الحب |
Seorang
laki-laki dari penduduk Yamamah datang ke Madinah dan memeluk islam.
Keislamannya pun bagus. Maksudnya, dia mempelajari ilmu-ilmu keislaman dan juga
terdidik dengan pendidikan islam. Nama laki-laki ini adalah Juwaibar. Juwaibar
adalah seorang laki-laki yang bertubuh pendek, buruk rupa, berkulit hitam, dan
miskin. Oleh karena dia tidak mempunyai seorang kerabat pun di Madinah, maka
pada malam hari dia tidur di masjid.
Juwaibar adalah
salah satu ahlusshuffah. Rasulullah
saw, dan juga kaum muslim lainnya amat mencintai mereka dan memperhatikan
kehidupan mereka. Suatu hari Rasulullah saw berkata pada Juwaibar, “Juwaibar!
Alangkah bagusnya sekiranya engkau menikahi seorang wanita. Dengan begitu, di
samping kebutuhan biologismu terpenuhi, istrimu juga akan membantu di dalam
pekerjaan dunia dan akhiratmu.” Juwaibar menjawab, “ya Rasulullah, tidak ada
seorang wanita pun yang ingin menjadi istri saya. Saya tidak punya harta dan
tidak tampan. Wanita mana yang mau jadi istri saya.” Mendengar itu Rasulullah
saw berkata pada Juwaibar, “Juwaibar, dengan perantaraan islam, Allah telah
merendahkan orang-orang yang ditinggikan pada masa jahiliyyah dan telah
meninggikan orang yang direndahkan pada masa jahiliyah, dan islam telah
memuliakan orang-orang yang hina pada masa jahiliyah.”
Rasulullah saw
melanjutkan kata-katanya kepada Juwaibar, “pada hari ini, seluruh manusia, baik
yang puith maupun hitam, baik orang Quraisy, orang Arab dan ‘ajam (non-arab),
semuanya berasal dari Adam, dan sesungguhnya Allah swt telah menciptakan Adam
dari tanah. Wahai Juwaibar, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling
taat dan tunduk terhadap perintah-Nya. Tidak ada seorang muslim pun, baik dari
kaum Anshar maupun Muhajir, yang berada di rumah mereka masing-masing, yang
memiliki kelebihan atasmu kecuali berdasarkan ukuran takwa.”
Lalu, Rasulullah
saw melanjutkan perkataannya, “coba engkau pergi ke rumah Ziyad bin Labid
al-Anshari. Katakan padanya bahwa Rasulullah saw mengutus kamu kepadanya untuk
meminang putrinya yang bernama Dzulfa untukmu.”
Sesuai dengan
perintah Rasul, Juwaibar pun pergi ke rumah Ziyad bin Labid. Ziyad adalah orang
yang paling terhormat di kalangan Anshar dan penduduk Madinah. Ketika Juwaibar
masuk ke rumah Ziyad, pada saat itu sekelompok kaum Ziyad sedang berada di
rumahnya. Setelah meminta izin, Juwaibar masuk dan duduk. Dia lalu menatap
Ziyad bin Labid dan berkata, “saya membawa pesan dari Rasulullah saw. Apakah
saya harus menyampaikannya secara tertutup atau terbuka?” Ziyad menjawab, “pesan
Rasul merupakan kebanggaan bagi saya, tentu saja sampaikan secara terbuka.”
Juwaibar pun berkata, “Rasulullah mengutusku untuk meminang putri Anda, Dzulfa,
untuk saya. Sekarang, bagaimana menurut Anda? Katakanlah, supaya saya dapat
menyampaikan jawaban Anda kepada Rasulullah saw.” Dengan penuh keheranan Ziyad
bertanya, “benarkah Rasulullah mengutus kamu untuk meminang?”
“Benar, Rasul telah mengutus
saya. Saya tidak berdusta atas nama Rasul.”
“Tapi, bukan adat kami memberikan
putri kami kepada orang yang bukan dari kalangan kami, kaum Anshar. Sekarang,
silahkan Anda pergi kepada Rasulullah. Biar saya sendiri yang kan menemui
beliau.”
Juwaibar
pun keluar dari rumah Ziyad bin Labid. Ia bingung. Ia memikirkan perkataan
Rasulullah dan Ziyad. Ia berkata pada dirinya sendiri, “kata-kata orang ini
bertentangan dengan apa-apa yang diajarkan oleh al-Qur’an.” Ia melanjutkan,
“demi Allah, ajaran yang diturunkan di dalam al-Qur’an bukanlah sebagaimana
yang dikatakan oleh laki-laki ini, dan Rasulullah saw juga tidak diutus untuk
ucapan seperti ini.”
Ucapan
Juwaibar ini ternyata didengar oleh Dzulfa. Dia lantas menanyakan kejadiannya
kepada ayahnya. Ziyad bin Labid pun menceritakan kejadiannya kepada putrinya
itu. Dzulfa berkata, “demi Allah, Juwaibar tidak berdusta. Lakukanlah sesuatu
sehingga jangan sampai Juwaibar kembali ke hadapan Rasulullah saw dengan putus
asa karena jawaban tadi. Suruh Juwaibar balik lagi.”
Ziyad
bin Labid pun memanggil kembali Juwaibar ke rumahnya. Dia sendiri yang pergi
menemui Rasulullah saw. Dia berkata, “wahai Rasulullah, Juwaibar membawa pesan
dari engkau seperti ini kepada saya, namun kami tidak mempunyai adat untuk
memberikan putri kami kepada orang yang tidak sederajat dengam kami.” Rasul saw
pun berkata, “wahai Ziyad, Juwaibar adalah seorang mukmin, dan seorang mukmin
laki-laki sederajat dengan seorang mukmin perempuan; demikian juga seorang
muslim laki-laki sederajat dengan muslim perempuan.[i]
Oleh karena itu, janganlah engkau menghalangi pernikahan putrimu hanya karena
alasan-alasan yang tidak berdasar ini.”
Alhasil,
Ziyad bin Labid pun akhirnya menikahkan putrinya dengan Juwaibar, lelaki
berkulit hitam itu. Dia membangunkah rumah untuk Juwaibar, lengkap dengan
alat-alat rumah tangga. Dia juga memberi Juwaibar dua stel pakaian. Ketika juwaibar
memasuki kamar pengantin yang dihias sedemikian rupa, dalam jiwanya muncul
perasaan ridha dan syukur kepada Allah swt yang dengan perantaraan islam telah
memuliakan dirinya sedemikian rupa. Dia sangat bersyukur pada Allah. Sehingga
dia duduk di salah satu sudut rumahnya dan sibuk melakukan ibadah hingga waktu
subuh. Siangnya pun dia berpuasa. Demikianlah yang dilakukannya selama tiga
hari tiga malam.
Lambat
laun, keluarga mempelai wanita merasa ragu, jangan-jangan Juwaibar adalah
seorang lelaki yang tidak butuh pada wanita. Keluarga mempelai wanita
menceritakan hal ini kepada Rasulullah saw. Rasul memanggil Juwaibar dan
menanyakan hal itu. Juwaibar menjawab, “ya Rasulullah, ketika saya memasuki
rumah yangluas itu, dengan permadani yang terhampar di lantainya, serta segala
perkakasnya, sementara di hadapan saya berdiri seorang wanita cantik, dan saya
mengetahui bahwa semua itu milik saya, maka saya berpikir betapa dengan
perantaraan islam, Allah telah memuliakan saya, seorang manusia yang asing dan
miskin di kota ini. Karena itu saya pun berkeinginan untuk mengucapkan rasa
syukur kepada Allah atas segala nikmat ini dengan melakukan ibadah hingga waktu
subuh. Keesokan harinya, dengan maksud bersyukur saya berpuasa. Demikianlah hal
itu saya lakukan selama tiga hari berturut-turut. Namun, untuk selanjutnya saya
tentu akan berada di sisi keluarga saya.”
(Dikutip dari buku Ceramah
Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Murtadha Mutahhari,
penerbit Lentera, hal. 151-157, dengan perubahan seperlunya.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar