Sayyid Ali Khamenei dan Sayyid Ruhullah Musawi |
Wilayatul faqih adalah niyabah (pemegang wewenang sementara) Imam
Mahdi afs dalam memimpin umat islam dan menegakkan hukum Allah swt yang
merupakan mandat dari beliau afs. Wilayatul faqih merupakan pancaran cahaya, sinaran
inti bintang dan ranting dari dahan pohon suci beliau afs.
Al-wilayah, perlindungan
Harus diketahui bahwa agama
menetapkan wilayah (otoritas atau kekuasaan untuk mengatur, memerintah dan
melarang) sebagian orang atas sebagian yang lain adalah untuk menjaga orang
yang berada didalam naungan wilayah tersebut. Misalnya, wilayah (perwalian)
seorang ayah atas anaknya yang masih kecil, perwalian seorang ayah dalam
menikahkan anak gadisnya dst. Wilayatul faqih berfungsi menjaga kepentingan
umum dan melindungi masyarakat dari penyimpangan, kerusakan dll. Wilayah
terikat untuk menjaga kepentingan orang yang berada di naungan perwalian, sang
wakil tidak berhak mengatur berdasarkan hawa nafsu, kepentingan dan hasrat
pribadinya.
Argumentasi pertama
Wilayatul faqih pada masa kegaiban imam Mahdi afs didukung beberapa
argumen berikut ini :
Argumen rasional
yang tersusun dari pendahuluan berikut.
Akal menghukumi bahwa harus ada undang-undang bagi masyarakat
manusia ini. Hal ini dikarenakan manusia yang merupakan makhluk sosial
membutuhkan undang-undang untuk mengatur hubungan sosial serta berbagai urusan
hidupnya agar tidak terjadi pertikaian, benturan, dan kedzaliman di antara
manusia.
Undang-undang tersebut mustahil terlaksana sendirinya. Harus ada
sosok pelaku yang dapat menjamin pelaksanaan, penegakan serta penerapannya
secara sempurna. Hal ini senada dengan ucapan Imam Ali as ketika beliau
menjawab slogan khawarij ‘tiada hukum kecuali hukum Allah’ beliau as berkata
‘kalimat itu benar. Namun ditujukan untuk kebatilan. Benar, tidak ada hukum
kecuali hukum Allah. Akan tetapi mereka hendak mengatakan ‘tidak ada
pemerintahan kecuali pemerintahan Allah’ padahal pada hakikatnya manusia harus
memiliki pemimpin...’ (Nahjul Balaghah, khutbah ke 40)
Berpegang pada pendahuluan di atas, dapat kita katakan bahwa
undang-undang yang paling tepat untuk diterapkan terhadap manusia adalah undang-undang
ilahi yang disampaikan Nabi Muhammad saww. undang-undang inilah yang
tersempurna, terlengkap, yang meliputi segenap hudud (batas-batas agama) dan ahkam
(hukum-hukum) yang terkandung di dalamnya. Juga, dapat kita katakan bahwa
seorang penegak hukum yang mengemban misi dan tanggung jawab untuk melaksanakan dan menerapkan
undang-undang harus memiliki sifat-sifat :
¬. Al-ilmu at-tam (berpengetahuan lengkap)
tentang undang-undang. Dalam artian, dia haruslah seorang faqih (pakar ilmu
islam) yang benar-benar mengamalkan
ilmunya.
¬. Al-hasanah al-akhlaqiyyah (keterjagaan
secara moral). Syarat wajib tegaknya undang-undang ilahiah adalah sang penegak hukum
haruslah berada di kondisi tertinggi dari sifat al-‘adalah (keadilan), al-wara’
(keterjauhan dari dosa, maksiat ataupun syubhat) dan at-taqwa (ketakwaan). Ini disebabkan karena undang-undang ilahiah
merupakan amanat teragung yang mesti dijalankan secara sempurna.
¬. Al-kaafah al-idariyyah (berkemampuan
mengatur). Mengemban tanggung jawab ini menuntut banyak keahlian serta
pengalaman manajerial, sosial, politik,
dst yang sangat berperan penting bagi tercapainya tujuan undang-undang
secara sempurna.
Jika Allah telah menetapkan
seseorang untuk menegakkan pemerintahan dan menunjuknya untuk mengemban
tanggung jawab ini, maka setiap manusia wajib mematuhi perintahnya serta
merujuk kepadanya. Allah swt tidak menitipkan tanggung jawab dan amanat besar
ini kecuali pada orang yang berjiwa suci, berakal sempurna dan berniat tulus.
Lalu, Dia membebankan amanat kepadanya dan menjaganya dengan wahyu. Sebagaimana
para nabi dan rasul serta para imam as. Allah telah memerintahkan umat manusia
untuk mematuhi, berpegang teguh dan berwilayah kepada mereka (menjadikan mereka
pemimpin).
Namun, sebagaimana yang kita
tahu, imam Mahdi afs mengalami kegaiban. Jika kita berpendapat bahwa tak ada nash yang menjelaskan para imam suci
telah menetapkan seseorang sebagai pemegang amanat kepemimpinannya (wakilnya),
maka akan terdapat tiga kemungkinan sebagai berikut :
a.
Imam membiarkan manusia hidup tanpa wali (pemimpin) dan
penegak hukum . hal ini mustahil terwujud. Karena ini bertentangan dengan
prinsip dakwah para nabi dan juga dengan pendahuluan diatas. Tidak ada akal
yang dapat menerima kemungkinan ini.
b.
Imam membuka peluang bagi
siapapun untuk mengendalikan pemerintahan sementara tanpa mempertimbangkan al-faqahah (pengetahuan mendalam) dan al-‘adalah (sifat adil) serta tanpa
syarat apapun. Kemungkinan ini juga harus ditolak. Karena jika seorang wali itu
tidak memahami islam secra mendalam, tidak memiliki sifat adil, maka keinginan
Allah dalam kehidupan manusia, penerapan hukum ilahi, penegakan batas-batasnya
dan terbangunnya pilar keadilan tidak mungkin terjadi.
c.
Imam mendelegasikan kekuasaan
pada seorang faqih yang memahami syariat beserta hukum dan batasan-batasannya,
bersikap adil, taqwa, wara’, benar-benar menghayati perintah Allah dan mampu
menegakkannya, sangat ahli dalam berpolitik dst. Kemungkinan ini yang justru
menjadi kriteria pemimpin yang diharapkan. Dan hanya kemungkinan ini yang dapat
diterima.
Argumentasi
kedua
Bisa dikatakan, kemutlakan
seluruh argumen dan nash yang di dalamnya terdapat hukum-hukum yang terkait dengan
system umum, al-hudud, al-qadha’ (keputusan yuridis), jihad dsb
menunjukkan bahwa syariat mengharuskan adanya wilayatul amr (otoritas memimpin) di setiap masa. Jika tidak
demikian, maka syariat hanya terbatas pada masa hidup imam ma’shum. Akibatnya,
syariat mesti ‘diliburkan’ pada masa kegaiban imam. Padahal, kita berkeyakinan
bahwa tidak boleh ada hukum ilahi yang dikesampingkan atau diliburkan.
Di sisi lain, penguasa tiran
yang jahat tidak mungkin menghantarkan manusia pada tujuan tersebut. Sebab, terdapat
larangan untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin dan ketidak-bolehan
memberikan dukungan kepada mereka. Imam Husain as meriwayatkan bahwa Rasulullah
saww bersabda ‘‘barangsiapa melihat penguasa jahat menghalalkan apa yang
diharamkan Allah, melanggar perintah Allah, menentang sunnah Rasulullah saww
dan memperlakukan hamba-hamba Allah dengan cara-cara dosa dan permusuhan,
kemudia tidak berupaya merubah kondisi itu dengan pernyataan dan tindakan, maka
Allah layak memasukkannya ke dalam neraka.’’
Ini saja, sebenarnya,
sudah cukup membuktikan wilayatul faqih (otoritas kepemimpinan seorang faqih).
Argumen-argumen kewajiban amr ma’ruf dan nahi munkar juga memberikan bukti
nyata mesti adanya wilayatul faqih. Ya, kebaikan apakah yang lebih bernilai
dari menegakkan syariat dan batasan-batasan agama, menjaga hak, darah dan
kehormatan, serta mengibarkan panji islam dengan penuh kemuliaan? Hal-hal di atas
merupakan buah dari tegaknya pemerintahan islam dan wilayatul faqih. Untuk
menutup pembahasan ini, kami sebutkan sebuah nash yang merupakan argumen
pendukung dan kemestian wilayatul faqih di masa keghaiban.
Surat Ishaq bin Ya’qub yang
menuturkan sebagai berikut. Saya meminta Muhammad bin Utsman al-amri (wakil
khusus Imam Mahdi afs) agar mengantarkan surat saya yang berisi pertanyaan
mengenai beberapa persolan. Kemudian, saya mendapat surat balasan bertanda
tangan imam Mahdi-jiwa kita rela berkorban demi debu yang menempel di kaki
beliau- yang menyatakan, ‘...adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada kaum muslim, maka kembalikanlah kepada para periwayat hadits kami. Karena
sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah
atas mereka.’ (Kamaluddin, hal
484)
Dari segi argumentasi, riwayat ini sangat jelas. Sebab, yang
dimaksud dengan ‘peristiwa-peristiwa yang terjadi’ adalah peristiwa yang
biasanya orang-orang mengacu pada pemimpin dan pembesar mereka, dan yang mereka
lakukan itu bukan sekedar untuk mengetahui hukum-hukum fiqih saja. Inilah yang
telah berlaku umum di kalangan mereka. Sementara, yang dimaksud dengan ‘para
perawi hadits’ bukanlah sekedar orang yang meriwayatkan sabda dan riwayat,
namun juga fuqaha, yaitu orang-orang ynag meriwayatkan hadits, menerapkannya,
dan menyimpulkan hukum darinya. Pernyataan imam Mahdi afs, ‘karena sesungguhnya
mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah,’ menunjukkan
kesamaan argumentasi. Sebagaimana diketahui, keberadaan, hidup dan perbuatan
imam ma’shum merupakan hujjah. Merekalah hujjah-hujjah Allah bagi umat manusia.
Dari pembahasan ini, kita bisa pahami bahwa wilayatul faqih adalah
sebuah konsep yang memang harus diterapkan oleh mereka yang ingin selalu berada
dalam wilayah Allah, Nabi-Nya, dan para washi Nabi-Nya.
‘yang paling berhak di antara semua manusia untuk
urusan ini (kepemimpinan) adalah yang mampu di antara mereka untuk menegakkannya
dan paling mengetahui perintah-perintah Allah tentang itu.’ (Imam Ali bin Abi Thalib as
dalam Nahjul Balaghah, khutbah ke 173.)
Jpr,sabtu
siang, 12-02-11
Farazdaq Khaza'i
Farazdaq Khaza'i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar