Ayatullah al Uzhma Madzahiri |
Menurut
Kantor Berita ABNA, Ayatullah al Uzhma Madzahiri dalam lanjutan
rangkaian kelas akhlak yang diasuhnya di kota Esfahan Republik Islam
Iran, mengenai keadaan “Shirat” pada hari kiamat, menyatakan, “Lewat
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an kita mengetahui bahwa ada jalan yang
melintang dari neraka ke surga, dan semua manusia harus mampu melewati
jalan itu dan tidak ada jalan lain selain jalan itu. Jika seseorang
ditetapkan Allah sebagai ahli surga maka ia akan berhasil meninggalkan
neraka dan melewati jalan itu ia akan sampai ke surga. Sementara jika ia
ahli neraka, maka ia tidak memiliki kesanggupan melewati jalan itu dan
tetap berada dalam neraka. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
«وَ انْ مِنْكُمْ الّا وارِدُها كانَ عَلى رَبِّكَ حَتْماً مَقْضِيّاً ثُمَّ نُنَجِّى الَّذينَ اتَّقَوا وَ نَذَرُ الظَّالِمينَ فيها جِثِيّاً».
Yang
artinya: “Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi
neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah
ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa
dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan
berlutut.” [1]
Beliau
melanjutkan, “Hal yang sangat masyhur dikalangan masyarakat adalah
bahwa di hari akhir nanti ada jembatan yang harus dilalui setiap
manusia, dan bagi yang mampu melewatinya akan meraih kebahagiaan di
surga. Sementara yang gagal akan terjatuh ke dalam neraka. Keyakinan
tersebut tidak benar. Sebab sebagaimana firman Allah SWT, jalan tersebut
membentang dari neraka ke surga. Orang-orang terlebih dahulu mendatangi
neraka dan bagi yang bertakwa akan keluar dari sana dan menuju ke
surga.”
“Mereka
yang bertakwa adalah orang-orang dimasa hidupnya di dunia bukan hanya
mengimani Islam secara lisan namun juga menetapkannya dalam hatinya
serta dalam amalan mengikuti petunjuk Nabi dan Ahlul Baitnya. Neraka itu
sebagaimana makhluk ciptaan Allah lainnya hidup dan mampu berbicara.
Neraka mengenal muslim Syiah yang hakiki dan neraka sendiri meminta agar
orang-orang bertakwa tersebut di keluarkan dari neraka.” Lanjutnya.
Kemudian setiap ummat akan dipanggil dengan imamnya masing-masing. Sebagaimana firman Allah SWT:
«يَومَ نَدْعُوا كُلَّ اناسٍ بِامامِهِمْ فَمَنْ اوتِىَ كِتابَهُ بِيَمينِهِ فِاولئِكَ يَقْرَءُونَ كِتابَهُمْ وَ لا يُظْلَمُونَ فَتيلًا وَ مَنْ كانَ فى هذِهِ اعْمى فَهُوَ فِى الْاخِرَةِ اعْمى وَ اضَلُّ سَبيلًا».
“(Ingatlah)
suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak
dianiaya sedikitpun.
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar). ” [2]
Sesuai
ayat di atas, bahwa barang siapa yang tersesat di dunia dari jalan
kebenaran maka pada hakikatnya batinnya buta. Dan di akhirat nanti juga
akan kembali tersesat bahkan lebih tersesat karena akan mendekam di
dalam neraka. Namun bagi yang di dunia melihat kebenaran dan menetapinya
serta berjalan di atas petunjuk Nabi dan Ahlul Baitnya maka pada hari
akhirat nanti akan tetap berada dalam jalan hidayah dan petunjuk. Ia
akan bersama imam dan pemimpinnya berjalan menuju surga. Yakni Amirul
Mukminin sebagai salah satu imam umat manusia akan berjalan di depan dan
para Syiahnya mengikuti dari belakang menuju tempat yang mulia yang
telah disediakan.”
Dalam pandangan Ayatullah Madzahiri
dunia dan akhirat itu ibarat sekeping mata uang logam yang memiliki dua
sisi. Beliau berkata, “Patut diketahui, bahwa sesungguhnya sisi batin
dari dunia ini adalah akhirat, dan akhirat itu sendiri adalah sisi
lahiriah akhirat adalah dunia ini. Dunia dan akhirat ibarat sekeping
mata uang logam yang memiliki dua sisi. Yang artinya, barangsiapa di
dunia ini mampu membuat nafsu amarahnya dalam kendalinya dan menuntunnya
pada ketaatan, mampu membebaskan diri dari belenggu dan tipu daya
syaitan dan hawa nafsu maka di akhirat nanti ia akan mampu melewati
neraka. Namun barang siapa yang tunduk pada pengaruh dunia dan
memperturutkan hawa nafsu dan godaan syaitan maka di akhirat nanti ia
akan mendapat siksa dalam neraka.”
Kemudian
pada bagian lain ceramahnya, ulama marja taklid Syiah tersebut
menyinggung masalah syafaat dan menyebutnya diantara masalah penting
dalam aqidah syiah.
Beliau
berkata, “Syafaat diantara pokok keimanan dalam aqidah Syiah, bahwa
merupakan keniscayaan akan keberadaannya kelak di akhirat. Allah SWT
menegaskannya dalam al-Qur’an:
«مَنْ ذَا الَّذي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ»
Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? [3]
«وَلايَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضى»
dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah. [4]
Syafaat
memiliki tiga bentuk, yang pertama, syafaat Imam Ahlul Bait as berupa
permohonan kepada Allah SWT agar syiahnya diampuni dan diselamatkan dari
siksa neraka, dan permohonan tersebut dikabulkan oleh Allah SWT.
Sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam al-Qur’an yang memerintahkan
hambaNya untuk memohon ampunan melalui perantaraan do’a Nabi Muhammad
Saw,
«وَ لَوْ انَّهُمْ اذْ ظَلَمُوا انْفُسَهُمْ جاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحيماً»
Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon
ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah
mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. [5]
Syafaat
yang kedua, yaitu syafaat yang berupa petunjuk. Sebagaimana tugas Nabi
dan Ahlul Baitnya di dunia sebagai pemberi petunjuk dan pemimpin ummat,
maka demikian pula di akhirat nanti. Bagi yang dimasa hidupnya mengikuti
petunjuk para Maksumin as, maka kelak di akhirat mereka akan berada
dalam bimbingan Maksumin as sampai masuk ke dalam surga.
Bentuk
syafaat yang ketiga adalah, syafaat yang diberikan oleh Maksumin as
karena telah mendapat izin dari Allah SWT sehingga kemudian ikhtiar
sepenuhnya berada ditangan mereka as. Yaitu Maksumin as memiliki hak
sepenuhnya untuk memberi syafaat kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Dan tentu saja, yang dikehendaki mereka as adalah yang memang layak
untuk mendapat syafaat dan berhak untuk bersama orang-orang saleh di
dalam surga. Sebagaimana firman Allah SWT yang ditujukan kepada nabi
Muhammad Saw:
«وَ لَسَوْف َيُعْطيكَ رَبُّكَ فَتَرْضى»
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas. [6]
Dalam
riwayat disebutkan maksud dari ayat tersebut adalah karunia Allah yang
berupa hak Nabi untuk memberi syafaat. Dihari kiamat siapapun hanya akan
memikirkan keselamatan dirinya masing-masing, namun tidak demikian
dengan Nabi Saw, beliau khawatir akan keselamatan ummatnya, dan sangat
menginginkan keselamatan atas ummatnya, sehingga dikatakan kepada
beliau, bahwa para pendosa dari umat Muhammad keseluruhannya akan
mendapatkan ampunan kecuali mereka yang syirik dan yang menjalin
pertemanang dengan musuh-musuh Allah. Dengan jaminan itu, maka hati
Rasulullah Saw menjadi puas. [7]
Allamah
Thabathabai rahimahullah mengatakan, “Tidak ada artinya bagi Nabi Saw
masuk kedalam surga tanpa disertai oleh ummatnya. Karenanya Nabi
Muhammad sebisa mungkin memberikan syafaat kepada saja dari ummatnya
yang memang layak untuk mendapatkannya.”
Pada
riwayat yang masyhur disebutkan, hari akhirat nanti penjaga pintu surga
dan neraka akan menyerahkan kuncinya masing-masing kepada Rasulullah
Saw dan hak sepenuhnya bagi Nabi untuk mengeluarkan dari neraka siapa
saja yang dikehendakinya dan memasukkannya kedalam surga. Kemudian nabi
menyerahkan kedua kunci tersebut kepada Imam Ali as dan mengatakan
“Sekarang hak sepenuhnya ada padamu, syafaatilah siapa saja yang
berwilayah kepadamu dan yang memiliki kelayakan untuk itu.” [8]
Kemudian
Ayatullah Madzahiri menjelaskan mengenai siapa saja yang tidak layak
mendapat syafaat. Dengan menukil ayat dalam Al-Qur’an beliau berkata:
«فيجَنَّاتٍ يَتَساءَلُونَ، عَنِ الْمُجْرِمينَ، ما سَلَكَكُمْ فيسَقَرَ، قالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ، وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكينَ، وَ كُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخائِضينَ، وَ كُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ»
“Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami
tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan
yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah
kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” [9]
Pertanyaan
yang diajukan pada ayat tersebut adalah pertanyaan yang penuh dengan
rasa takjub dan keheranan. Yang artinya, tidak semestinya mereka berada
dalam neraka, namun mengapa lantas berada didalamnya?. Mereka menjawab,
bahwa mereka bukan orang yang termasuk ahli shalat, ahli sedekah, gemar
membicarakan yang batil dan mendustakan hari pembalasan. Pengakuan
mereka akan keimanan dan pengakuan atas wilayah Ahlul Bait menjadi
sia-sia dan tidak berguna sebagaimana firman Allah SWT, “Maka tidak
berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan
syafa’at.” [10]
Ulama
besar Iran tersebut kemudian berkata, “Seorang Syiah yang sejati adalah
yang terbang menuju surga dengan dua sayap. Sayap yang pertama adalah
yang menghubungkannya dengan Allah SWT yang berupa shalat, puasa dan
lainnya. Sementara sayap yang satu adalah yang menghubungkannya dengan
makhluk ciptaan Allah lainnya, yaitu menebar kebaikan dan saling
menolong.”
*************
[1] (Qs. Maryam: 71-72)
[2] (Qs. Al Israa’: 71-72).
[3] (Qs. Al Baqarah: 255)
[4] (Qs. Anbiyah: 28)
[5] (Qs. An Nisa: 64)
[6] (Qs. Adh Dhuha: 5)
[7] تفسير فرات کوفي، ص 571؛ شواهد التنزيل، ج 2، ص 447 و …
[8] امالي الصدوق، ص 116؛ روضة الواعظين، ج 1، ص 113
[9] (Qs. Al Muddatstsir: 42-47)
[10] (Qs. Al Muddatstsir: 48)
Sumber: ABNA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar