Pada 11 Februari lalu, kolom Resonansi harian Republika menurunkan
sebuah artikel yang menurut saya sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin
seorang jurnalis senior, mantan Pemimpin Redaksi harian besar di
Indonesia itu,sedemikian awamnya dalam memahami konflik Syria dan
konstelasi politik global? Sang jurnalis yang bernama Ikhwanul Kiram
Mashuri (IKM) itu menyandarkan analisisnya dari sebuah video yang belum
diverifikasi kebenarannya, lalu menyimpulkan bahwa "musuh umat Islam
tidak hanya Zionis, melainkan juga rezim brutal seperti Assad."
Bagaimana mungkin seorang jurnalis senior sampai tidak tahu bahwa
perang Syria sangat diwarnai perang propaganda dan bahkan
disebut-sebutsebagai "A PhotoshopedRevolution" saking banyaknya rekayasa
informasi foto yang diunggah melalui internetuntuk memprovokasi opini
publik. Berkali-kali pihak oposisi mengunggah foto berdarah-darah di
internet dan menyebutnya sebagai ‘korban Assad'. Lalu, biasanya para
blogger-lah (sayang sekali, mengapa bukan jurnalis?) yang berjasa
menemukan bukti bahwa foto-foto itu mengabadikan kejadian berdarah di
tempat lain (umumnya di Gaza). Bahkan kantor berita sekelas BBC
ketahuan menggunakan foto korban perang Irak dan menyebutnya itu korban
pembantaian tentara Assad.
Kaum oposisi Syria pun
membuat sangat banyak rekaman video amatir lalu diunggah di internet.
Video dari pihak oposisi ini dengan sangat cepat disebarluaskan ke
seluruh dunia, bahkan direlay dan disiarkan ulang oleh media massa
mainstream. Video-video itu terbagi ke dalam beberapa jenis: pembantaian
sadis yang disebut sebagai korban kebrutalan Assad, pembantaian sadis
yang diiringi takbir (dilakukan oleh pasukan oposisi), dan video berisi
propaganda relijius, yang sepertinya dibuat utk membangkitkan semangat
jihad Islam. Video seperti ini biasanya memperlihatkan para pemberontak
sedang menembakkan senjata dengan diiringi takbir, tayangan para
pemberontak sedang sholat berjamaah, atau (konon) demo sejumlah massa
yang menginginkan khilafah di Syria.
Bila IKM
menyodorkan video tentang Hamzah Al Khatib yang (konon) dibunuh oleh
tentara Assad (IKM tidak memberi bukti apakah secara jurnalistik video
itu sudah terverifikasi), bagaimana bila dia menonton salah satu video
sangat brutal yang diunggah oleh kaum oposisi? Video itu sudah
terverifikasi (The Guardian memverifikasinya kepada Mustafa al-Sheikh,
Ketua Dewan Tinggi Militer FSA) dan bisa diliat di you tube dengan kata
kunci ‘syrian+rebel+execute+Aleppo [1]. Dalam video itu, sejumlah pria
tak berbaju diseret keluar oleh sejumlah orang besenjata lalu dijejerkan
ke dinding, dan kemudian ditembaki (bukan ditembak satu persatu,
melainkan dibombardir peluru secara terus-menerus selama 43 detik).
Setelah itu hening sekejap lalu diikuti teriakan takbir. Dipastikan,
pelakunya bukan tentara Assad. Mustafa al-Sheikh, Ketua Dewan Tinggi
Militer FSA, menyebut korban pembantaian adalah klan Al Berri, dan
menyebutnya sebagai shabiha. Dalam logika Sheikh, mereka sah-sah saja membantai Berri dengan alasan: Berri adalah shabiha.
Shabiha(yang
bermakna ‘hantu') memang strategis untuk dimunculkan sebagai sosok
antagonis. Ketika terjadi pembantaian massal terhadap warga Syria, yang
tidak bisa dituduhkan kepada tentara Syria (karena tidak ada bukti),
juga FSA menolak mengaku bertanggung jawab, maka muncullah shabiha, yaitu milisi sipil pendukung Assad yang konon melakukan pembunuhan brutal di mana-nama.Shabiha
adalah kambing hitam nomer wahid di Syria. Dalam Tragedi di Houla,
misalnya (Mei 2012), yang sedemikian brutalnya sampai-sampai Kofi Annan
menyebut situasi di Syria saat itu sebagai ‘tipping point'. Tanpa
menunggu investigasi PBB, hanya berdasarkan laporan telepon dari aktivis
oposisi, media mainstream menyebut pembantaian itu dilakukan oleh Assad
dengan cara dibombardir senjata berat. Ketika tim investigasi PBB
datang keesokan paginya dan menemukan bukti yang sangat jelas bahwa
pembantaian itu dilakukan dengan cara-cara nonmiliter: ditusuk, digorok,
dan ditembak jarak dekat, serta tidak ada bukti kehadiran militer di
sana, dimunculkanlah shabiha sebagai pelaku.
Sebagai seorang jurnalis, IKM seharusnya jeli membaca laporan-laporan
media massa itu. Mereka umumnya mendasarkan informasinya dari saksi
dari pihak oposisi yang tidak bisa diverifikasi seara independen.
Contohnya, laporan Associated Press terkait Tragedi Houla. AP
melakukan wawancara dengan Ali Al Seyyed, bocah 11 tahun, korban tragedi
Houla. Wawancara itu dilakukan jarak jauh melalui internet (Skype) dan
Ali dihadirkan oleh aktivis oposisi. Associated Press berterus-terang
mengakui ‘sulit untuk memverifikasi cerita Ali secara independen',
tetapi, dalam laporannya itu AP tetap menyebut rezim Assad sebagai
pelaku. Berbagai laporan dari media massa mainstream banyak yang
mencantumkan frasa itu: kesaksian ini tidak bisa kami verifikasi secara independen. Seorang jurnalis yang jujur dan independen pastilah akan kritis dalam membaca laporan seperti ini.
Yang menggelikan, IKM membawa-bawa Taliban dalam tulisannya. Dia
menyayangkan, mengapa ketika Taliban membunuh Malala Yousafzai reaksi
dunia sangat keras, sementara untuk korban Syria, dunia internasional
bereaksi biasa-biasa saja. Ada dua hal yang ingin saya komentari dari
pernyataannya ini.
Pertama, terkait Taliban/Al Qaida.Bagaimana
mungkin, seorang jurnalis sekelas IKM tidak tahu bahwa sebenarnya
pelaku teror di Syria adalah Al Qaida(meski dengan berbagai nama
lain).Bagaimana mungkin dia tidak membaca laporan-laporan dari berbagai
media mainstream yang menyebutkan bahwa pasukan jihad dari Libya dan
berbagai negara Arab datang ke Syria? Bahkan Mustafa al-Sheikh(Ketua
Dewan Tinggi Militer FSA) saat diwawancarai Mona Mahmoud (The Guardian)
mengakui hal ini, "Al-Qaida saat ini ada di berbagai penjuru Syria."
Dan seorang jurnalis yang cerdas seharusnya akan dibuat heran oleh
situasi ini: bagaimana mungkin AS yang di Afghanistan memburu Al Qaida
dan Taliban, tetapi di Syria malah mendukung dan memfasilitasi kehadiran
mereka (laporan-laporan bahwa CIA terlibat dalam pengiriman senjata dan
pasukan jihad dari Libya dan negara-negara Arab sudah banyak
diungkapkan oleh media-media mainstream).Apalagi, bukankah Republika
juga merilis berita bahwa Israel pun kini sudah mulai terjun ke medan
perang di Syria? Tidakkah fakta ini membuat IKM curiga: ada kelompok
jihad Islam, tapi kok malah didukung Barat dan Israel? Mungkin IKM perlu
sedikit browsing, mencari tahu siapa itu Bernard Levy dan apa peran
tokoh Zionis ini dalam mendesain perang di Libya dan Syria?
Baru akhir-akhir ini saja, ketika kelompok garis keras di Syria
terlihat sulit dikendalikan(apalagi malah nekad mendeklarasikan
berdirinya khilafah di Syria), barulah AS ingin cuci tangan dan
menyatakan ‘kiriman senjata untuk pihak oposisi ternyata jatuh ke pihak
yang salah', dan menaruh Front Al Nousra (salah satu kelompok oposisi
yang sangat banyak melakukan peledakan bom di fasilitas publik) ke dalam
list organisasi teroris.
Selain itu, seharusnya IKM
menggali lebih dalam, tidak hanya membaca Syarq Al Awsat, tetapi mau
membaca laporan-laporan PBB (dalam informasi yang simpang-siur dari dua
pihak yang bertikai, laporan PBB bisa dianggap lebih valid, terutama
dari sisi riset akademis). Menarik untuk dicermati bahwa Sekjen PBB
dalam suratnya kepada Dewan Keamanan(Mei 2012) tidak secara tegas
menyebutkan bahwa militer Syria membunuhi para demonstran.
"Ada
laporan terus-menerus mengenai bertambahnya tindakan pengamanan yang
keras yang dilakukan pemerintah, yang membawa ke arah pelanggaran HAM
secara massif oleh tentara pemerintah dan milisi pro-pemerintah,
termasuk penahanan secara semena-mena, penyiksaan, penghilangan paksa,
dan pembunuhan terhadap aktivis, [yaitu] oposan dan pembelot [militer]."
Perhatikan bahwa Sekjen PBB menggunakan kalimat ‘ada laporan' dan sama
sekali tidak memberikan konfirmasi mengenai hal itu. Padahal, ada tim
khusus PBB di Syria, yaitu UNSMIS, meski sekarang sudah dibubarkan.
Sebaliknya dalam laporan itu disebutkan dengan tegas bahwa sangat banyak
aksi teror yang menimpa warga sipil, tentara, dan termasuk anggota misi
PBB sendiri (UNSMIS). Bahkan laporan Sekjen PBB itu terang-terangan
menyebut ada kelompok teroris mapan yang terlibat di Syria.
"Ada
peningkatan jumlah pengeboman, yang paling banyak di Damaskus, Hama,
Aleppo, Idlib, dan Deir ez-Zor. Ini termasuk pengeboman ganda di
Damaskus pada 10 Mei 2012, ketika dua kendaraan yang membawa bom rakitan
yang diperkirakan beratnya masing-masing 1000 kilogram, diledakkan di
dekat gedung pemerintah. Ukuran bom ini menunjukkan bahwa bom ini
dirakit oleh ahli tingkat tinggi, yang bisa mengindikasikan keterlibatan
kelompok teroris yang mapan (established terrorist groups). Pemerintah
telah menegaskan adanya kelompok-kelompok seperti ini di dalam negeri,
demikian pula dinyatakan oleh beberapa kelompok oposisi. Front Al-Nusra
telah mengklaim bertanggung jawabatas minimalnya enam pengeboman terakhir."[2]
Kedua, terkait reaksi internasional.IKM
pastilah sudah tahu dunia internasional sangat keras reaksinya terhadap
Syria. Karakter Assad sudah habis-habisan dihancurkan oleh media-media
mainstream dan media lokal yang merujuknya (antara lain, Republika
sendiri). Jadi, apalagikah yang diharapkan IKM? Agaknya IKM mengharapkan
intervensi militer, sebagaimana NATO menggulingkan Qaddafi. Tidakkah
IKM curiga sedikit saja: mengapa Mubarak atau dulu, Shah Iran, bisa
tumbang tanpa intervensi militer dari asing, sedang Qaddafi harus
digulingkan melalui intervensi militer asing? Jawabannya: karena
dukungan rakyat Libya terhadap perjuangan oposisi tidak cukup kuat.
Itulah sebabnya mereka (oposisi di Libya) meminta bantuan asing.
Lalu, apa yang terjadi setelah pasukan asing masuk ke Libya? Apakah
Libya kini aman dan makmur? Tidak. Libya, yang dulu negara makmur tanpa
hutang, pendidikan dan kesehatan gratis, kini menjadi negara yang hancur
lebur akibat bombardir NATO. Pemerintah baru Libya menyerah pada
jeratan hutang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama
IMF, dan rekonstruksinya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan Barat.
Seandainya IKM pernah membaca buku John Perkins, dia akan melihat
polanya dengan sangat jelas. Perangi sebuah negara yang independen
(setidak-tidaknya, ‘sulit diatur Barat') dengan kedok ‘humanitarian
intervention', lalu setelah negara itu hancur, sodori hutang, dan
rampaslah minyak dan emasnya.
Dan bila dilacak ke
belakang: siapa pemilik kontraktor-kontraktor AS, pemilik
perusahaan-perusahaan senjata, pemilik saham dari lembaga keuangan yang
bagi-bagi hutang itu; yang semuanya mengeruk keuntungan dari perang? Tak lain adalah orang-orang Zionis.
Ini bukan teori konspirasi. Segalanya sangat jelas dan
terang-benderang, hanya dibutuhkan kejelian membaca data yang berserakan
di internet.
Dan skenario di Libya inilah yang sedang
terulang di Syria. Sayangnya, hanya karena Assad seorang Alawy yang
menjadi musuh bersama segolongan umat Islam garis keras, reaksi kaum
muslimin terhadap Syria menjadi jauh berbeda. Media-media Islam yang
dulunya berseberangan dengan media mainstream, kini justru bahu-membahu
dalam perang propaganda melawan rezim Assad.
Apa boleh
buat, hanya satu simpulan saya atas artikel IKM di Republika yang
menanyakan "Apakah Musuh itu Hanya Zionis Israel"? : naif.
Sumber: IRIB
________
*Magister Hubungan Internasional Unpad, Research Associate of Global Future Institute
[1]salah satu link nya: http://youtu.be/KggxTWkZJmU
[2]Surat Sekjen PBB bisa diunduh di www.securitycouncilreport.org/atf/.../Syria%20S2012%20363.pdf
[3]Artikel IKM bisa dibaca di:
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/02/10/mi083m-apakah-musuh-itu-hanya-zionis-israel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar