Bhinneka Tunggal Ika |
Kalau berbicara dan membahas
kepemimpinan di Indonesia, maka harus melihatnya dalam perspektif dan
konteks negara yang berasas Pancasila, bukan dalam konteks dan
perspektif teologi atau konsep kepemimpinan dalam pandangan keagamaan.
Karena agama Islam bukan mayoritas mutlak dan dasar negara bukan
Islam, kecuali ditetapkan melalui referendum sebagaimana di Iran, maka
pengguanaan agama tertentu dengan keragaman penafsrian sektarian di
dalamnya, hanya akan menciptakan kekacauan.
Islam bisa dijadikan dasar negara bila ditetapkan melalui referendum
atau diperjuangkan melalui proses legislasi atau kompilasi seperti hukum
perkawinan. Itu pun setelah memperjelas agama Islam versi pemahaman
kelompok tertentu yang disepakati sebagai satu-satunya pandangan yang
diterima dalam proses itu.
Transformasi Ideologis
Pandangan ini memang secara tidak langsung mengkonfirmasi pemisahan
agama dan negara. Tapi nampaknya dalam masayaarakat yang heterogen, itu
bisa dianggap opsi yang cukup logis, dalam batas tertentu. Kontradiksi
dalam logika adalah pertemuan afirmasi dan negasi dalam satu subjek.
Bagi saya Bila negara yang didirikan diatas azas yang tidak bisa
dianggap sebagai pandangan yang mewakili satu agama, maka kepemimpinan
di dalamnya harus dilihat dalam perspektif asas tersebut.
Pengunaan perspektif agama atau pandangan kemazhaban sebagai dasar
perspektif hanya akan mengantarkan negara ini ke dalam tirani atas nama
agama atau mazhab. Libanon, adalah contoh yang paling mirip dengan
Indonesia, meski tidak sama persis.
Libanon yang secara konsitusional dibangun atas sistem pembagian
kekuasaan berdasarkan etnik dan agama juga sekte, adalah negara yang
tidak mungkin bisa diarahkan menjadi negara yang berasas satu agama
apalagi mazhab.
Hizbullah, sebagaimana disebutkan dalam tesis Musa Kazhim, yang
semula mengusung jargon Wilayah Faqih dan menginginkan penerapan sistem
Islam di Libanon selatan, harus realistis dengan mentransformasi
ideologi atau strategi ideologisnya menjadi salah satu elemen dan
gerakan politik yang menafsirkan Wilayatul Faqih dalam konteks kehidupan
masayaarakat Libanon yang plural.
Hizbullah pun tidak lagi mengangkat jargon negara Islam, namun
nasionalisme yang koheren dengan hak setiap komunitas melaksanakan
keyakinannya dengan asas konstitusi.
Gagasan ini bukan sekedar lontaran hipotesa, tapi bisa dianggap
sebagai pandangan yang diharapkan mampu meminimalisasi opini “di luar
sana” yang berusaha mengkaitkan Syiah dengan gerakan politik
transnasional.
Supremasi Konstitusi dan Pancasila
Indonesia adalah produk sebuah kontrak sosial yang disahkan
berdasarkan prinsip kebhinekaan dan kesatuan, yaitu kebhinekaan agama,
suku, budaya, aliran, bahasa, daerah dan lainnya; dan kesatuan sebagai
sebuah bangsa dan negara.
Nasionalisme adalah paradigma yang mempertemukan semua elemen yang
berbeda dalam sebuah tenunan yang indah dan luas. Indonesia adalah karya
tenun yang dipersembahkan oleh para bijakawan, pahlawan, dan agamawan.
Ia bukan lahir dari mitos dan folklor, namun lahir dari rasionalitas dan
spiritualitas yang prima.
Pancasila memang bukan agama. Namun ia adalah sebuah gagasan yang
menerjemahkan agama dalam sebuah platform yang menjadi bingkai sebuah
bangsa yang bersepakat hidup bersama dalam satu institusi negara.
Pancasila telah dirancang dan ditetapkan dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan sserta menghitung segala asumsi dan konsekuensi. Ia
bukan hanya konsep yang dicetuskan berdasarkan konsensus namun juga
diilhami oleh sentra-sentra spiritualitas yang sakral dan abadi.
Pancasila adalah aksioma yang memadukan karifan horisontal insani dan
kekudusan vertikal rabbani. Karena itu, ketuhanan, yang merupakan
puncak dan tujuan semua prilaku baik dan pengabidan, menempati posisi
pertama di dalamnya. Tanpa sila pertama ini, prinsip-prinsip lain pada
urutan setelahnya menjadi kehilangan pijakan dan tujuan.
Instusionalisasi Ekstremisme
Kini Pancasila sedang diuji kesaktiannya. Kebhinekaan sedang
menghadapi gangguan yang cukup serius. Konflik-konflik menjadi berita
harian mulai dari konflik dan tawuranantar pelajar, antar pendukung klub
sepakbola, antar penduduk desa dan kampung, antar massa pendukung calon
bupati, antar suku hingga konflik antar elite kekuasaan.
Individualisme, tribalisme dan rasisme seiring dengan menyebarnya
kapitalisme dan liberalisme agnostik mulai tumbuh bagai benalu yang
perlahan-lahan menggerus sendi-sendi nasionalisme dan kabangsaan.
Di tengah kemelut dan kebingungan mencari jalan keluar, tiba-tiba
bangsa yang sedang berjuang untuk bertahan ini diganggu dengan
ekstremisme dan paham-paham yang secara nyata menentang kebhinekaan yang
merupakan salah satu pilar utama bangsa dan negara ini.
Ekstremisme adalah akibat yang tak terelakkan dari melelehnya
nasionalisme dan memudarnya kesadaran akan nilai dan arti kebhinekaan.
Karena bukan merupakan gagasan logis dan metodis, ekstremisme tak selalu
tampil dalam satu pola atau gerakan dan modus. Ia kadang muncul sebagai
sebuah sikap personal, namun kadang pula muncul sebagai pilihan
komunal. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang menyimpan
kepentingan dan tendesi negatif, kadang pula diyakini secara naïf
sebagai kesalehan dan kualitas keberimanan.
Ekstremisme biasanya mudah diterima terutama oleh individu-individu
yang tak waspada dan memahami dampak serta efeknya. Ia mudah diterima
karena cenderung meliburkan logika dan memakzulkan segala pertimbangan
dan aturan, termasuk hak indvidu-individu yang tidak menerimanya.
Dari sinilah, ekstremitas berpeluang mengalami ekspansi makna.
Ekstremitas keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan
gaya hidup.
Ekstremisme sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam
penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstermis, perbedaan muncul
karena penyimpangan dari doktrin yang benar. Berbeda dalam memahami dan
mengamalkan agama dianggap sebagai upaya menghancurkan dan menodai
doktrin agama.
Sejurus dengan itu, individu yang meyakini atau memilih doktrin yang
berbeda dengan doktrin yang diyakini secara ekstrem sebagai kebenaran
yang utuh dan mutlak, dianggap sebagai musuh, bahaya, ancaman dan
perusak.
Ekstermisme berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang
terus merangsangnya menutupi kelemahan dalam sikap dengan cara yang
ekstrem pula. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar terus
mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dan nilai-nilai yang dianut di
luar lingkarannya.
Pluralitas dan realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang
dianutnya akan membuat pengiman eksitremisme gamang dan mencoba untuk
mengukur kebenaran doktrin yang dianutnya. Karena itu, sebelum
menggoyahkan doktrin yang telah dianut secar ekstrem, ia harus
membasminya dengan harapan perbedaan yang ada di hadapannya tidak lagi
memancing pertanyaan tentang kebenaran doktrinnya.
Tak ayal lagi, diperlukan sebuah doktrin yang mampu memantapkan
ekstremitas sikapnya sekaligus menjadi pembius kesadaran inetektualnya.
Doktrin pemantap ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup
semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya.
Dengan dasar doktrin itu, ia diharapkan menjadi tenang dan mencerabut
naluri keingintahuan. Tidak hanya itu, ia bahkan bisa menambah poin
kesalehannya bila menerapkannya secara ekstrem. Dengan doktrin ini,
kekerasan bisa terlihat sebagai kesalehan, penindasan menjadi cara
meraih pahala, pembunuhan, penjarahan, dan semua tindakan yang menurut
standar di luar doktrin itu adalah kebiadaban, bisa dipastikan sebagai
jalan pintas meraih kerelaan Tuhan.
Doktrin itu bukan undang-undang negara, bukan pula aksioma rasional,
tapi dikemas dalam sebuah frase yang kudus. Fatwa sebutannya.
Ia terlanjur dipahami sebagai teks yang dating dari langit. Para
pembuatnya juga sudah dianggap sebagai “tuhan-tuhan bertulang” yang
tidak layak dipertanyakan apalagi ditentang.
Dalam sekejap, pendapat yang dikemas dengan kata “fatwa” bisa
menimbulkan sebuah atau beberapa peristiwa. Ia sangat efektif untuk
menciptakan sebuah aksi dan mengubah manusia yang lugu dan santun
menjadi beringas dan sadis. Dengan satu kata “fatwa”, rumah-rumah bisa
rata dengan bumi, anak-anak menggigil menangis tercekam takut dan
wanita-wanita menejerit takut kehilangan kehormatan.
Hanya karena yang menerbitkan fatwa itu adalah orang-orang yang entah
bagaimana prosesnya dianggap duplikat-duplikat Nabi, tiba-tiba parang,
clurit dan semua sarana pemusnahan dihunus dan ditari-tarikan dalam
sebuah even kolosal pembantaian. Alasan peragaan seni kebencian itu
cukup satu: “berbeda”!
“Berbeda” ditafsirkan secara ekstrem sebagai sinonim “sesat”. Sesat
terlanjur direduksi sebagai “kehilangan hak menghirup udara”, manusia
maupun ternaknya, rumah maupun ladang tembakaunya.
Oleh Ustadz Muhsin Labib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar