Ali Asghor Yang Digendong Imam Husain as |
Jepara, Jum’at petang, 10-12-10
KARBALA. Tempat
yang hanya dapat dijelaskan dengan kengerian, kedukaan, jeritan,
tangisan dan kemuliaan serta persahabatan kemudian cinta. Andai kata,
aliran sungai Eufrat dapat berkata, tentu hanya kalimat tangisanlah yang
keluar dari lidahnya. Andai kata, debu-debu Nainawa itu sanggup berlari
tanpa tiupan angin, pasti Karbala tak sebegitu ngerinya.
Betapa agung pengorbanan cucunda Nabi di dataran itu. Hingga kematian hilangkan detak jantungnya, sang cucunda itu masih saja kehausan. Padahal, dia dapat melihat dengan sangat jelas aliran sungai Eufrat begitu mengkristal, melambai-lambai, ‘mari hilangkan dahagamu’.
Betapa agung pengorbanan cucunda Nabi di dataran itu. Hingga kematian hilangkan detak jantungnya, sang cucunda itu masih saja kehausan. Padahal, dia dapat melihat dengan sangat jelas aliran sungai Eufrat begitu mengkristal, melambai-lambai, ‘mari hilangkan dahagamu’.
Tiada yang sanggup menjelaskan, bagaimana jeritan langit ketika Karbala
berubah menjadi altar pembantaian manusia ilahi. Seorang penyair hanya
bisa menerka, hanya menerka tidak lebih, alangkah berdukanya bumi ketika
Karbala, bagian dirinya, menyaksikan kepala sang Ksatria Langit
tertancap tombak manusia terlaknat.
Ketika Karbala hanya bisa membisu menyaksikan keluarga sang jawara
meronta-ronta menyaksikan perlakuan keji binatang buas bertubuh manusia,
bidadari-bidadari nan cantik nun jauh di langit sana tengah menjerit,
merintih, menangis sejadi-jadinya. Menyaksikan itu tiada satu malaikat
pun yang tidak merasakan kepedihan para bidadari-bidadari surgawi.
Kepakan sayap malaikat membahana, menyelimuti tujuh lapis langit. Itulah
hari yang takkan pernah dilupakan penghuni langit.
Sedangkan, jauh di bumi sana, di tepi sungai Eufrat, para iblis tengah
bersorak-sorak, riang gembira menyaksikan perlakuan umat Muhammad kepada
cucunya. ‘selamat, selamat hai para terlaknat. Kalian akan bersamaku
didalam neraka. Kita akan kekal di sana’
Hampir saja malaikat mengamuk, ingin mengobrak-abrik Karbala. Hampir
saja, dunia mencatat adzab yang tiada pernah dialami manusia dahulu
akan turun menghantam Karbala. Hampir saja, langit meruntuhkan dirinya,
tak sanggup ia harus menyaksikan mega tragedi paling berdarah sepanjang
sejarah. Hampir saja, bumi ini memecahkan dirinya. Andaikan, peristiwa
ini terjadi karena selain kehandak Allah, tentu tiada satupun dari para
musuh yang mampu menendang-nendang kepala suci cucunda Nabi.
اَلسَّلامُ عَلى الحُسَيْنِ وَعَلى عَلِيِّ بْنِ الحُسَيْنِ وَعلى اَوْلادِ الحُسَيْنِ وَعلى اَصْحابِ الحُسَيْنِ
Farazdaq Khaza'i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar