![]() |
Greg Mortenson, Pahlawan yang Saya Maksud |
Saya pernah membaca
sebuah novel berjudul ‘Three Cups of Tea’. Sebuah novel memoar yang
mengabadikan usaha Greg Mortenson membangun sekolah-sekolah di daerah terpencil
di sekitar Pakistan Utara. Novel ini memulai kisahnya ketika Greg Morteson
gagal menaklukkan puncak gunung tertinggi kedua, K2. K2 terletak di Pakistan
Utara. Ketika ia menyusuri jalan pulang, ia tersesat masuk ke sebuah desa yang
bahkan tak pernah ia lihat dalam peta sebelumnya, Korphe. Di sana ia
diperlakukan dengan sangat istimewa, meski ia seorang ‘kafir angrezi’(orang
kulit putih asing ).
Keramahan orang-orang
Korphe meninggalkan kesan yang sangat mendalam dalam diri Greg. Ia bertekad
untuk balas budi. Apa yang dapat ia lakukan? Setelah melihat bagaimana
anak-anak Korphe yang miskin bersekolah dengan berlutut di atas tanah yang membeku
tanpa guru, ia berjanji pada haji Ali, kepala desa Korphe, “aku akan membangun
sekolah. Aku berjanji.”
Maka dimulailah kisah
pemenuhan janji itu. Selama satu dekade 1993-2003, pahlawan pendidikan ini
telah membangun tak kurang dari lima puluh satu sekolah, terutama untuk
anak-anak perempuan, di sekitar Pakistan Utara. Tentu banyak halangan yang
harus dilalui Greg; dari masalah dana, ancaman-ancaman dari para mullah hinga
madrasah-madrasah wahabi. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin memfokuskan
perhatian kita pada pandangan Greg Mortenson tentang wahabi. Kenapa?
Karena dalam novel memoar tentang misi kemanusiaannya itu, Greg Mortenson meluangkan waktu untuk membahas tentang wahabi. Aneh bukan? Kenapa dia mau menulis panjang dan lebar, bahkan sampai mengutip sana-sini, tentang ajaran yang menurutnya konservatif dan fundamentalis itu? Apa yang ingin ia sampaikan? Siapapun yang pernah membaca novelnya, tentu akan mengerti betapa Greg Mortenson, seorang pahlawan bagi anak-anak muslim Pakistan Utara, sangat mengkhawatirkan pergerakan wahabi.
Karena dalam novel memoar tentang misi kemanusiaannya itu, Greg Mortenson meluangkan waktu untuk membahas tentang wahabi. Aneh bukan? Kenapa dia mau menulis panjang dan lebar, bahkan sampai mengutip sana-sini, tentang ajaran yang menurutnya konservatif dan fundamentalis itu? Apa yang ingin ia sampaikan? Siapapun yang pernah membaca novelnya, tentu akan mengerti betapa Greg Mortenson, seorang pahlawan bagi anak-anak muslim Pakistan Utara, sangat mengkhawatirkan pergerakan wahabi.
Madrasah Wahabi, ‘Sarang Lebah’
Di bab 19 yang berjudul,
‘Sebuah Desa Bernama New York’, halaman 451-547, Greg Mortenson menulis
upaya-upaya wahabi yang membuat dia gelisah sepanjang tahun 2001. Mari kita
lihat kata Mortenson tentang besarnya skala rencana wahabi yang mendapatkan
dana ‘tak terbatas’dari syekh-syekh Kuwait dan Saudi, “aku tahu bahwa selama
bertahun-tahun kaum Wahabi dari Saudi membangun masjid-masjid di sepanjang
perbatasan Afghanistan,” ujar Mortenson. “Tetapi musim semi itu, musim semi 2001,
aku tercengang melihat semua gedung baru yang mereka bangun, tepat di sini, di
jantung Baltistan yang Syiah. Untuk pertama kalinya aku mengerti besarnya skala
rencana yang tengah mereka jalankan dan itu membuatku takut.”[i]
Selanjutnya, Greg
Mortenson menjelaskan apa itu wahabisme. Ia menjelaskan bahwa wahabisme adalah
cabang konservatif dan fundamentalis dari Islam Sunni[ii].
Menurut saya, wahabi
tidak bisa dikatakan sebagai cabang dari sunni, bagaimanapun wahabi memiliki
aqidah-aqidah yang berbeda dengan sunni. Namun satu hal yang harus
digaris-bawahi adalah bahwa Wahabi, menurut Greg Mortenson, memiliki dana tak
terbatas yang diselundupkan para kaki-tangan wahabi ke Pakistan, baik dalam
koper maupun melalui sistem transfer yang tak dapat dilacak, hawala. Dana
ini ditujukan pada inkubator ekstremisme religius paling berbahaya di
Pakistan-madrasah-madrasah Wahabi.[iii]
Pada halaman-halaman
selanjutnya, Greg Mortenson menjelaskan bagaimana wahabi menyebar-luaskan
doktrin kekerasannya dengan modal uang. Simak saja penuturan Mortenson berikut
ini:
Sistem pendidikan
Pakistan yang lemah membuat berkembangnya doktrin Wahabi ini sekedar masalah
ekonomi saja. Sebagian kecil anak-anak orang kaya Pakistan bersekolah di
sekolah swasta elite yang mahal, warisan sistem kolonial Inggris. Namun,
seperti yang sudah diketahui Mortenson, sebagian besar rakyat negeri itu nyaris
tak terlayani oleh sekolah-sekolah negeri Pakistan yang pendanaannya sama
sekali tak layak. Target dari sistem madrasah ini adalah siswa miskin yang
gagal dirangkul oleh sistem publik. Dengan menawarkan sekolah dan asrama
gratis, membangun sekolah di wilayah tempat tak ada sekolah lain berdiri,
madrasah-madrasah ini menyediakan satu-satunya kesempatan bagi jutaan orang tua
Pakistan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.[iv]
Selanjutnya, Mortenson
membebarkan bahwa murid-murid yang bersekolah di madrasah wahabi ini dididik
dengan kurikulum yang menekankan jihad serta kebencian terhadap orang Barat
dengan mengorbankan materi-materi seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, dan sastra. 15-20 persen
siswa madrasah juga menerima latihan militer!
Lebih lanjut, Mortenson
mengutip perkataan seorang wartawan yang berbasis di Lahore, Ahmed Rashid dalam
buku best-sellernya Taliban, “Murid-murid madrasah ini adalah
mereka yang tak memiliki akar dan gelisah, pengangguran serta secara ekonomi
kekurangan, dan sangat sedikit atau bahkan sama sekali tak memiliki pengetahuan
umum.” “Mereka menyukai perang karena perang adalah satu-satunya lapangan
pekerjaan yang sesuai untuk mereka. Kepercayaan mereka yang sederhana terhadap
suatu bentuk islam puritan dan fanatik dijejalkan pada mereka oleh
mullah-mullah desa sederhana adalah satu-satunya keyakinan yang dapat mereka
pegang dan memberi sedikit makna dalam hidup mereka.”[v]
Kesimpulannya adalah
yang membuat Greg Mortenson, seorang yang sangat memerhatikan nasib anak-anak
muslim di Pakistan dan Afghanistan, ketakutan adalah upaya wahabi dalam
menyebarkan ajaran fanatiknya. Mortenson tahu betul, madrasah wahabi merupakan ‘sarang
lebah’ yang dapat merusak generasi islam, karena alih-alih mengajarkan
ilmu-ilmu pengetahuan yang penting bagi anak-anak, mereka malah mengajarkan
kebencian yang menurut Mortenson, tak dibetulkan dalam islam. Madrasah Wahabi
sangat lihai dalam memilih murid. Dengan dana tak terbatasnya, mereka melakukan
indoktrinisasi kepada pemuda-pemuda miskin yang kehilangan semangat hidup.
Dengan cara ini, mereka memiliki pengikut yang rela-mati karena merasa
berhutang segalanya pada madrasah mereka. Ala kulli hal, dia mengakhiri
penjelasannya tentang wahabi sebagai berikut:
Memikirkan siasat
kaum wahabi membuat kepalaku pusing." Kata Mortenson. "Ini bukan
sekedar beberapa syaikh Arab yang keluar dari penerbangan Gulf Air seraya
membawa koper-koper penuh uang. Mereka membawa siswa madrasah yang palimg
pandai kembali ke Arab Saudi dan Kuwait untuk diindoktrinisasi selama satu dekade, lalu mendorong mereka agar menikahi empat orang
wanita sepulangnya ke Pakistan, dan berkembang biak seperti kelinci.
“Istilah ‘sarang lebah’ yang diberikan Apo pada madrasah wahabi memang
tepat. Mereka memproduksi generasi demi generasi murid yang telah dicuci otak
dan berpikir dua puluh, empat puluh, bahkan enam puluh tahun ke depan, ke waktu
saat bala tentara ekstremis mereka akan cukup banyak untuk memenuhi Pakistan
dan seluruh dunia islam.”
Di awal September 2001, menara merah darah dari sebuah masjid dan kompleks
madrasah Wahabi yang baru dibangun menjulang dari balik tembok tinggi di
jantung Skardu, seakan menguatkan kegelisahan yang dirasakan Mortenson
sepanjang musim panas. [vi]
Alangkah baiknya sebelum mengakhiri penjelasan pandangan Mortenson tentang
Wahabi, kita simak kata-katanya berikut, “Aku tidak ingin memberi kesan bahwa
semua Wahabi itu buruk. Banyak sekolah dan masjid mereka yang melakukan
pekerjaan mulia, menolong masyarakat miskin Pakistan. Tetapi sebagian dari
sekolah itu tampaknya didirikan hanya untuk mengajarkan jihad yang militan. ”
Note: Tulisan ini hanya untuk latihan menulis semata.
Farazdaq Khaza’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar