Ayatullah M Muthahhari |
Al-Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, lahir pada tanggal 2 februari 1920/1338 Hijriyah Qamariyah di Fariman, dekat Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum Muslim Syi’ah yang besar di Iran Timur. Ayahnya, Muhammad Husein Muthahhari, adalah ulama cukup terkemuka.[1]
Pada usia 12 tahun, muthahhari mulai belajar agama secara formal di Masyhad, yang kemudian menumbuhkan kecintaannya pada filsafat, teologi, dan tasawuf (‘irfan). Kecintaan ini berada pada dirinya sepanjang hidupnya dan membentuk pandangan menyeluruhnya tentang agama. Figur di Masyhad yang mendapat curahan perhatian terbesar Muthahhari adalah Mirza Mahdi Syahidi Razavi, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, ketika Muthahhari belum cukup umur untuk ikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada tahun berikutnya, sebagian karena alasan ini, untuk belajar di lembaga pengajaran di Qum yang diminati oleh kian banyak siswa.[2]
Di Qum Muthahhari belajar di bawah bimbingan dua ayatullah: Borojerdi dan Khomeini. Selagi menjadi mahasiswa, Muthahhari menunjukkan minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Gurunya yang utama dalam filsafat adalah Allamah Thabathabai. Ia mengenal secara mendalam segala aliran filsafat sejak Aristoteles sampai Sartre. Ia membaca 11 jilid tebal Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat, dan buku-buku lainnya yang ditulis oleh Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund Freud, Bertrand Russel, Albert Eisntein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat. Tetapi, berbeda dengan sebagian cendekiawan pesantren yang mempelajari Barat karena rasa rendah diri –lalu bersuara lantang mengutip pakar-pakar Barat dan malu-malu menyebut pemikir-pemikir Islam –Muthahhari tampil dengan suara Islam yang fasih. Pada 1934, dalam usia 36 tahun, ia mengajar logika, filsafat, dan fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang diasuhnya: kuliah fiqh, kuliah Al-Ushul, kuliah Ilmu Kalam, kuliah Al-Irfan (Tasawuf), kuliah logika, dan kuliah Filsafat.
Otaknya yang cemerlang dan ilmunya yang luas dapat memberikan kehidupan yang nyaman baginya. Tetapi, ia memilih badai daripada damai. Ia banyak menulis dan aktif berdakwah. Khutbahnya di Radio Teheran masih terdengar sampai 1382 H. tulisan-tulisannya sampai kini masih dibaca orang tanpa kehilangan aktualitas. Ia temasuk arsitek Revolusi Islam di Iran. Jika Ali Syari’ati dapat disebut wakil intelektual yang ulama, Muthahhari adalah wakil ulama yang intelektual.[3]
Muthahhari berjuang bukan sekadar lewat pena dan lidahnya. Ia juga memberikan segala yang dimilikinya. Pada 1963, ia ditahan bersama Ayatullah Khomeini. Ketika Khomeini dibuang ke Turki, ia mengambil alih imamah dan menggerakkan para ulama mujahidin. Bersama ulama lainnya, ia mendirikan Husainiya-yi Irsyad sebagai markas kebangkitan intelektual Islam. Ia turut pula menghimpun dana buat para pengungsi Palestina. Sebagai ulama, ia pun menjadi imam Masjid Al-Jawad dan mengubah masjid itu menjadi pusat gerakan politik Islam.
Pada 1972 Husyainiya-yi Irsyad dan Masjid Al-Jawab dilarang secara politik oleh rezim Syah dan Muthahhari kembali lagi masuk penjara. Kemudian ia bebas lagi. Pengalaman penjara tidak mengubah langkahnya. Ia melanjutkan kegiatan-kegiatan politiknya. Pada 1978, ketika Muthahhari mengecam pembuangan Ayatullah Muntazerri, rezim Syah melarang semua kuliah dan khutbahnya.[4]
Di samping itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya “Jam’iyah Ulama Militan” (Jami’ayi Ruhaniyat-i Mubariz). Sedemikian banyaknya peran aktif yang dilakukan dalam mendukung gerakan revolusi membuat dirinya juga sangat dekat dengan Imam Khomeini. Setelah Imam pindah ke tempat pembuangannya di Paris, Muthahhari temasuk di antara kelompok ulama yang ikut dan berkonsultasi. Pada 12 Januari 1979 Muthahhari diangkat sebagai ketua Dewan Revolusi Islam yang anggotanya antara lain Bazargab, Yazdi, Qotbzadeh, Behesyti, Bahonar, dan Rafsanjani.
Asy-syahid |
Pada tanggal 1 Mei 1979 aktivitasnya dalam mendukung dan mengembangkan Revolusi dihentikan secara brutal oleh kelompok Furqan. Dia dibunuh setelah memimpin rapat Dewan Revolusi Islam di rumah DR. Yadullah Sahabi. Sebuah peluru bersarang tepat mengenainya kepalanya dan tembus di atas kelopak matanya. Meskipun ketika syahid dia adalah ketua Dewan Revolusi Islam, namun dirinya tidak dapat dipisahkan dengan dunia pemikiran dan tulisan.[5]
Kehidupan Muthahhari diabdikan untuk perjuangan politik dan perjuangan ideologis,[6] dalam hal perjuangan ideologis ia menulis tentang masalah-masalah filsafat, sosial, akhlak, fiqh, dan sejarah. Muthahhari adalah salah seorang tokoh yang mampu memformulasikan konsep al-Qur’an dalam paradigma yang jelas terutama yang berkaitan dengan filsafat sejarah. Pemikirannya berkenaan dengan filsafat sejarah (philosophy of history) banyak ditujukan untuk mengkritik filsafat materialisme.
Muthahhari sendiri mulai menaruh minat kepada filsafat materialis, khususnya Marxisme, tak lama setelah mempelajari secara resmi ilmu-ilmu rasional. Menurut hematnya, ia mulai, pada sekitar 1946, mempelajari terjemahan-terjemahan Persia literatur Marxis yang diterbitkan oleh partai Tudeh, organisasi Marxis besar di Iran dan ketika itu merupakan suatu kekuatan penting di arena politik. Selain itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritisi utama partai Tudeh, maupun penerbitan-penerbitan Marxis dalam bahasan Arab yang berasal dari Mesir. Mulanya ia agak sulit memahami teks-teks ini, sebab ia belum mengenal terminologi filsafat modern. Dengan terus-menerus berupaya keras termasuk dengan menyusun sinopsis buku Elementary Principles of Philosophy karya George Pulitzer –akhirnya ia menguasai filsafat materialis. Sejumlah besar penolakan terhadap Marxisme telah dieseikan di dunia Islam, baik di Iran maupun di lain tempat, namun hampir semuanya tak lebih berkisar pada ketidaksesuaian Marxisme dengan keyakinan keagamaan serta ketidakkonsistenan dengan kegagalan politis parta-partai politik Marxis.[7]
[1] Murtadha Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme. Penerjemah Akmal Kamil (Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001), h. 9
[2] Ibid., h. 9
[3] Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar,” Muthahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama, dalam Murtadha Muthahhari, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama (Bandung: Mizan 2007), h. 13
[4] Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar,” Muthahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama, dalam Murtadha Muthahhari, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama., h. 14
[5] Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme, h. 10-11
[6] Perjuangan ideologis yang dilakukan Muthahhari adalah upaya untuk menyikapi problema yang dihadapi masyarakat pada era beliau hidup, beliau memiliki perjuangan ideologis jangka pendek dan jangka panjang. Perjuangan jangka pendek beliau lakukan untuk melawan kebijakan-kebijakan elit politik Iran yang mencoba untuk melemahkan semangat keislaman masyarakat Iran, serta melawan pemikiran-pemikiran yang dinilai berbahaya bagi moralitas umat Islam. Sedangkan perjuangan ideologis jangka panjang didorong oleh empat faktor yaitu: pertama, gerakan meniru Barat, kedua, gerakan meniru Timur, ketiga, Marxisme, Keempat, kebutuhan akan pengenalan pengetahuan Islam. Lihat Hamid Algar, Aktivitas-Aktivitas Ideologis Muthahhari, dalam Haidar Bagir (Penyunting), Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid (Bandung: Yayasan Muthahhari 1988) h. 56-58
[7] Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtadha Muthahhari, dalam Haidar Bagir (Penyunting), Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid (Bandung: Yayasan Muthahhari 1988), h. 32-33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar