dalam keadaan-keadaan seperti ini, selalu saja ada suara-suara yang
proporsional dan tetap rekonsiliatori, bahkan di antara para pengkritik
keras Syi’ah. Yakni, betapa pun intinya mengecam apa yang dianggap
sebagai kekeliruan keagamaan dan sosial kaum Syi’ah, isinya bersifat
nasihat dan tujuannya adalah memelihara kedamaian di antara para
pengikut mazhab Ahlus-Sunnah dan Syi’ah.
Di
antara pandangan-pandangan seperti ini adalah pendapat yang
dikeluarkan oleh Ustadz Bachtiar Nasir dan para tokoh muda dari INSIST,
yang secara rutin menerbitkan jurnal Islamia, kedua-duanya di harian
Republika. Lepas dari kemungkinan perbedaan pandangan dan pendapat yang
mungkin timbul terhadap tulisan-tulisan yang disebutkan di atas, harus
diakui bahwa inti nasihat mereka kepada orang-orang yang mengaku
pengikut mazhab Syi’ah di Indonesia mengandung kebenaran-kebenaran dan
patut dijadikan renungan. Intinya adalah agar, setelah memahami bahwa
di antara kedua mazhab ada perbedaan-perbedaan pandangan yang sulit
atau bahkan tak bisa dipertemukan, para pengikut Syi’ah di Indonesia
tidak sekali-kali berupaya untuk melakukan dakwah Syi’ah di Indonesia.
Ustadz
Bachtiar, setelah menunjukkan perbedaan di antara kedua mazhab dan
mengingatkan kesalahan upaya dakwah Syi’ah, menyatakan : ”* …
bekerja-samalah pada hal-hal yang kita sepakati saja dalam hal
keduniaan tanpa harus mencederai dasar-dasar akidah yang kita yakini.
Juga menghormati wilayah dan etika sosial masing-masing, misalnya tidak
saling berhadap-hadapan dalam memengaruhi keyakinan, mencela, dan
menyesatkan. Apalagi, melakukan tindak kekerasan fisik atau terror
mental karena akan berujung pada perkelahian yang merugikan kedua belah
pihak.” (Republika, 5 Januari 2010).
Sementara
itu, Sdr. Adian Husaini menutup artikelnya di Jurnal Islamia
(Republika, Kamis, 19 Januari, hal. 23) dengan menyatakan : ”Jika kaum
Syi’ah mengakui bahwa kaum Sunni sebagai mazhab dalam Islam, seyogyanya
mereka mnghormati Indonesia sebagai negeri Islam Sunni. Hasrat
men-Syi’ahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan negeri
ini. ... Itulah jalan damai untuk Muslim Sunni dan kelompok Syi’ah.”
Penulis
artikel ini sepenuhnya setuju dengan pandangan-pandangan ini.
Sesungguhnya inilah jalan yang paling bijaksana. Penulis ingat, dalam
suatu pertemuan pribadi penulis dengan Syaikh Ali Taskhiri, seorang
ulama terkemuka Iran, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih Ayatullah
Ali Khamenei, serta wakil Dar al-Taqrib bayn al-Madzahib (Perkumpulan
Pendekatan antar-Madzhab), ia dengan tegas menyatakan agar hendaknya
kaum Syi’ah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk
men-Syi’ahkan kaum Muslim di Indonesia.
Lepas
dari persoalan di atas, penulis memiliki beberapa catatan yang perlu
ditambahkan. Meski dalam banyak hal kecaman terhadap pandangan Syi’ah
itu memiliki dasar-dasar, biasanya ada sedikitnya 3 kelemahan mendasar
dalam banyak argumentasi para pengecam Syi’ah.Pertama, generalisasi.
Sebagian besar argumentasi para pengecam Syi’ah menggunakan metode
memilih bahan-bahan tertentu atau pandangan-pandangan khas anasir
penulis dan ulama dari kalangan Syi’ah dan kemudian
menggeneralisasikannya atas pendapat kaum Syi’ah seluruhnya. Contoh
yang jelas adalah tuduhan yang diulang-ulang bahwa Syi’ah memiliki
al-Qur’an yang berbeda dengan kaum Sunni. Tak dapat dipungkiri bahwa
ada anasir ulama Syi’ah di berbagai zaman yang mempercayai dan
berargumentasi tentang hal ini. Tetapi, dengan mudah dapat dibuktikan
bahwa ini adalah pandangan yang tidak diterima secara luas di kalangan
Syi’ah. Jumhur ulama Syi’ah – dengan mengecualikan pandangan yang
ganjil (/syadz/) di antara mereka – sepakat bulat bahwa al-Qur’an
mushaf ’Utsmani yang ada sekarang ini lengkap dan sempurna. Pun, semua
orang yang mengenal para pemeluk Syi’ah dan pernah bepergian ke
berbagai negeri Syi’ah tahu bahwa al-Qur’an yang mereka baca 100 persen
sama kandungannya dengan yang kita baca.
Kedua, tidak terpeliharanya keseimbangan pandangan. Masih mengambil
contoh al-Qur’an, di dalam khazanah Sunnni bukannya tak ada bahan yang
mengandung pernyataan bahwa al-Qur’an yang kita baca ini sesungguhnya
tidak lengkap. Ambil saja beberapa hadis dalam beberapa kitab shahih
yang menyatakan hilangnya satu ayat yang hanya ada di simpanan Siti
A’isyah karena di makan kambing. Atau pernyataan Sayidina ’Umar
mengenai ayat tentang /rajam/ yang hilang dalam al-Qur’an yang kita
baca sekarang. Dan beberapa hadis lain. Juga bukan tak ada ulama besar
Sunni, termasuk ibn Hajar al-Asqallani, Ibn Hajar al-Haytami, Imam
Syafi’i, dan beberapa yang lainnya, yang menukil pandangan adanya
perubahan/ketidaklengkapan (/tahrif/) dalam al-Qur’an. Sudah tentu,
betapa pun hadis-hadis itu terdapat dalam shahih dan bahwa yang menukil
adalah para ulama besar, tak satupun orang di kalangan kaum Sunni yang
menerima pandangan ini. Cara berfikir yang sama tentunya perlu juga
dipertimbangkan jika kita membaca bahan-bahan sedemikian di kalangan
Syi’ah.
Sedang dalam tindakan mengecam
sahabat, para /mu’arrikh/ Sunni pun mencatat bahwa selama 80 tahun
kekuasaan Bani Umayah sampai masa Khalifah Umar bin ’Abdul-’Aziz,
Sayidina ’Ali bin Abi Thalib dikutuk di mimbar-mimbar Jum’at. Ini baru
berakhir ketika Khalifah Umar menghentikan praktik ini dan
memerintahkan agar para khatib membaca al-Qur’an surah 16 ayat 90
sebagai gantinya (dicatat antara lain oleh Ibn Atsir dari ulama lampau,
dan Abul-’A’la al-Maududi dari ulama modern). Tentu kenyataan ini sama
sekali tak dapat digeneralisasikan sedemikian untuk kemudian
menyatakan bahwa para pengikut mazhab ahlus- Sunnah adalah pengecam
Sayidina ’Ali.
Ketiga, kurangnya
perhatian pada perkembangan pandangan yang terjadi dalam mazhab apa
pun, dalam hal ini mazhab Syi’ah. Contohnya, adalah benar pernyataan
adanya kecenderungan dikalangan Syi’ah tertentu untuk mengecam
sahabat-sahabat Nabi saw., termasuk Sayidina Abubakar, Sayidina ’Umar,
dan Sayidina ’Utsman, serta sebagian isteri Nabi. Namun, sebelumnya
perlu ditegaskan bahwa Syi’ah Zaydiyah, meski menganggap Sayidina ’Ali
lebih utama (/afdhal/), menerima kekhalifahan serta menghormati ketiga
sahabat besar itu. Sementara itu, banyak ulama Syi’ah Imamiyah atau
Itsna ’Asyariyah yang telah merevisi pandangannya tentang ini. Hasil
konferensi Majma’ Ahl al-Bayt di
London tahun
1995, misalnya, dengan tegas menyatakan menerima keabsahan kekhalifahan
3 khalifah terdahulu sebelum Khalifah Ali.
Bahkan,
terkait dengan skandal pengutukan sahabat besar dan sebagian isteri
Nabi yang dilakukan oleh oknum Syi’ah yang tinggal di Inggris, bernama
Yasir al-Habib, Ayatullah Sayid ’Ali Khamene’i sendiri mengeluarkan
fatwa yang dengan tegas melarang penghinaan terhadap orang-orang yang
dihormati oleh para pemeluk Ahlus-Sunnah (fatwa ini tersebar dan dapat
dengan mudah diakses dari berbagai sumber). Di antara isinya adalah :
”Diharamkan menghina figur-figur/tokoh-tokoh (yang diagungkan)
saudara-saudara seagama kita, ahlus-Sunnah, termasuk tuduhan terhadap
istri nabi saw. dengan hal-hal yang mencederai kehormatan mereka, ...”
Akhirnya,
hendaknya para pemimpin umat dari berbagai kelompok dapat meneladani
sikap-sikap bijak para tokoh dan pemimpin yang mempromosikan cara
pandang yang proporsional terkait konflik-konflik antarmazhab Islam. Di
satu sisi, hendaknya kecaman terhadap sikap-sikap berlebihan dan
menyimpang dari suatu mazhab tidak menjadikan kita menggeneralisasi
keseluruhan mazhab atau kesemua pengikutnya. Kalau pun harus menyatakan
kesesatan, hendaknya hal itu dibatasi pada aspek-aspek tertentu yang
memang terbukti menyimpang sambil tetap memelihara obyektivitas,
wawasan yang luas dan kontekstual, serta mengikuti perkembangan
mutaakhir pemikiran dalam mazhab yang kita soroti. Khusus untuk
orang-orang yang pandangannya didengar oleh para pengikut Syi’ah di
negeri ini, hendaknya mereka meyakinkan para pengikutnya untuk dapat
membawa diri dengan sebaik-baiknya serta mengutamakan persaudaraan dan
toleransi terhadap saudara-saudaranya yang merupakan mayoritas di
negeri ini.
Distorsi Itikad Baik Merukunkan Umat, Bantahan Artikel Haidar Bagir
(Dimuat di Era Muslim Sabtu, 21/01/2012 15:11 WIB)
Oleh Fahmi Salim
Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Anggota Komisi Pengkajian MUI Pusat.
Di
tengah kondisi umat dan bangsa yang sarat dengan problem sosial dan
membutuhkan solusi konkrit, saya menyambut baik tulisan Sdr. Haidar
Bagir yang berjudul "Syiah dan Kerukunan Umat" yang dimuat harian
Republika (20/1/2012). Apalagi Bung Haidar, yang tentu saja telah
mencermati sikap dan reaksi para pengkritik Syiah sejak meletus kasus
Sampang akhir tahun lalu, dengan bijak menulis, "…harus diakui bahwa
inti nasihat mereka kepada para pengikut syiah di Indonesia mengandung
kebenaran-kebenaran dan patut jadi renungan. Intinya agar setelah
memahami bahwa antara kedua mazhab ada perbedaan-perbedaan pandangan
yang sulit atau bahkan tak bisa dipertemukan, para pengikut syiah di
Indonesia tidak sekali-kali berupaya untuk melakukan dakwah syiah di
Indonesia."
Selanjutnya ia mengutarakan
persetujuannya seraya mengutip pesan Ayatullah Ali Taskheri, salah satu
pembantu terdekat Wali Faqih Iran yang juga Ketua Majma' Al-`Alami li
At-Taqrib, yang tegas menyatakan bahwa, "hendaknya kaum syiah di
Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum muslim
di Indonesia."
Alangkah leganya saya,
dan juga mungkin kawan-kawan lain pengkritik Syiah, mendengar pernyataan
penting dari salah satu tokoh intelektual Syiah Indonesia yang luwes
bergaul dengan tokoh-tokoh muslim sunni lain dan cukup berpengaruh.
Apalagi sinyal pesan itu semakin kuat menggema di akhir artikel itu
berupa himbauan serius agar, "..orang-orang yang pandangannya didengar
oleh para pengikut syiah di negeri ini, hendaknya mereka meyakinkan para
pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan sebaik-baiknya serta
mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap saudara-saudaranya yang
merupakan mayoritas di negeri ini."
Paradoks
Tampak kesan itikad baik yang muncul untuk menciptakan kerukunan umat
di tengah konflik yang menganga antara muslim sunni dan syiah di negeri
ini. Namun harapan saya dan juga mungkin ribuan pembaca lain buyar
seketika ketika Bung Haidar membahas tiga kelemahan mendasar argumentasi
para pengecam syiah. Suasana dialog yang sudah baik itu justru
diperkeruh dan dikotori sendiri oleh penulisnya dengan cara mendistorsi
riwayat-riwayat ahlussunnah. Oleh sebab itu izinkan saya untuk menjawab
tuduhan itu satu persatu.
Pertama,
generalisasi tuduhan bahwa Syiah meyakini Al-Qur'an saat ini tidak
lengkap dan ada distorsi (tahrif). Bung Haidar memang tidak memungkiri
bahwa ada anasir ulama syiah di berbagai zaman yang mempercayai dan
berargumentasi soal ini. Namun ia berpandangan bahwa keyakinan tahrif
itu tidak diterima luas dan justru jumhur ulama syiah meyakini
sebaliknya, bahwa Al-Qur'an mushaf Usmani ini sudah lengkap dan
sempurna.
Jika memang benar demikian
adanya, mengapa Adnan Al-Bahrani, seorang tokoh syiah kontemporer, masih
menyatakan pendapat bahwa Al-Quran telah mengalami distorsi dan
perubahan yang dilakukan oleh orang-orang Islam (Ahlusunnah) adalah
konsensus dalam sekte syiah, dan pengetahuan yang pasti dalam mazhab
mereka. (lihat buku Mungkinkah Sunah-Syiah dalam Ukhuwah?!hlm.302)
Karena
sudah jadi hal yang aksiomatis, maka upaya untuk menutup-nutupi
keyakinan tersebut dengan cara taqiyah yang sering dilakukan syiah
kontemporer adalah sia-sia. Seorang ulama syiah terkemuka, An-Nuri
At-Thabarsi bahkan telah membahasnya tuntas soal tahrif itu dalam buku
yang tebal berjudul, Fashl Al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb
Al-Arbab. Di dalam buku itu, terhimpun lebih dari 200 riwayat yang
membenarkan distorsi dalam Al-Qur'an. Bahkan di bukunya itu Nuri
at-Thabarsi mengutip 40 nama ulama imamiyah yang meyakini doktrin tahrif
Al-Qur'an itu. Jadi mana yang bisa kita percaya, Haidar Bagir atau Nuri
at-Thabarsi?
Selain Nuri Thabarsi, ada
sederet nama-nama pemuka syiah dari berbagai periode sejarah yang juga
tegas menyatakan terjadinya tahrif. Setidaknya itulah hasil penelitian
yang dilakukan Prof. Ahmad Sa'ad Al-Ghamidi (Maktabah Syamilah ed.2) .
Ia menjelaskan bahwa pernyataan adanya tahrif itu diungkapkan oleh lebih
dari 30 ulama imamiyah seperti: Fadhl ibn Syadzan an-Naisaburi (w.260
H) di kitab Al-Idhah hlm.112-114, Furat ibn Ibrahim Al-Kufi (ulama abad
ke-3 H) di kitab Tafsirnya vol.1/18, Al-`Ayasyi dalam Tafsirnya
vol.1/12-13 dan 47-48, Abu Al-Qasim Ali ibn Ahmad Al-Kufi (w. 352 H)
dalam kitab Al-Istighotsah min Bida' Al-Tsalatsah vol.1/51-53, Muhammad
ibn Ibrahim An-Nu'mani di kitab Al-Ghaibah, Abu Abdillah Muhammad ibn
an-Nu'man Al-Mufid (w. 413) di kitab Awa'il Al-Maqalat, Abu Manshur
Ahmad ibn Ali At-Thabrisi dalam kitab Al-Ihtijaj vol.1/240, 245, 249,
Abu Al-Hasan Ali ibn Isa Al-Irbili (w. 692) dalam Kasyfu Al-Ghummah fi
Ma'rifat Al-Aimmah vol.1/319, Al-Faidh Al-Kasyani (w. 1091) dalam Tafsir
As-Shofi vol.1/24-25 dan 32-33, Muhammad ibn Hasan Al-Hur Al-Amili (w.
1104) di kitab Wasa'il As- vol.18/145, Hasyim ibn Sulaiman Al-Bahrani
(w. 1107) dalam Tafsir Al-Burhan vol.4/151-152, Muhammad Baqir
Al-Majlisi (w. 1111) dalam Bihar Al-Anwar dan Mir'atu Al-Uqul
vol.12/525, Ni'matullah Al-Musawi Al-Jazairi (w. 1112) di kitab Al-Anwar
An-Nu'maniyah vol.2/360-364, Yusuf ibn Ahmad Al-Bahrani (w. 1186) di
kitab Al-Durar An-Najfiyyah hlm.294-296.
Lebih
dari fakta itu semua, jika merujuk kitab Al-Kafi (ditulis oleh Abu
Ja'far Al-Kulaini w. 329) yang diakui sebagai kitab hadits induk yang
paling sahih dengan riwayat mutawatir dan disusun pada masa Ghaybah
Shugro dari Imam yang ke-12 yaitu Al-Mahdi, dapat kita jumpai keyakinan
adanya tahrif dengan nada bahwa tak ada yang mengumpulkan dan menghafal
Qur'an persis seperti yang diwahyukan oleh Allah kecuali Ali bin Abi
Thalib dan imam-imam setelahnya (vol.1/228), atau para imam yang
mendapat wasiat, dan jumlah ayatnya adalah 17.000 ayat (vol.2/634) yang
turut hilang dibawa Imam ke-12 Al-Mahdi dan baru akan hadir lagi saat
beliau kembali dari ghaybah-nya.
Patut
disayangkan, saat Bung Haidar mengatakan jumhur ulama syiah sepakat
bulat bahwa Al-Qur'an mushaf usmani yang ada sekarang ini lengkap dan
sempurna, ia tidak menyebutkan sumber-sumber primer dalam dakwaannya
itu. Itulah agaknya tren perspektif baru tentang syiah yang ingin
mengesankan bahwa sunni – syiah sepakat tidak adanya ajaran tahrif
terhadap Al-Qur'an yang ada sekarang. Namun data-data yang kami
kemukakan agaknya bertolak belakang dengan pernyataan beliau.
Kedua, baru saja Bung Haidar ingin mengesankan bahwa sunni-syiah
sepakat tidak ada tahrif dalam Al-Qur'an, justru di poin kedua kelemahan
mendasar argumentasi pengecam syiah yaitu tidak terpeliharanya
keseimbangan pandangan, ia memperkeruh suasana dengan mendistorsi
riwayat-riwayat ahlusunnah, yang mengesankan adanya tahrif. Ia menyindir
bahwa hal itu juga terdapat di kitab sahih dan hadis sahih yang diakui
ahlusunnah.
Memang tertera dalam Sunan
Ibnu Majah, dari Muhammad ibn Ishaq dari Abdullah ibn Abi Bakr dari
`Amrah dari `Aisyah, dan dari Abdurrahman ibn Al-Qasim dari ayahnya dari
Aisyah berkata, telah turun ayat tentang rajam dan radha'ah (menyusui)
orang dewasa dengan 10 kali susuan, sungguh dahulu tertulis di dalam
lembaran di bawah tempat tidurku, dan saat Rasulullah saw wafat kami
sibuk mengurusi jenazahnya sehingga masuk Dajin (hewan peliharaan
seperti kambing atau ayam) dan memakan lembaran ayat itu. Hadits itu
munkar dan tidak sahih, meski diriwayatkan oleh Ibnu Majah, seperti
diterangkan oleh para pakar hadis. Ada illat yang merusak sanadnya yaitu
pada salah satu rawinya Muhammad ibn Ishaq, ia dinilai mudhtharib
(kacau hadisnya) karena menyelisihi dan menyalahi riwayat para rawi lain
yang lebih tsiqoh (terpercaya). Ibnu Majah sendiri ketika meriwayatkan
hadis ini dari Muhammad ibn Ishaq menukil dua sanad yang berbeda dari
dia. Sedangkan perawi lain yang lebih tsiqoh seperti Imam Malik dalam
Al-Muwattha' (vol.2/608) dari Abdullah ibn Abi Bakr dari `Amrah dari
Aisyah, dan Imam Muslim (no.1452) dari Yahya ibn Sa'id dari `Amrah dari
`Aisyah, keduanya dengan redaksi "Al-Qur'an telah turun dengan ayat
susuan 10 kali agar jadi mahram lalu dinasakh kemudian turun lagi ayat
susuan 5 kali susuan yang sudah pasti hukumnya dan ayat-ayat itu kami
baca dahulu kala sebagai Qur'an", dan tak ada kata-kata `pelecehan'
bahwa lembaran ayat itu dimakan Dajin (kambing atau ayam). Oleh sebab
itulah Imam Az-Zaila'I menilai dalam takhrij hadis dan atsar bahwa,
penambahan redaksi ayat rajam dan radha'ah yang ada di bawah kasur
aisyah lalu dimakan kambing itu adalah rekayasa dan manipulasi perbuatan
kaum mulhid (ateis) dan rafidhah (syiah).
Hal
lain yang disinggung adalah bahwa kutukan dan kecaman atas sahabat Nabi
bukan khas syiah, namun sunni juga diindikasi melakukan hal yang sama
pada era Bani Umayyah berkuasa. Perlu diketahui bahwa asal muasal berita
yang mengatakan bahwa kebijakan Bani Umayyah mencela Imam Ali ibn Abi
Thalib di mimbar-mimbar jumat dan baru dihilangkan itu oleh `Umar ibn
Abdul Aziz, bersumber dari Ibnu Sa'ad dalam kitab Thabaqat, yang ia
riwayatkan dari Ali ibn Muhammad al-Madaini dari gurunya Luth ibn Yahya.
Berita semacam ini tidak benar dan sudah diteliti oleh Dr. Ali Muhammad
Shallabi dalam bukunya Al-Khalifah Al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz. Sebab
hampir semua pakar dan imam hadis ahlisunnah menilai Ali Al-Madaini dan
Luth ibn Yahya sebagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa
meriwayatkan dari orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal
(majhul). Selain tinjauan ilmu riwayat hadis, Shallabi juga menganalisis
bahwa tidak benar pula fakta puluhan tahun Imam `Ali dikutuk Bani
Umayyah, sementara kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan daulah
Umayyah tidak pernah menceritakan adanya fakta sejarah itu. Kisah itu
baru ditulis oleh para ahli sejarah mutakhir dalam kitab-kitab yang
disusun pada era Bani Abbasiyah. Dengan motif politis untuk
menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat. Shallabi juga yakin
bahwa kisah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab karya
Al-Mas'udi (Syi'i) dan penulis syiah lainnya hingga kisah fiktif itu
ikut tersusupi ke dalam kitab tarikh ahlisunnah yang ditulis belakangan
seperti Ibnul Atsir dalamAl-Kamil fi Tarikh yang disebut Sdr. Haidar,
namun tidak ada sandaran satupun riwayat yang sahih. (Shallabi: 107)
Ketiga,
soal perkembangan pandangan yang terjadi dalam mazhab syiah. Jika benar
Konferensi Majma' Ahl Al-Baytdi London 1995 tegas menyatakan menerima
keabsahan kekhalifahan tiga khalifah terdahulu sebelum Imam Ali,
demikian pula fatwa Rahbar Iran Sy. Ali Khamenei yang melarang
penghinaan terhadap orang-orang yang dihormati oleh para pemeluk ahlus
sunnah seperti ditulis Bung Haidar. Maka kami menunggu dengan sangat
kapan otoritas marja' taklid Syiah di Iran dan juga Indonesia untuk
membenahi, membantah dan meluruskan semua buku-buku referensi syiah
klasik dan kontemporer yang terbit dalam berbagai bahasa dunia, terutama
yang diajarkan di hauzah-hauzah ilmiah Iran, yang lalu diajarkan kepada
pengikutnya dan dipropagandakan di tengah komunitas muslim sunni
Indonesia.
Buku-buku dan tulisan itu,
yang sebagian isinya telah dibeberkan oleh Sdr. Adian Husaini di Jurnal
Islamia, harus ditarik, direvisi, lalu dicetak ulang sehingga bersih
dari kecaman dan hinaan kepada para sahabat nabi dan istri-istri beliau
yang mulia. Jika hal itu bisa dan benar-benar terwujud, maka
persaudaraan dan toleransi hakiki yang diharapkan Bung Haidar muncul
dari para pengikut syiah di Indonesia pasti terwujud dan itu artinya
tidak perlu lagi pengikut syiah menampilkan status kesyiahannya, sebab
mereka sudah sama seratus persen dengan ahlusunnah wal jamaah di negeri
ini.
Wallahu a'lam.
Distorsi dalam Artikel Fahmi Salim
(Artikel ini ditulis sebagai bantahan atas artikel Fahmi Salim di Era Muslim).
Oleh : Muhammad Anis (bukan anggota MUI)
Setelah
membaca tanggapan Bung Fahmi Salim di Eramuslim, saya melihat meskipun
ia mengkritik tulisan Bung Haidar Bagir di Republika, namun ia
menyampaikannya dengan cukup santun. Tetapi, saat berbicara tentang
Syiah, tampak sekali bahwa ia terlalu “pede” dengan hanya bermodalkan
kutipan-kutipan dari satu atau dua buku bacaan.
Tulisannya tersebut menggambarkan betapa tidak mengertinya ia tentang
mazhab Syiah. Pun menunjukkan betapa sempit dan terkungkungnya
pengetahuannya hanya pada pandangan kelompoknya sendiri, dan kurangnya
kemauannya untuk belajar tentang pandangan mazhab lain secara
proporsional. Sebagaimana kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi,
Untuk berbicara, orang harus lebih dahulu mendengar. Maka, belajarlah berbicara dengan mendengar.”
Karenanya,
sebelum berkomentar dan menilai mazhab Syiah, semestinyalah ia belajar
atau minimal mendengar terlebih dahulu dengan baik tentang mazhab ini
dari sumbernya secara adil. Karena, sebagaimana kata Ibn Hajar
al-Haitsami, “Mazhab kami benar, tetapi mengandung kekeliruan. Mazhab
selain kami keliru, tetapi mengandung kebenaran.”
Tahrif Al-Qur’an
Isu
tahrif (distorsi) Al-Qur’an selalu dituduhkan kepada Syiah, meskipun
masalah tahrif ini telah dibantah oleh para ulama Syiah di setiap masa
dan generasi sejak ratusan tahun yang lalu.
Mengenai
pernyataan Adnan al-Bahrani yang dikutip Bung Fahmi, semakin
memperlihatkan kepedeannya dengan hanya membaca buku kutipan. Padahal,
kalau ia mau, buku ini dengan mudah bisa diperoleh di internet. Buku
Adnan tersebut berjudul asli “Masyariq asy-Syamus ad-Duriyah fi Ahaqiyah
Madzhab al-Akhbariyah”. Di dalamnya, Adnan mengatakan bahwa persoalan
tahrif tersebut merupakan “konsensus firqah al-muhiqah dan sesuatu yang
asasi dalam mazhab mereka” (hal. 126). Sayangnya, kata “firqah
al-muhiqah” kemudian diartikan sebagai Syiah secara umum. Padahal, jelas
maksud Adnan hanya sebagian, yaitu merujuk kepada kaum Syiah
Akhbariyah, sebagaimana yang tertera gamblang dalam judul bukunya.
Selain itu, pada halaman berikutnya, Adnan mengatakan bahwa ulama-ulama
Syiah seperti al-Murtadha, ash-Shaduq, dan sebagainya menentang isu
tahrif tersebut. Ini menunjukkan bahwa Adnan tidak memaksudkan
pernyataannya itu untuk Syiah secara umum.
Mengenai
an-Nuri dalam kitabnya “Fashlul Khitab” itu, lagi-lagi Bung Fahmi
kepedean dengan hanya mengutip tulisan Ahmad Sa’ad Al-Ghamidi. Berikut
saya kutipkan pernyataan murid an-Nuri, Syaikh Agha Buzurg Tahrani, yang
menuturkan bahwa an-Nuri berkata, “Saya telah keliru memberi judul buku
tersebut. Semestinya saya beri judul: Fashlul Khitab fi Adami Tahrif
al-Kitab. Karena, dalam buku ini saya telah membuktikan bahwa Al-Quran
adalah wahyu Ilahi yang tidak mengandung tahrif, baik penambahan maupun
pengurangan, sejak dia dikumpulkan hingga sekarang. Sedangkan kumpulan
pertama Al-Quran sampai kepada kita dengan tingkat kemutawatiran yang
meyakinkan. Saya telah lalai untuk menjelaskan dengan tegas di banyak
tempat dalam kitab tersebut, sehingga banyak kritik dan celaan yang
ditujukan kepada saya. Bahkan, karena kelalaian tersebut, penegasannya
menjadi sebaliknya. Saya hanya memberi isyarat tentang tujuan saya yang
sebenarnya pada halaman 22. Sebab, yang penting adalah keyakinan bahwa
tidak ada ayat lain selain yang terdapat dalam Al-Quran di tangan
kita….” [Syaikh Rasul Ja’fariyan, “Ukdzubah Tahrif al-Qur’an Baina
asy-Syiah wa as-Sunnah”, hal. 137]
Mengenai
riwayat-riwayat lainnya, sebagian mesti dipahami sebagai tahrif maknawi
(distorsi kontekstual), bukan tahrif lughawi (distorsi tekstual). Hal
ini tampak pada riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir, “Di antara ulah
mereka yang suka membuang Al-Qur’an adalah membiarkan huruf-hurufnya,
tetapi mengubah hukum-hukumnya…” [Al-Kulaini, “Al-Kafi”, jil. 8, hal.
53]
Namun demikian, bila ada riwayat yang
mengindikasikan tahrif lughawi, maka hal ini telah dibantah oleh jumhur
ulama Syiah. Sayid Muhsin al-Amin mengatakan tentang tahrif yang
dinisbatkan pada Syiah, “Itu adalah bohong dan dusta. Para ulama Syiah
dan para muhadis mereka menyatakan yang sebaliknya.” [Sayid Muhsin
al-Amin, “A’yan asy-Syi’ah”, jil. 1, hal. 46 dan 51]
Bahkan
hal ini ditegaskan pula oleh seorang ulama besar Ahlusunah, Rahmatullah
al-Hindi, “Sesungguhnya Al-Qur’an al-Majid, di kalangan jumhur Syiah
Imamiyah Itsna Asyariyah, adalah terjaga dari perubahan dan pergantian.
Apabila ada di antara mereka yang mengatakan adanya tahrif pada
Al-Qur’an, maka yang demikian itu telah mereka tolak dan tidak mereka
terima.” [Rahmatullah al-Hindi, “Izh-harul Haq”, jil. 2, hal. 128]
Saya
senang mendengar bahwa isu tahrif di kalangan Ahlusunah, seperti
riwayat Ibnu Majah tersebut, telah dibantah oleh Bung Fahmi. Untuk itu,
saya juga menunggu argumen bantahan lanjutan untuk riwayat-riwayat
Ahlusunah berikut:
1. Khudzaifah berkata, “Pada
masa Nabi, Saya pernah membaca Surat Al-Ahzab. Tujuh puluh ayat darinya
saya sudah agak lupa bunyinya, namun saya tidak mendapatinya di dalam
Al-Qur’an yang ada saat ini.” [Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jil. 5, hal.
180]
2. Ibn Mas’ud telah membuang surat
Mu’awidzatain (an-Nas dan al-Falaq) dari mushafnya dan mengatakan bahwa
keduanya tidak termasuk ayat Al-Qur’an. [Al-Haitsami, “Majma’
az-Zawa’id”, jil. 7, hal 149; Suyuthi, “Al-Itqan”, jil. 1, hal. 79]
3.
Umar bin Khattab berkata, “Apabila bukan karena orang-orang akan
mengatakan bahwa Umar menambah ayat ke dalam Kitabullah, maka akan aku
tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.” [Shahih Bukhari, bab Syahadah
‘Indal Hakim Fi Wilayatil Qadha; Suyuthi, “Al-Itqan”, jil. 2, hal. 25
dan 26; Asy-Syaukani, “Nailul Authar”, jil. 5, hal. 105; “Tafsir Ibnu
Katsir”, jil. 3, hal. 260]
Laknat Bani
Umayah Terhadap Ali bin Abi Thalib Sekali lagi, Bung Fahmi terlalu pede
dengan hanya mengutip tulisan Shallabi. Mengenai Al-Madaini yang kata
Shallabi dinilai tak bisa dipercaya oleh hampir semua pakar dan imam
hadis Ahlusunah, adz-Dzahabi dalam kitabnya “Siyar A’lami Nubala” justru
berkata sebaliknya, “Ia memiliki pengetahuan yang menakjubkan tentang
sejarah, peperangan, nasab, dan peristiwa-peristiwa di tanah Arab. Ia
jujur (shadiq) dalam menyampaikannya. Ia seorang alim dalam isu seputar
penaklukan (futuh), peperangan (maghazi), dan syair. Ia seorang yang
jujur (shadiq) dalam hal itu.” Saya rasa Bung Fahmi tentu tahu bahwa
Adz-Dzahabi adalah salah seorang imam rijal hadis Ahlusunah kenamaan.
Namun demikian, saya juga ingin menambahkan riwayat tentang pelaknatan
Ali tersebut dari sumber-sumber yang lain, di antaranya:
1.
Suyuthi berkata, “Pada zaman Bani Umayyah terdapat lebih dari tujuh
puluh ribu mimbar untuk melaknat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang
telah ditetapkan Muawiyah.” [Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, “Syarh Nahjul
Balaghah”, jil. 1, hal. 356].
2. Ibn Abdu Rabbih
berkata, “Ketika Muawiyah melaknat Ali dalam khutbahnya di Masjid
Madinah, Ummu Salamah segera menyurati Muawiyah, ‘Sungguh engkau telah
melaknat Ali bin Abi Thalib. Padahal, aku bersaksi, Allah dan Rasul-Nya
mencintainya.’ Namun, Muawiyah tidak peduli dengan kata-kata Ummu
Salamah itu.” [Ibn Abdu Rabbih, “Al-‘Iqdu al-Farid”, jil. 2, hal. 301
dan jil. 3, hal. 127].
3. Yaqut al-Hamawi
berkata, “Atas perintah Muawiyah, Ali dilaknat selama masa kekuasaan
Bani Umayyah dari Timur hingga Barat, di mimbar-mimbar masjid.” [Yaqut
al-Hamawi, “Mu’jam al-Buldan”, jil. 1, hal. 191]
Sebagai
penutup, saya ingin mengatakan kepada Bung Fahmi bahwa persatuan itu
bukan dibentuk dengan cara memaksa untuk sama. Ini namanya hegemoni dan
sewenang-wenang. Persatuan dan persaudaraan hanya bisa terwujud melalui
sikap toleran terhadap perbedaan. Selain itu, negeri ini juga bukan
negara agama, sehingga tidak semestinya diklaim sebagai milik mazhab
tertentu. Wallahu a’lam.
kerukunan macammana yang anda maksud, kalau anda menginginkan kerukunan antar mazhab tentuya anda harus menghargai mazhab lain dengan tidak menyebarkan faham anda kepada para awam dari mazhab lain.. itu satu, atau kerukunan yang anda maksud seperti yang terjadi di irak (mengundang pihak amerika agar membombardir sunni, membunuh pria, wanita dan anak-anak supaya dapat kekuasaan?) di afghanistan (membentuk pakatan dengan india, iran, amerika, nato, aliansi utara untuk membunuh sunni taliban wanita dan anak-anak mereka?) atau seperti yang sekarang terjadi di suriah (kerjasama penuh hizbullah. shafiah, rezim asad, iran, rusia).. dan bangsatnya lagi kekuasaan keluarga asad rupanya diberikan oleh penjajah inggris ujadi anda harus berpikir syiah nousiriah itu antek siapa, atau seperti libanon yang menembaki ulama sunni..atau yang sekarang terjadi di yaman dimana kelompok anda mengepung para santri disana? jangan lupa ada 100 an santri indonesia disana beberapa diantaranya telah syahid, anda cuma menjual konsep kerukunan sebagai pisau untuk menusuk muslimin dari belakang, anda cuma menjual konsep kerukunan agar anda dapat menyebarkan paham anda, anda menjual kerukunan untuk mengumpulkan jumlah pengikut yang ketika telah banyak akan mengintimidasi para muslimin pengikut sunnah nabi, ahlul bait dan sahabatnta seperti yang erjadi di jember baru-baru ini.. pihak anda melakukan taqiah, itu sama saja dengan menganggap sunni adalah musuh anda
BalasHapus1. para pengikut Ahlulbayt tak pernah memaksakan ajarannya kepada orang lain. terserah mereka, hendak menerima atau tidak. kita tak akan memaksa. jika memang mereka merasa kami benar, silahkan ikuti. jika tidak, silahkan tinggalkan.
Hapus2. di irak, warga syiah juga dibantai. di pakistan, afghanistan dan di Bahrain, ratusan pengikut syiah juga dibantai ? oleh siapa ?? orang syiah sendiri ??
3. warga syiah di Sampang Madura, diusir dari kampung mereka sendiri, ponpes mereka dibakar, siapa yg mesti kita salahkan ??
4. Taqiyah hanya boleh dilakukan jika nyawa, harta, martabat org2 syiah terancam. taqiyah tak bisa sembarangan..
Anda berhak menilai kami sesuka anda..
terima kasih sudah berkomentar. :)
penanganan demo di bahrain msh dlm prosedur standar, sehingga korban minim jgn samakan dg pembantaian suriah. serangan dipakistan thd agama syiah disebabkan setiap asyura amal utama mrk adalah menghujat dan mencaci maki shabat2 rasul, gak beda dg sampang bung, sitajul dlm pengajiannya sering menyindir dan mencela sahabat Rasul. dan takiya kpn saja boleh dilakukan (hanya untuk menipu umat islam, bkn yahudi/nasrani) baca lagi buku agama ente.
BalasHapusAnda berbicara seolah-olah Anda sudah membaca tuntas seluruh karya ulama syiah.
HapusApakah Anda pernah membaca buku Antologi Islam ?
Apakah Anda pernah membaca buku Mazhab Syiah Ayatullah Muhammad Musawi ?
Jika Anda sudah membaca dua kitab ini saja, Anda bisa membuktikan bahwa klaim Anda ttg Syiah suka mencela sahabat, dan suka bertaqiyah itu salah.
mengenai Bahrain, apakah pembakaran Masjid itu masih dlm prosedur standar ?
Al-Kissy di kalangan syiah adalah orang yang paling berilmu dan paling terpercaya dalam masalah perawi hadits dan selainnya, meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq radhiallahu anhu bahwa beliau berkata (padahal tidak mungkin beliau mengatakan hal ini):
Hapusلَمّا ماتَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم, اِرْتَدَّ الصَّحابَةُ كُلُّهُمْ إلاَّ أَرْبَعَةَ: اَلْمِقْدادُ, وَحُذَيْفَةَ, وَسَلْمانُ, وَأبُوْ ذَرٍّ رضي الله عنهم. فَقِيْلَ لَهُ: كَيْفَ حالُ عَمّارِ بْنِ ياسِرٍ؟ قالَ: حاصَ حَيْصَةً ثُمَّ رَجَعَ
“Tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, semua sahabat murtad kecuali empat orang: Al-Miqdad, Hudzaifah, Salman, dan Abu Dzar radhiallahu anhum. Maka ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana dengan keadaan Ammar bin Yasir?” Beliau menjawab, “Awalnya dia berada dalam kebingungan, kemudian dia rujuk.”
bgm ke ilmuan ayatol musawi dibanding keilmuan alkissy menurut syiah ? ( pastinya kedua duanya tolol krn percaya imam khayal yg lahir dak jelas lalu dikabarkan lenyap ??? )
Rasul saw pernah menghancurkan dan membakar mesjid kaum munafik di madinah, munafik yg tdk mau sholat bersama beliau di mesjid yg Beliau Rasul Saw memerintahkan Abubakar menjadi imam saat Beliau sakit dan stelah wafat nya (tidak boleh orang lain bahkan Ali pun tdk boleh)...apalagi mesjid tempat mencela para sahabat hukumnya wajib dihancurkan.
Haditsnya meragukan, semua orang syiah kalo bershalawat mengucapkan shallallahu alaihi wa alih wasallam, bukan shallallahu alaihi wasallam. copas dari mana nie ?
Hapusmenurut Sayyid Ali Khamenei, wali faqih syiah, mencela sahabat hukumnya haram !
ops..